DULLAH terpapah-papah, terus meraba-raba jalan dengan kakinya.
Matanya hanya bisa menangkap benda paling jauh satu meter. Ia
sering terpeleset dan jatuh tersandung batu.
Itu lima belas tahun yang lalu. Kini dalam usia 43 ia bisa
mengejar pintu lift yang hampir tertutup. Ia menuruni tangga
kantornya seperti tupai untuk mencapai musholla di lantai bawah
Departemen Penerangan Jakarta. Membaca pun ia lancar. "Dulu
kalau tidak didekatkan betul ke mata, tak bisa membaca,"
katanya.
Penglihatannya mulai rusak tahun 1965, ketika matanya berair
terus. Bolak-balik ke Rumah Sakit Umum Pusat akhirnya dokter
menyuntik pojok matanya, yang kiri dan kanan. Sejak pengobatan
itu, rasa nyeri dan silau memang hilang. Tapi pandangannya
semakin kabur. "Dokter mengatakan ibarat luka, mata saya sudah
sembuh, tapi selaput korengnya masih tertempel di bola mata.
Satu-satunya jalan adalah operasi kornea. Tapi kornea belum
tersedia," katanya.
Suatu hari bulan Pebruari 1969 datanglah panggilan rumah sakit.
Ia menjalani operasi transplantasi kornea, berkat suatu
sumbangan dari Sri Lanka.
Ketika itu ia merasa bahwa dia dan tiga orang lainnya akan
menjadi percobaan untuk operasi itu di Indonesia. Para wartawan
diundang. Selama hampir 4 bulan ia berbaring di rumahsakit
sekalipun beberapa minggu setelah operasi ia boleh pulang.
Soalnya ia harus tetap di situ menunggu dutabesar Sri Lanka yang
datang mengucapkan selamat dan membawa sekeranjang besar
buah-buahan.
Sehari setelah sadar dari operasi ia belum bisa melihat
samasekali. Tiap hari perban yang membungkus mata diganti. Hari
ketiga atau keempat, matanya mulai menangkap adanya sinar. "Ya
Tuhan tak bisa saya gambarkan betapa girangnya saya ketika itu.
Apalagi setelah beberapa hari kemudian perban dilepas saya sudah
bisa melihat dari jarak yang dulu tak bisa saya lakukan,"
tuturnya.
Setelah keluar dari rumahsakit ia bisa langsung bekerja dengan
mata kanannya yang sudah cemerlang berkat kornea baru. Kemudian,
Januari 1979, mata kirinya dioperasi pula. Kali ini cuma 17 hari
dia mendekam di rumahsakit. Tapi daya lihat mata kirinya tidak
setajam yang kanan.
Usaha Kemanusiaan
Sekilas tak kentara bahwa Dullah memandang dengan kornea orang
lain. Yang sebelah kanan -- yang melihat dengan jelas datang
dari mata Nona Mike, wanita yang meninggal dalam usia 40,
beragama Budha dari Sri Lanka. Sedangkan kornea kiri datang dari
seorang lelaki, yang tak diketahuinya siapa.
Dullah yang sekarang menjadi Kepala Sub Bagian Pengurusan Surat
dan Arsip, Direktorat Bina Pers, Deppen, tak pernah memikirkan
haram atau tidaknya menerima kornea dari seorang wanita dan
beragama Budha pula. Dia tak putus-putusnya mengucapkan
terimakasih atas bantuan dokter yang mebuat matanya sembuh
kembali. Begitu pun kepada orang yang telah menyumbangkan
korneanya.
Tapi pekan lalu soal haram tidaknya pencangkokan kornea
dibicarakan dalam suatu diskusi panel yang diselenggarakan oleh
Perkumpulan Penyantun Mata Tuna-Netra Indonesia (Bank Mata
Pusat). Dihadiri oleh perutusan cabang Bank Mata dari Jakarta,
Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Semarang dan Solo. diskusi itu
mengundang pendapat kaum agama.
Buya Hamka membawakan pandangan Islam. Ulama ini beranggapan
bahwa pencangkokan kornea sama hukumnya dengan berobat,
sedangkan berobat adalah usaha positif yang dikehendaki Islam.
Menyitir hadis Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa orang yang
mati itu jangan diganggu tubuhnya, Hamka berpendapat: "Menambil
mata mayat itu bukanlah mengganggu, tetapi merupakan usaha
untuk menolong orang lain yang masih hidup dan memerlukan
pertolongan." Ia mengajak masyarakat untuk jangan ragu dalam hal
transplantasi kornea ini.
Berbicara pula dua tokoh Departemen Agama, yaitu Dirjen Bimas
Katolik I.G Djoko Moeljono dan Direktur urusan Kristen Protestan
drs Soenarto Martowirjono. Keduanya menganggap pencangkokan
kornea sebagai usaha yang terpuji dan tak bertentangan dengan
kehendak Tuhan, karena membahagiakan orang lain.
"Ini merupakan usaha kemanusiaan, yakni meringankan penderitaan
sesama manusia," kata Menko Kesra Surono. "Penghormatan terhadap
jenazah tidak berarti harus mengesampingkan kepentingan orang
hidup (masyarakat) yang ada hubungannya dengan si mayat," ulas
Menteri Agama H. Alamsjah Ratu Perwiranegara.
Diskusi itu merupakan rangkaian kampanye Bank Mata. Sampai
sekarang ini meskipun berbagai cara sudah ditempuh termasuk
kampanye lewat kampus, jumlah donor belum melebihi 1500. Angka
ini, menurut Ketua Bank Mata, Ny. M. Hutasoit masih terlalu
sedikit dibandingkan dengan jumlah 100.000 penderita kebutaan
karena rusaknya kornea di negeri ini.
Indonesia masih menjadi negara "penerima" sumbangan kornea
terbesar dari Sri Lanka. Sejak berdirinya tahun 1967, Bank Mata
Indonesia cuma dapat mengumpulkan 511 kornea. Yang berasal dari
orang Indonesia sendiri hanya 105. Dari Sri Lanka 396,
selebihnya dari Amerika Serikat dan India.
Bank Mata juga ingin meninggalkan kebiasaan mengharapkan kornea
Indonesia yang berasal dari kaum fakir-miskin yang ditampung di
rumah-rumah sakit kelas bawah. Tapi nampaknya kampanye mencari
donor ini masih perlu pula ditunjang dengan perbaikan organisasi
Bank Mata sendiri. Beberapa donor ternyata tak sempat dijangkau
pada waktunya. Penyiar RRI Mpok Ani, misalnya. Begitupun tokoh
Taman Siswa Ki Moh. Said Reksohadiprodjo, yang meninggal 21
Juni, tak terlaksana niatnya menjadi penolong orang buta. "Ia
meninggal jam 8 malam. Kami tunggu sampai tiga jam tapi dokter
yang akan mengambil korneanya tak datang," kata seorang
keponakan almarhu.
Untuk transplantasi kornea, para dokter di sini sudah cukup
maju. "Sampai sekarang 77% berhasil baik, walaupun resipien
sudah agak lanjut usianya." kata ahli mata Prof Isak Salim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini