Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Buku kedua masa kecil

Pengarang: n.h. dini jakarta: pustaka jaya, 1979 resensi oleh: yudhistira anm massardi (bk)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADANG ILALANG DI BELAKANG RUMAH Cerita: Nh. Dini Penerbit: Pustaka Jaya, 1979, 156 halaman TAK banyak pengarang yang dengan jelas menyebut bahwa novelnya diangkat dari kehidupan nyata pribadinya. Mungkin karena risi atau khawatir dicap macam-macam. Tapi Nh. Dini nampaknya sudah merasa mantap dan tak perlu kikuk lagi menghadapi pembaca. Dengan terus-terang ia menuliskan 'cerita kenangan' masa kecilnya -- tak tanggung-tanggung -- dalam 4 judul. Yang pertama, Sebuah Lorong di Kotak diterbitkan akhir tahun lalu (baca TEMPO 13 Januari 1979), merupakan episode pertama sejak Dini kecil mampu mencatat segala kejadian yang dialaminya, sampai Jepang datang di Indonesia menggantikan kedudukan Belanda sebagai penjajah. Padang Ilalang di Belakang Rumah ini adalah episode kedua. Cerita kehidupan keluarga Salyo dalam masa pendudukan Jepang. Dan Dini masih tetap menjadi si kecil yang baru saja masuk sekolah. Dan pengarang tetap menuturkan seluruh kejadian menurut mata dan jiwa kanak-kanak meski -- sebagaimana dalam buku pertama -- tak konsisten. Agaknya Nh. Dini menyadari juga hal itu. Di satu pihak ia berusaha melukiskan segala sesuatunya sedapat mungkin menurut mata kanak-kanak (Aku) di pihak lain, menyadari sulitnya merekonstruksi pemikiran kanak-kanak demi kepentingan novel dan pengarangnya, ia pun berhenti menjadi anak dan bertutur sebagai orang dewasa. Dengan halus dan cerdik berkali-kali ia mengingatkan kepada pembaca bahwa novel itu ditulis oleh Dini yang bukan kanak lagi. Novel ini dimulai dengan nongolnya 5 serdadu Jepang secara tiba-tiba di belakang rumah Dini dan masuk setelah merusak pagar. Selanjutnya ialah lukisan yang cermat tentang kehidupan keluarga Salyo di tengah semakin sulitnya orang mencari uang dan bahan makanan. Dengan terpaksa, Nyonya Salyo akhirnya mau menerima pekerjaan membatik pesanan seorang pedagang Cina, dan sekaligus merubah suasana rumah itu menjadi suasana sebuah pabrik kue agar mereka tak terlantar dan kurang makan. Menjadi "Buruh" Sebelum itu, sang Nyonya yang dibesarkan dalam lingkungan priyayi, tak bisa menerima kemungkinan perubahan semacam itu. Sebagai orang terpandang, ia enggan untuk -- betapa pun sulitnya keadaan -- menjadi 'buruh' atau berjualan, meskipun suaminya berkali-kali menyadarkan agar ia bisa bersikap lebih realistis. Baru ketika seorang tetangganya yang sederajat, dalam masa sulit itu mau turun ke emper toko dan menjadi pedagang pakaian bekas, pikiran sang Nyonya terbuka. Ia pun terbebas dari kungkungan rasa malu dan keengganan. Dini akhirnya bisa mencatat: "Dari seluruh isi rumah, ibukulah yang paling terengah-engah. Ia berusaha mengikuti zaman dengan langkahnya yang sempit, tertahan-tahan oleh kain dan kebiasaan adat yang sukar dilepaskan. Untuk mengurangi beban, jumlah pembantu rumah-tangga pun dikurangi jadi satu orang saja. Sejak itu seluruh keluarga terlibat pada kegiatan membatik dan bikin kue. Tapi seperti dalam bukunya yang pertama, tak ada penderitaan yang begitu dramatik dalam kehidupan mereka. Mungkin karena mereka masih tetap dalam keadaan berkecukupan. Heratih, Teguh, Maryam, Nugroho dan Dini, bisa menikmati masa kecilnya dengan wajar dan romantik -- sebab tak sungguh-sungguh direnggut oleh penderitaan. Kalau pun ada kesusahan, itu ketika berkali-kali mereka harus mengungsi. Tapi pada umumnya mereka senannasa bergemhira dan bisa bermain sepuasnya. Teka-Teki Dini Mungkin ini karena keluarga itu sejak awal memang bahagia. Atau karena pengarang memang berhasil membatasi 'pandangan' kanak-kanaknya -- sehingga penderitaan atau apa pun namanya luput dari perhatian si Dini kecil. Hal yang besar artinya bagi Dini yang dikisahkannya dalam buku ini agaknya, selain masa pendudukan Jepang itu sendiri beserta kesulitan-kesulitannya, ialah perubahan sikap ibunya, dan persahabatannya yang sangat erat dengan Edi Sedyawati, anak Pamannya, Iman Sujahri, Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu, yang sekarang menjadi tokoh tari dan dosen arkeologi UI. Selain itu, pertunangan Heratih, kakak tertua Dini serta perkawinannya kelak, agaknya punya arti besar. Apalagi ketika sepasang pengantin baru itu harus mengungsi ke Solo disertai Maryam, kakak Dini yang lain pada waktu keadaan begitu genting. Sampai akhir novel ini, tak ketahuan bagaimana nasibnya Maryam. Dan itulah teka-teki yang dengan pintar Dini tinggalkan kepada pembaca. Maka novel ini pun terasa 'memaksa' pembaca agar juga membaca novel sebelumnya -- dan dua judul lagi yang akan terbit: Langit dan Bumi Sahabat Kami dan Sekayu. Tapi tidak mengecewakan. Paling tidak, dari dalamnya bisa diketahui bagaimana masa kecil pengarangnya, bagaimana situasi zaman itu dan bagaimana pula sebuah keluarga Jawa priyayi kecil atau menengah Semarang beserta adat kebiasaannya berlangsung. Dan mungkin juga cukup penting, yaitu bahwa rangkaian cerita kenangan ini bisa dibaca segala umur. Yudhistira ANM Massardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus