Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kembali ke Kompor Lagi

Oven microwave banyak diklaim sebagai alat yang aman. Padahal, ada risiko yang mengintip dari balik peranti dapur yang canggih ini.

19 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah pagi yang nyaman. Nancy, 30 tahun, sedang menyiapkan sarapan untuk keluarganya. "Gampang, siapkan bahan dan bumbu untuk sup, nyalakan oven microwave, lalu tunggu 5 menit. Jadilah sup tomat yang sedap untuk menghangatkan pagi," kata Nancy, yang tinggal di Kemang, Jakarta Selatan.

Begitulah, microwave menjadi andalan para ibu rumah tangga, juru masak restoran, juga koki kelas wahid di hotel internasional. Peranti yang butuh pasokan listrik sekitar 1.000 watt ini memang sanggup membantu menghadirkan masakan dengan praktis, cepat, dan mudah. "Masakan apa pun beres dengan alat ini," katanya.

Tapi, Saudara-saudara, tak perlu terburu nafsu memborong microwave yang berharga ratusan ribu rupiah itu. Ada baiknya kita lebih dulu menyimak risiko yang mengintip dari balik kotak pemanas makanan itu. Dua pekan lalu, topik ini diulas dalam Konferensi Global Kesehatan Holistik di Bangalore, India Selatan, yang juga dihadiri wartawan TEMPO.

Oven microwave, seperti halnya radio, siaran televisi, telepon seluler, juga telepon antarkota, adalah alat yang memanfaatkan energi gelombang pendek. Oven ini dilengkapi tabung elektromagnetik yang memancarkan radiasi 2.450 megahertz atau 2,45 gigahertz.

Pancaran gelombang itulah yang diserap molekul bahan makanan?terutama molekul air (H2O). Seperti dibombardir pukulan, kutub listrik positif dan negatif dalam molekul makanan terputar (berotasi) sampai jutaan kali dalam satu detik. Walhasil, timbul panas yang merata, dari dalam sampai ke lapisan luar makanan. Dengan cara ini makanan tidak gosong atau matang hanya di permukaan saja seperti yang terjadi pada oven konvensional. Bahkan, seperti yang kini gencar diiklankan di televisi, antara lain dengan bintang iklan artis Lidya Kandou, memasak dengan microwave membuat kandungan gizi makanan seratus persen tetap utuh.

Betulkah begitu? Memang tidak gampang memberi jawaban pasti. Seperti halnya efek radiasi gelombang telepon seluler, dampak oven microwave juga menjadi bahan kontroversi yang tak kunjung putus.

Profesor Ali Khomsan, ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), misalnya, termasuk yang menilai microwave oke-oke saja. Paling tidak, menurut dia, sebuah literatur menyebutkan oven ini bagus untuk kondisi tertentu, misalnya memasak daging. Cara konvensional selalu memunculkan zat-zat sampingan yang bersifat karsinogen atau pemicu kanker. Nah, "Microwave disebut bisa meniadakan produksi zat karsinogen ini dari pemasakan daging itu," katanya.

Sementara itu, pihak yang mempertanyakan manfaat oven microwave pun cukup melimpah. Bahkan, pemerintah Uni Soviet, pada 1976, merilis larangan penggunaan oven ini untuk memasak. Soviet, yang kemudian cerai-berai menjadi sejumlah negara kecil pada 1989, hanya mengizinkan warganya terpapar gelombang pendek berkekuatan maksimal 10 mikrowatt.

Keputusan ini muncul setelah ribuan tentara di masa Perang Dingin, saat dunia sibuk mengembangkan teknologi radar, menderita sakit serius yang diklaim karena banyak terpapar gelombang pendek berkekuatan 100 kilowatt. "Penyakit microwave" tadi meliputi tekanan darah rendah, rambut rontok, kekacauan fungsi hormonal, katarak, kanker, depresi, gangguan kesuburan, juga serangan jantung.

Namun keputusan Soviet melarang oven microwave tadi kurang bergaung di dunia. Maklum, yang dicontohkan adalah gelombang radar yang berkekuatan raksasa, sedangkan oven ini "hanya" berkekuatan 1.000 watt.

Di sisi lain, kalangan industri dengan gencar dan bergegas mengkampanyekan oven microwave sebagai bagian dari gaya hidup modern. Walhasil, dalam beberapa dekade terakhir pamor oven ini makin kinclong di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Adalah Hans Ulrich Hertel, mantan peneliti di perusahaan makanan ternama Nestle, Swiss, yang pertama kali menguji keamanan makanan yang diolah dalam oven microwave. Tahun 1991, dia merekrut sejumlah relawan yang dibagi dalam beberapa grup. Ada kelompok yang disuguhi menu yang dimasak secara biasa, grup yang lain menyantap makanan yang diolah dalam microwave, dan kelompok yang lain sebagai kontrol pembanding. Hertel juga mengambil dan menganalisis sampel darah responden sebelum dan sesudah makan.

Hasilnya cukup mengejutkan. Komposisi darah responden yang menyantap makanan microwave berubah. Terjadi kemerosotan kadar unsur-unsur yang amat penting dalam darah, yakni hemoglobin yang bertugas menyebarkan oksigen ke seluruh sel tubuh, kolesterol yang baik (HDL?high density lipoprotein), dan sel limfosit alias sel darah putih yang bertugas melawan penyakit.

Kemerosotan ini, menurut Hertel, muncul karena microwave mengacaukan struktur molekul dan muatan listrik makanan dengan dahsyat. "Tak ada satu pun molekul yang bisa tahan diguncang kekuatan microwave," tulis Hertel. Kekacauan molekul ini akhirnya merembet, mempengaruhi metabolisme tubuh manusia penyantap makanan, sosok yang juga tersusun dari kumpulan senyawa bermuatan listrik.

Sayang, suara Hertel terhambat oleh kemurkaan Asosiasi Dealer Barang Elektronik Swiss. Organisasi dagang ini mengajukan Hertel ke persidangan, yang kemudian memutuskan hasil riset Hertel tak boleh disebarkan ke masyarakat luas. Belakangan, atas nama kebebasan berekspresi, The European Court of Human Rights ikut campur dan mencabut larangan tadi.

Profesor Jean Monro, spesialis penyakit dalam dari Rumah Sakit Breakspear, King Langsley, Inggris, juga menemukan fenomena serupa. Medan elektromagnetik memang bisa muncul dari berbagai peralatan modern. Kambing hitam efek gelombang pendek pun tak bisa ditimpakan semata-mata pada oven ini. "Hanya, oven microwave memang berpengaruh paling kuat," kata Monro, yang juga hadir sebagai pembicara dalam konferensi di Bangalore.

Monro, sejak 1980-an, menyelidiki kaitan antara medan elektromagnetik dan berbagai kemunculan gejala semisal migren hebat, asma, kulit gatal, juga demam tanpa sebab. Tes medis pada para pasien membuktikan bahwa kondisi fisik mereka tidak kurang suatu apa. Sehat walafiat. Barulah setelah diuji dengan paparan gelombang mikro, pasien bereaksi menampakkan gejala-gejala tadi. "Bisa disimpulkan," kata Monro, "paparan gelombang pendek memang menurunkan kinerja sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan reaksi alergi."

Heiko Santelmann, dokter dari Norwegia yang mendalami alergi, juga punya pengalaman yang bisa menjadi rujukan. Banyak pasiennya mengeluhkan pusing tanpa henti, gatal-gatal kulit, kelelahan yang amat sangat (fatigue), susah tidur atau insomnia, susah konsentrasi, pelupa, juga sesak napas tanpa alasan jelas.

Setelah dirunut, ternyata pasien-pasien ini termasuk pengguna oven microwave yang fanatik. Pagi, siang, sore, malam, selama berpuluh tahun mereka menggunakan oven tersebut untuk membuat kopi, memasak sup, memanaskan pizza, juga memanggang daging steak. "Biarpun mereka kenyang dengan makanan mahal, pasokan nutrisinya tidak memadai," kata Santelmann di sela perbincangan konferensi.

Asam amino dan protein, menurut Santelmann, adalah senyawa yang paling gampang dirusak oleh cara kerja microwave. Padahal, kedua senyawa itulah yang menjaga ketahanan tubuh. "Jadi," tutur Santelmann, "bisa dibilang bahwa oven microwave itu membunuh energi hidup dalam makanan."

Lalu, adakah jalan keluar terbaik?

Monro dan Santelmann menganjurkan kita secara ketat memperhatikan prosedur pemakaian oven. Pastikan pula oven tidak bocor atau rusak, yang memperparah dampak buruk yang mungkin terjadi. Jauh lebih baik bila kita menggunakan microwave hanya sesekali. Selebihnya, disarankan kembali ke cara masak kuno dengan kompor atau oven biasa. Repot dan lama memang, tapi relatif lebih aman.

Mardiyah Chamim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus