Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kisah Dullah Melihat Lagi

Usaha pencangkokan kornea mata, yang telah banyak menolong penderita kebutaan mendapat dukungan kaum agama dalam diskusi oleh perkumpulan penyantun mata tuna-netra Indonesia (Bank Mata Pusat). (ksh)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DULLAH terpapah-papah, terus meraba-raba jalan dengan kakinya. Matanya hanya bisa menangkap benda paling jauh satu meter. Ia sering terpeleset dan jatuh tersandung batu. Itu lima belas tahun yang lalu. Kini dalam usia 43 ia bisa mengejar pintu lift yang hampir tertutup. Ia menuruni tangga kantornya seperti tupai untuk mencapai musholla di lantai bawah Departemen Penerangan Jakarta. Membaca pun ia lancar. "Dulu kalau tidak didekatkan betul ke mata, tak bisa membaca," katanya. Penglihatannya mulai rusak tahun 1965, ketika matanya berair terus. Bolak-balik ke Rumah Sakit Umum Pusat akhirnya dokter menyuntik pojok matanya, yang kiri dan kanan. Sejak pengobatan itu, rasa nyeri dan silau memang hilang. Tapi pandangannya semakin kabur. "Dokter mengatakan ibarat luka, mata saya sudah sembuh, tapi selaput korengnya masih tertempel di bola mata. Satu-satunya jalan adalah operasi kornea. Tapi kornea belum tersedia," katanya. Suatu hari bulan Pebruari 1969 datanglah panggilan rumah sakit. Ia menjalani operasi transplantasi kornea, berkat suatu sumbangan dari Sri Lanka. Ketika itu ia merasa bahwa dia dan tiga orang lainnya akan menjadi percobaan untuk operasi itu di Indonesia. Para wartawan diundang. Selama hampir 4 bulan ia berbaring di rumahsakit sekalipun beberapa minggu setelah operasi ia boleh pulang. Soalnya ia harus tetap di situ menunggu dutabesar Sri Lanka yang datang mengucapkan selamat dan membawa sekeranjang besar buah-buahan. Sehari setelah sadar dari operasi ia belum bisa melihat samasekali. Tiap hari perban yang membungkus mata diganti. Hari ketiga atau keempat, matanya mulai menangkap adanya sinar. "Ya Tuhan tak bisa saya gambarkan betapa girangnya saya ketika itu. Apalagi setelah beberapa hari kemudian perban dilepas saya sudah bisa melihat dari jarak yang dulu tak bisa saya lakukan," tuturnya. Setelah keluar dari rumahsakit ia bisa langsung bekerja dengan mata kanannya yang sudah cemerlang berkat kornea baru. Kemudian, Januari 1979, mata kirinya dioperasi pula. Kali ini cuma 17 hari dia mendekam di rumahsakit. Tapi daya lihat mata kirinya tidak setajam yang kanan. Usaha Kemanusiaan Sekilas tak kentara bahwa Dullah memandang dengan kornea orang lain. Yang sebelah kanan -- yang melihat dengan jelas datang dari mata Nona Mike, wanita yang meninggal dalam usia 40, beragama Budha dari Sri Lanka. Sedangkan kornea kiri datang dari seorang lelaki, yang tak diketahuinya siapa. Dullah yang sekarang menjadi Kepala Sub Bagian Pengurusan Surat dan Arsip, Direktorat Bina Pers, Deppen, tak pernah memikirkan haram atau tidaknya menerima kornea dari seorang wanita dan beragama Budha pula. Dia tak putus-putusnya mengucapkan terimakasih atas bantuan dokter yang mebuat matanya sembuh kembali. Begitu pun kepada orang yang telah menyumbangkan korneanya. Tapi pekan lalu soal haram tidaknya pencangkokan kornea dibicarakan dalam suatu diskusi panel yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Penyantun Mata Tuna-Netra Indonesia (Bank Mata Pusat). Dihadiri oleh perutusan cabang Bank Mata dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Semarang dan Solo. diskusi itu mengundang pendapat kaum agama. Buya Hamka membawakan pandangan Islam. Ulama ini beranggapan bahwa pencangkokan kornea sama hukumnya dengan berobat, sedangkan berobat adalah usaha positif yang dikehendaki Islam. Menyitir hadis Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa orang yang mati itu jangan diganggu tubuhnya, Hamka berpendapat: "Menambil mata mayat itu bukanlah mengganggu, tetapi merupakan usaha untuk menolong orang lain yang masih hidup dan memerlukan pertolongan." Ia mengajak masyarakat untuk jangan ragu dalam hal transplantasi kornea ini. Berbicara pula dua tokoh Departemen Agama, yaitu Dirjen Bimas Katolik I.G Djoko Moeljono dan Direktur urusan Kristen Protestan drs Soenarto Martowirjono. Keduanya menganggap pencangkokan kornea sebagai usaha yang terpuji dan tak bertentangan dengan kehendak Tuhan, karena membahagiakan orang lain. "Ini merupakan usaha kemanusiaan, yakni meringankan penderitaan sesama manusia," kata Menko Kesra Surono. "Penghormatan terhadap jenazah tidak berarti harus mengesampingkan kepentingan orang hidup (masyarakat) yang ada hubungannya dengan si mayat," ulas Menteri Agama H. Alamsjah Ratu Perwiranegara. Diskusi itu merupakan rangkaian kampanye Bank Mata. Sampai sekarang ini meskipun berbagai cara sudah ditempuh termasuk kampanye lewat kampus, jumlah donor belum melebihi 1500. Angka ini, menurut Ketua Bank Mata, Ny. M. Hutasoit masih terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah 100.000 penderita kebutaan karena rusaknya kornea di negeri ini. Indonesia masih menjadi negara "penerima" sumbangan kornea terbesar dari Sri Lanka. Sejak berdirinya tahun 1967, Bank Mata Indonesia cuma dapat mengumpulkan 511 kornea. Yang berasal dari orang Indonesia sendiri hanya 105. Dari Sri Lanka 396, selebihnya dari Amerika Serikat dan India. Bank Mata juga ingin meninggalkan kebiasaan mengharapkan kornea Indonesia yang berasal dari kaum fakir-miskin yang ditampung di rumah-rumah sakit kelas bawah. Tapi nampaknya kampanye mencari donor ini masih perlu pula ditunjang dengan perbaikan organisasi Bank Mata sendiri. Beberapa donor ternyata tak sempat dijangkau pada waktunya. Penyiar RRI Mpok Ani, misalnya. Begitupun tokoh Taman Siswa Ki Moh. Said Reksohadiprodjo, yang meninggal 21 Juni, tak terlaksana niatnya menjadi penolong orang buta. "Ia meninggal jam 8 malam. Kami tunggu sampai tiga jam tapi dokter yang akan mengambil korneanya tak datang," kata seorang keponakan almarhu. Untuk transplantasi kornea, para dokter di sini sudah cukup maju. "Sampai sekarang 77% berhasil baik, walaupun resipien sudah agak lanjut usianya." kata ahli mata Prof Isak Salim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus