PADANG ILALANG DI BELAKANG RUMAH
Cerita: Nh. Dini
Penerbit: Pustaka Jaya, 1979, 156 halaman
TAK banyak pengarang yang dengan jelas menyebut bahwa novelnya
diangkat dari kehidupan nyata pribadinya. Mungkin karena risi
atau khawatir dicap macam-macam. Tapi Nh. Dini nampaknya sudah
merasa mantap dan tak perlu kikuk lagi menghadapi pembaca.
Dengan terus-terang ia menuliskan 'cerita kenangan' masa
kecilnya -- tak tanggung-tanggung -- dalam 4 judul.
Yang pertama, Sebuah Lorong di Kotak diterbitkan akhir tahun
lalu (baca TEMPO 13 Januari 1979), merupakan episode pertama
sejak Dini kecil mampu mencatat segala kejadian yang dialaminya,
sampai Jepang datang di Indonesia menggantikan kedudukan Belanda
sebagai penjajah.
Padang Ilalang di Belakang Rumah ini adalah episode kedua.
Cerita kehidupan keluarga Salyo dalam masa pendudukan Jepang.
Dan Dini masih tetap menjadi si kecil yang baru saja masuk
sekolah. Dan pengarang tetap menuturkan seluruh kejadian menurut
mata dan jiwa kanak-kanak meski -- sebagaimana dalam buku
pertama -- tak konsisten.
Agaknya Nh. Dini menyadari juga hal itu. Di satu pihak ia
berusaha melukiskan segala sesuatunya sedapat mungkin menurut
mata kanak-kanak (Aku) di pihak lain, menyadari sulitnya
merekonstruksi pemikiran kanak-kanak demi kepentingan novel dan
pengarangnya, ia pun berhenti menjadi anak dan bertutur sebagai
orang dewasa. Dengan halus dan cerdik berkali-kali ia
mengingatkan kepada pembaca bahwa novel itu ditulis oleh Dini
yang bukan kanak lagi.
Novel ini dimulai dengan nongolnya 5 serdadu Jepang secara
tiba-tiba di belakang rumah Dini dan masuk setelah merusak
pagar. Selanjutnya ialah lukisan yang cermat tentang kehidupan
keluarga Salyo di tengah semakin sulitnya orang mencari uang dan
bahan makanan. Dengan terpaksa, Nyonya Salyo akhirnya mau
menerima pekerjaan membatik pesanan seorang pedagang Cina, dan
sekaligus merubah suasana rumah itu menjadi suasana sebuah
pabrik kue agar mereka tak terlantar dan kurang makan.
Menjadi "Buruh"
Sebelum itu, sang Nyonya yang dibesarkan dalam lingkungan
priyayi, tak bisa menerima kemungkinan perubahan semacam itu.
Sebagai orang terpandang, ia enggan untuk -- betapa pun sulitnya
keadaan -- menjadi 'buruh' atau berjualan, meskipun suaminya
berkali-kali menyadarkan agar ia bisa bersikap lebih realistis.
Baru ketika seorang tetangganya yang sederajat, dalam masa sulit
itu mau turun ke emper toko dan menjadi pedagang pakaian bekas,
pikiran sang Nyonya terbuka. Ia pun terbebas dari kungkungan
rasa malu dan keengganan. Dini akhirnya bisa mencatat: "Dari
seluruh isi rumah, ibukulah yang paling terengah-engah. Ia
berusaha mengikuti zaman dengan langkahnya yang sempit,
tertahan-tahan oleh kain dan kebiasaan adat yang sukar
dilepaskan.
Untuk mengurangi beban, jumlah pembantu rumah-tangga pun
dikurangi jadi satu orang saja. Sejak itu seluruh keluarga
terlibat pada kegiatan membatik dan bikin kue. Tapi seperti
dalam bukunya yang pertama, tak ada penderitaan yang begitu
dramatik dalam kehidupan mereka. Mungkin karena mereka masih
tetap dalam keadaan berkecukupan. Heratih, Teguh, Maryam,
Nugroho dan Dini, bisa menikmati masa kecilnya dengan wajar dan
romantik -- sebab tak sungguh-sungguh direnggut oleh
penderitaan. Kalau pun ada kesusahan, itu ketika berkali-kali
mereka harus mengungsi. Tapi pada umumnya mereka senannasa
bergemhira dan bisa bermain sepuasnya.
Teka-Teki Dini
Mungkin ini karena keluarga itu sejak awal memang bahagia. Atau
karena pengarang memang berhasil membatasi 'pandangan'
kanak-kanaknya -- sehingga penderitaan atau apa pun namanya
luput dari perhatian si Dini kecil.
Hal yang besar artinya bagi Dini yang dikisahkannya dalam buku
ini agaknya, selain masa pendudukan Jepang itu sendiri beserta
kesulitan-kesulitannya, ialah perubahan sikap ibunya, dan
persahabatannya yang sangat erat dengan Edi Sedyawati, anak
Pamannya, Iman Sujahri, Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu,
yang sekarang menjadi tokoh tari dan dosen arkeologi UI.
Selain itu, pertunangan Heratih, kakak tertua Dini serta
perkawinannya kelak, agaknya punya arti besar. Apalagi ketika
sepasang pengantin baru itu harus mengungsi ke Solo disertai
Maryam, kakak Dini yang lain pada waktu keadaan begitu genting.
Sampai akhir novel ini, tak ketahuan bagaimana nasibnya Maryam.
Dan itulah teka-teki yang dengan pintar Dini tinggalkan kepada
pembaca.
Maka novel ini pun terasa 'memaksa' pembaca agar juga membaca
novel sebelumnya -- dan dua judul lagi yang akan terbit: Langit
dan Bumi Sahabat Kami dan Sekayu. Tapi tidak mengecewakan.
Paling tidak, dari dalamnya bisa diketahui bagaimana masa kecil
pengarangnya, bagaimana situasi zaman itu dan bagaimana pula
sebuah keluarga Jawa priyayi kecil atau menengah Semarang
beserta adat kebiasaannya berlangsung. Dan mungkin juga cukup
penting, yaitu bahwa rangkaian cerita kenangan ini bisa dibaca
segala umur.
Yudhistira ANM Massardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini