Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Sebuah Desa Di Tengah Cagar Alam

Penduduk Desa Jaya, Kabupaten Pandeglang, Ja-bar, hidup dari bertani padi, palawija & kelapa, sering mengeluh karena daerahnya termasuk cagar alam Ujung Kulon, dimana berburu binatang liarpun dilarang.(ds)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Sebuah Desa Di Tengah Cagar Alam
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PERNAH ke Ujung Kulon? Orang maklum, apapun yang ada di sana tak boleh diganggu. Sebab daerah itu merupakan cagar alam. Maka adalah penduduk Desa Jaya, Kecamatan Sumur Kabupaten Pandegelang (Jabar) selama ini sering mengeluh. Sebab desa itu ternyata berada di daerah cagar alam tadi. Lahir lebih setahun lalu, sebagai pecahan dari Desa Cigorondong, Taman Jaya berpenduduk 3497 jiwa dengan 2245 atau hampir 2/3-nya adalah wanita. Seperti penduduk pedesaan pada umumnya, sebagian besar di antara mereka petani. Nurjen, Kepala Desa, kepada Bari Ts dari TEMPO yang mengunjungi desa itu pertengahan Juni lalu mengatakan, dengan luas desa meliputi lebih 342 hektar sawah dan 442 hektar lahan darat, penduduk di desanya sebenarnya tidak akan pernah kekurangan pangan. Lebih-lebih faktor air bagi sawah-sawah di sana, tidak terganggu. Namun kenyataannya rata-rata 20 ton beras setiap bulan harus didatangkan dari Labuhan, kecamatan lain. Alasannya sawah di Desa Taman Jaya hanya digarap petani setahun sekali dengan hasil seluruhnya sekitar 50 ton. Artinya hanya cukup untuk 2-3 bulan saja. Membuka Pintu "Tani di sini tani kagol, " ucap Sapri, salah seorang penduduk. Maksudnya, petani tanggung. Adakah penduduk memang malas? Nurjen, 38 tahun, sekali pun ragu-ragu menjawab "ya begitulah, sedikit malas." Tapi Nurjen juga mengungkapkan bahwa penyuluhan pertanian di desanya belum mantap. Apa boleh buat. Sebab jarak antara Desa Taman Jaya dengan ibu kecamatan Sumur berjarak 20 kilometer. Tak heran petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang seperti biasa berpusat di ibu-ibu kecamatan. sampai saat ini baru sekali saja berkunjung ke Taman Jaya. Dalam pada itu, satu usaha contoh persawahan yang dibuat oleh petugas PPL yang datang baru sekali tadi, ternyata gagal. Lantas, petani pernah dijanjikan akan dikirim bibit unggul anti wereng (VUTW) -- entah mengapa janji itu tak ditepati. Juga terjadi cerita ini: satu waktu penduduk kampung Cikawung memberi pupuk bagi tanamannya di sawah. Secara kebetulan hama ganjur sudah lebih dulu berbiak. Akibatnya panen petani Cikawung tadi tidak memuaskan. Kurangnya penyuluhan dan pengalaman sebagian penduduk tadi membuat petani lesu menanami sawahnya secara sungguh-sungguh. Di luar berkebun palawija atau menanam padi, penduduk pada umumnya mempunyai pohon kelapa. Kalaupun tidak, mereka tetap masih menggantungkan hidupnya pada buah kelapa scbagai kuli panjat -- dengan upah Rp 1,50 per kelapa sehingga setiap kuli rata-rata mampu menyadap rejeki Rp 400 sehari. Sementara itu, 60 dari 718 keluarga penduduk, anteng hidup sebagai nelayan. Mereka, sebagian besar berasal dari Sulawesi Selatan. Masalah lain yang tak kurang menjadi momok bagi usaha penduduk untuk menggarap sawah adalah babi. Satu di antara sekian jenis hewan yang galib ada di pedesaan ini, apalagi di daerah cagar alam, tak kalah sengit merusak tanaman petani di samping berbagai hama lain seperti ganjur. Nawawi, salah seorang penduduk, bukan saja sudah menyalami serangan babi terhadap sawah dan berbagai jenis tanaman palawija di kebunnya, tapi juga terhadap padi di lumbung di samping rumahnya sendiri. Menurut Nurjen, babi-babi itu sangat galak. Sampai-sampai, bukan saja pandai melompat pagar tapi juga "membuka pintu seperti manusia." Banteng dan rusa, menurut Nurjen bukan tidak pernah mengganggu kehidupan penduduk. Tapi kedua mahluk hutan yang lain ini hanya beraksi kadang-kadang saja. Lagi pula mudah di halau, katanya. Lantas, bagaimana usaha penduduk memburu babi tadi? Selain rata-rata sebagai orang Islam ragu-ragu menghadapinya, mereka pun takut karena perburuan dilarang pemerintah yaitu Direktorat PPA (Perlindungan dan Pengawetan Alam). Dengan akan dijadikannya cagar alam Ujung Kulon menjadi Taman Nasional, artinya lebih terbuka bagi umum, penduduk Taman Jaya tetap belum dapat memecahkan masalah gangguan babi tadi. Tapi Direktur PPA ir Loekito Daryadi, yang berkantor di Bogor, kepada TEMPO mengatakan sudah memerintahkan Widodo Sukohadi Ramono sebagai Kepala PPA Ujung Kulon dan Panaitan untuk memecahkan masalah tersebut. Jadi, cerita selanjutnya, tunggu saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus