Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hukum nan Hina

22 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mochtar Pabottingi *) Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Menyaksikan lewat layar kaca Akbar Tandjung bersujud begitu khusyuk di rumahnya ketika Kamis sore dia diputus bebas oleh Mahkamah Agung, saya sungguh bertanya dalam hati. Apakah dia bersujud kepada Allah SWT, yang dalam Surah al-Maun menegaskan tandas orang yang mendustakan agama, yaitu yang menolak membantu anak yatim dan fakir miskin? Ataukah dia bersujud kepada kursi kekuasaan yang hendak terus digemukkannya, kepada Golkar, atau Orde Baru, yang bagi saya telah melakukan pengkhianatan besar kepada bangsa dan cita-cita kemerdekaan kita?

Masih segar dalam ingatan bahwa dana Jaringan Pengaman Sosial yang Rp 40 miliar itu diumumkan sebagai jatah fakir miskin—kaum papa yang jumlahnya berlipat menjadi puluhan juta pada saat krisis moneter (terutama akibat ulah "konglomerat hitam" di dalam dan sekitar "Keluarga Cendana"). Berapa banyak kerusuhan, penjarahan, kerusakan harta benda, dan demonstrasi yang menumpahkan darah pemuda dan mahasiswa, dan rangkaian kematian, yang dapat dicegah andaikata dana besar itu benar-benar disalurkan sebagaimana mestinya?

Mari kita periksa perkara ini dari sudut sidik politik. Kasus Akbar Tandjung yang baru diputus oleh Mahkamah Agung mesti dibaca dalam konteks upaya terpadu untuk menggantikan "era upaya reformasi politik" menjadi "era upaya pembablasan Orde Baru" tepat di titik awalnya. Ia merupakan bagian integral dari rangkaian sistematis kelompok Orde Baru untuk bertahan melalui pembablasan itu. Hanya dengan cara membaca begitulah rangkaian kejanggalan dan inkonsistensi, baik dari Akbar Tandjung dan kedua rekannya yang jadi tersangka maupun dari lembaga-lembaga peradilan yang menanganinya, bisa terlihat sebagai sesuatu yang sistematis dan konsisten.

Langkah pertama dan sangat menentukan dari upaya pembablasan Orde Baru diambil oleh Presiden Soeharto sendiri. Dia mengangkat Wakil Presiden B.J. Habibie sebagai penggantinya—sesuatu yang jelas bertentangan dengan logika politik tuntutan reformasi. Habibie merupakan bagian mutlak dari rezim Orde Baru. Jika Soeharto memiliki tanggung jawab kenegarawanan, dia mestinya lengser beserta seluruh pucuk pemerintahannya. Lewat pengangkatan yang sebetulnya bertentangan dengan tuntutan pergantian rezim ini, agenda politik dan kartu-kartu politik kembali diletakkan sepenuhnya di tangan kelompok Orde Baru.

Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto telah mengambil langkah yang sangat licik, yaitu lengser sembari sekaligus mengukuhkan kembali posisi personalia rezimnya. Di sini ditentukanlah nasib upaya reformasi. Reformasi tinggal menjadi baju. Jiwa dan raganya sebagian besar tetap Orde Baru, yang merampas kedaulatan rakyat, serakah, dan miskin tanggung jawab. Singkatnya, tidak pernah ada era reformasi sejak pertengahan 1998 itu. Soeharto sudah menutup pintu baginya tepat pada saat dia lengser. Langkah Soeharto itu sekaligus sangat jahat karena itu berarti menempatkan kembali nasib negara-nasion kita di tangan orang-orang yang sudah membangkrutkannya empat kali lipat—secara politik, ekonomi, hukum, dan kepemimpinan.

Langkah kedua berada di tangan Presiden Habibie. Dia menyusun UU Politik No. 2, 3, dan 4/1999 serta UU No. 22/1999 dan pada tahun yang sama melaksanakan Pemilihan Umum 1999. Pada keempat undang-undang dan pelaksanaan pemilu itu sama sekali tak ada level playing-field antara kekuatan Orde Baru yang sudah mapan dan para pendukung reformasi yang baru bertunas, baik dalam hitungan keempat undang-undang tadi maupun dalam hitungan dana dan jaringan di lapangan.

UU Politik No. 2, 3, 4/1999 jelas memberikan jatah singa kepada kelompok Orde Baru dalam pemilu. Militer yang kala itu masih merupakan bagian rezim ini diberi puluhan kursi gratis. Mekanisme rekrutmen anggota utusan daerah dan utusan golongan di MPR juga sangat menguntungkan kelompok Orde Baru. Ketiga ketentuan perundangan ini tak pelak lagi merupakan jatah singa bagi kelompok tersebut.

Lalu bagaimana dengan Pemilu 1999 itu sendiri? Kita ingat santernya puji-pujian, baik dari luar, khususnya The Carter Center, maupun dari dalam negeri, mengenai betapa demokratisnya pelaksanaan kedaulatan rakyat itu. Sejumlah hasil yang paralel, seperti distribusi suara partai-partai nasionalis dibanding partai-partai agama antara Pemilu 1999 dan Pemilu 1955 (yang memang sangat demokratis itu), juga dipakai sebagai alasan pengabsah. Sama sekali tak disinggung mencoloknya perbedaan antara kesiapan penuh rakyat Indonesia untuk memilih calon-calon anggota legislatif mereka pada 1955 dan miskinnya kesiapan itu bagi padanannya 44 tahun kemudian.

Kita belum lupa bahwa berbulan-bulan sebelum 6 Juni 1999 itu, rakyat, terutama kelas menengah ke bawah, lebih sibuk memastikan tersedianya sembapo (sembilan bahan pokok) di rumah masing-masing—ada yang bahkan hanya cukup untuk makan sehari-dua. Yang sangat siap memilih pada waktu itu hanya kelompok Orde Baru, yang memang sudah menumpuk hasil jarahan selama puluhan tahun berkuasa, dengan jaringan kekuasaan mereka yang kembali dikukuhkan oleh Soeharto. Mereka bahkan melakukan penetrasi secara sangat mudah dan sangat signifikan ke dalam jajaran pimpinan PDI Perjuangan, yang sudah mereka perhitungkan sebagai lawan utama yang empuk.

Bukti tak paralelnya Pemilu 1955 dengan Pemilu 1999 dan besarnya kesenjangan dalam hal kesiapan rakyat untuk memilih pada kedua momen itu segera terlihat setahun kemudian: begitu mencoloknya perbedaan kualitas dan integritas wakil-wakil rakyat yang dihasilkan oleh keduanya. Meskipun merupakan "pemenang kedua", Golkar de facto menjadi pemenang pertama di lapangan berkat dana dan jaringan yang tak pernah dilengserkan itu.

Setelah orang-orangnya didudukkan di lembaga-lembaga legislatif, terutama di daerah-daerah, UU No. 22/1999 kemudian memberi mereka kekuasaan lebih di atas lembaga eksekutif. Kekuasaan lebih mereka selanjutnya dikukuhkan lagi dalam pasal-pasal hasil rangkaian amendemen UUD 1945.

Dalam sidik politik, dana Rp 40 miliar yang dipercayakan oleh Presiden Habibie kepada Akbar Tandjung memang harus dibaca bertujuan untuk mencari dana segar (yang bukan pinjaman) untuk memenangkan kelompok Orde Baru dalam Pemilihan Umum 1999. Fakir miskin diperatasnamakan karena memang itulah yang paling mudah dan nasibnya paling genting. Berlakulah penghalalan cara yang tidak tanggung-tanggung. Agama dijual murah lewat pengkhianatan kepada sumpah jabatan dan diktum Surah al-Maun, nasion dijual murah lewat pengatasnamaan solidaritas sosial, dan kepemimpinan lagi-lagi dijorokkan ke kubangan kotoran praktek paten Orde Baru di bawah Soeharto. Ini semua demi membiayai upaya pembablasan kembali Orde Baru melalui Partai Golkar pada Pemilu 1999 itu.

Tentu saja lembaga-lembaga peradilan, cabang pemerintahan yang praktek dalamnya boleh dikatakan tak pernah mengalami reformasi sejak Orde Barunya Soeharto hingga bablasannya kini, tak akan mau menggubris fotokopi bukti penerimaan dana Rp 40 miliar itu atas nama kedua bendahara Golkar, Fadel Muhammad dan M.S. Hidayat. Tentu juga mereka tak akan mau memburu ke mana saja dana itu disalurkan oleh kedua bendahara tersebut. Jangankan memenuhi ke-11 ketentuan yang disebutkan secara terpuji oleh Hakim Agung Abdul Rahman Saleh ketika melaksanakan his right to dissent, mereka pun tak akan sudi menghadirkan saksi-saksi yang memberatkan Akbar Tandjung, dan seterusnya. Sebab, tujuan sentralnya memang bukanlah untuk menegakkan keadilan, melainkan untuk membablaskan Orde Baru dalam arena Pemilu 1999, sebagai pelengkap upaya pembablasan mereka sebelumnya pada tingkat undang-undang (UU No. 2, 3, 4, dan 22/1999).

Mengoreksi satu saja dari rangkaian "kejanggalan" itu, menguak sekecil apa pun deretan "cover up", mempersoalkan sumpah jabatan dan kebohongan publik dalam amar keputusan, dan, dari sisi rechtsgevoel, memasukkan amanah Surah al-Maun untuk menyempurnakan zikir tasbih Akbar Tandjung berarti melanggar keniscayaan "konsistensi" upaya pembablasan Orde Baru. Konsistensi pembablasan juga mustahil disembunyikan pada pasal pembebas bahwa orang yang melaksanakan perintah atasan tak bisa dihukum. Bagi para pemimpin muslim dari Partai Golkar dan jutaan pengikutnya yang juga mengaku muslim, larangan "pendustaan agama" dalam Surah al-Maun itu sama sekali tak boleh mengusik pemberhalaan mereka kepada harta dan/atau kekuasaan!

Sekarang, dengan diumumkannya Siti Hardijanti Rukmana sebagai calon presiden Partai Karya Peduli Bangsa, lengkaplah tanda-tanda bahwa kelompok Orde Baru sudah gerah memakai "baju reformasi" dan ingin kembali ke "bajunya yang asli". Kehendak itu sendiri lagi-lagi merupakan pertanda kebebalan dan keserakahan. Tampaknya para pemimpin Partai Golkar sama sekali tidak memperhitungkan ironi yang mencuat pada kenyataan bahwa dana Rp 40 miliar itu dikucurkan menjelang Pemilu 1999 dan Akbar Tandjung dibebaskan sepenuhnya dari segala tuntutan juga menjelang Pemilu 2004. Partai yang amat terlatih dengan kebohongan ini tampaknya percaya benar bahwa "you can fool all people all the time"—bahwa mereka dapat membodohi semua orang sepanjang waktu. Tentu saja itu adalah konsekuensi sudah mendarah-dagingnya kebiasaan korupsi dan berbohong itu.

Demi menjunjung setinggi-tingginya amanah republik, nasion, dan tanah air kita, amanah cita-cita kemerdekaan dalam keadilan dan kebenaran, serta amanah ratusan ribu manusia Indonesia yang sudah gugur dan insya Allah masih akan terus berkorban untuk membelanya, saya mustahil menghormati keputusan kasasi Mahkamah Agung yang, dengan modus rule by law, membebaskan Akbar Tandjung sepenuhnya. Saya mustahil menghormati kelompok dan proyek bablasan Orde Baru. Itu sama seperti saya mustahil menafikan, apalagi memaafkan begitu saja, pengkhianatan serta perusakan besar-besaran terhadap negara-nasion kita baik oleh rezim Orde Baru Soeharto maupun oleh bablasannya dewasa ini. Bagi saya, itu adalah keputusan yang hina dari lembaga-lembaga peradilan yang juga hina! Contempt of court? By no means, Sir. You and your courts are the contemptible ones!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum