Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tergantung galeri

Pameran tunggal pelukis salim yang kedua di paris, diadakan di galerie guiot, paris, menampilkan 27 lukisan. dibuka oleh dubes ri untuk prancis mohammad noer, biaya ditanggung sendiri. (sr)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GALERIE Guiot, salah satu di antara enam galeri nomor wahid di Paris. Letaknya di 18 avenue Matignon, satu daerah mahal -- hanya beberapa puluh langkah dari kediaman Ratna Sari Dewi. Salim, 71 tahun, orang Indonesia yang tak mau dibilang pelukis Melayu itu, hari Kamis 7 Juni yang lalu membuka pameran tunggalnya yang kedua di Paris (yang pertama 1957 di sebuah galeri kecil) di galeri tersebut. Meski dibuka oleh Mohammad Noer, Dubes RI untuk Perancis, ruang pameran yang lebih kecil dari Balai Budaya Jakarta itu hanya dihadiri kurang-lebih dua puluh kepala. Separuh hadirin tentu saja dari Melayu. Suasana di ruang pameran bawah tanah itu sepi. Tak ada musik tak ada koktil seperti waktu pamerannya di TIM tahun 1974 dulu dan tak ada katalogus. Ada 27 lukisan Salim bertahun 1979 dan beberapa dari tahun 1977 dan 1976. Warna-warnanya cerah. Secara keseluruhan warna kuning dan merah muda terasa begitu dominan kehadirannya. "Lukisan-lukisan ini bagus. Tak ada kritik sama sekali yang perlu diluncurkan. Sebagai lukisan ia sempurna. Indah. Orisinil," kata Jean-Franqois Bardez pelukis Perancis lulusan Beaux Arts de Paris yang kerjanya merestorasi lukisan rusak. "Saya setuju dengan komentar seorang pengunjung bahwa struktur garis lukisan saya bagai anyaman bambu atau tenun. Tapi warna kuning yang dominan itu memang warna kemarau Indonesia yang masih berbekas dalam kenangan saya," ini kata pelukisnya sendiri yang belum juga menikah itu. Tapi obyek lukisan Salim nyaris seragam pemandangan kota, beton-beton, pohonan, bunga dan kathedral. Terutama pemandangan di daerah Selatan, seperti disebut dalam judul-judulnya Ale cala de Heuares, Paysage en Espagne, Arbre dans le midi, Caylus, dan lain-lain. Satu-satunya lukisan berciri 'Melayu' cuma Jeune filie de Bali (Gadis Bali). Sebenarnya Salim sejak dua tahun yang lalu menyiapkan 46 lukisan untuk pamerannya ini. Tapi pihak galeri hanya memilih 27 itu saja. Alasannya? Lukisan-lukisan itulah yang paling mewakili Salim dan bisa dijual kepada publiknya. Dan lagi galeri keberatan bila semua lukisan Salim ditumpuk di ruang yang tak seberapa besar itu. Padahal ada banyak lukisan yang bagi Salim sendiri kuat yang tak lolos. Tapi apa daya. Memang begitulah aturan main di seluruh galeri di Paris. Salim keluar uang 13 ribu francs (hampir Rp 2 juta) untuk sewa galeri dari 7 sampai 30 Juni lalu. Jumlah yang konon tak begitu mahal dibanding dengan negara lain, seperti diakui Salim. Kecuali biaya sewa, Salim juga harus membeli dan memasang piguranya sendiri. Warnanya ditentukan oleh galeri: coklat. Kartu undangan dan iklan di koran dibayar Salim sendiri. Total jenderal biaya yang telah dikeluarkan berjumlah kurang-lebih 20.000 francs (hampir Rp 3 juta). Harga lukisan yang juga ditentukan galeri -- dari 2.500 francs sampai 5.000 francs. Pembagian hasilnya? Separuh-separuh. Yang menarik kalau kita mencoba berhitung. Jumlah seluruh lukisan itu harganya sekitar 35.000 francs. Bila laku semua dan dibagi dua, Salim masih akan tetap rugi. Tapi ia memang sudah siap. Juga apabila lukisannya tak laku semua. Sampai pameran itu berlangsung 10 hari baru laku empat buah. Salim menolak ketika ada seorang pengunjung yang hendak membeli lukisan seusai pameran. Sebetulnya ia bisa menerima uang lebih banyak bila dibeli seusai pameran. "Sebab jumlah lukisan yang laku di dalam galeri selama pameran berlangsung, di sini, menjadi ukuran prestasi. Bila banyak terjual waktu pameran gengsi kita akan naik. Tapi bila laku semua di luar pameran tak ada artinya bagi seorang pelukis," ujar Salim. Apalagi di Paris ada semacam bursa lukisan. Untuk menjaga standar harga lukisan agar tidak jatuh, pedagang atau pemilik galeri atau bahkan pelukisnya sendiri akan segera memborong semua lukisan seorang pelukis baik yang masih hidup atau yang sudah mati, bila lukisan-lukisan itu dijual dengan harga murah. Untuk pameran ini Salim memasrahkan segala-galanya kepada Galerie Guiot. Juga pemasangan dan pengaturan lampu di ruang pameran itu. Dan menjadi seorang pelukis di negara maju memang tak lebih bagai seorang pengrajin yang mati hidupnya ditentukan oleh mafia galeri macam itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus