Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Legenda Kopi Lereng Bromo

Desa Taji, Malang, di lereng Gunung Bromo, salah satu penghasil java coffee jenis arabika terbaik sejak zaman Belanda.

21 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATAHARI mulai menampakkan kemegahan cahayanya pada pagi itu. Kehangatannya menyingkap selimut kabut yang sejak semalam turun di sebelah barat lereng Gunung Bromo, Desa Taji, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Suara decit burung mengiringi langkah kaki Kambang menjejak menuruni lereng menuju kebun kopi di belakang rumahnya. Dibantu keponakannya, Kambang akan memulai panen kopi jenis arabika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemandangan di lereng gunung Bromo di desa Taji, Jabung, Malang, Jawa Timur. ANTARA/Ari Bowo Sucipto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada tiga jenis tanaman kopi yang ditanam di Desa Taji, yaitu arabika, robusta, dan liberica. Ketinggian 1.200 mdpl membuat pohon kopi arabika tumbuh subur.

Begitu juga dengan pohon kopi robusta. Meski idealnya robusta ditanam di kawasan dengan ketinggian kurang dari 1.000 mdpl, ternyata pohon kopi jenis ini mampu berbuah lebat dan mempunyai cita rasa yang khas.

Kambang memanen kopi jenis Arabica yang ditanam di lereng gunung Bromo di desa Taji, Jabung, Malang. ANTARA/Ari Bowo Sucipto

Ciri khas kopi Desa Taji adalah aroma dan rasa kopinya terasa lebih lembut dan ada sedikit rasa asam jawa. Selain pengaruh ketinggian, unsur hara dalam tanah di Desa Taji menjadi salah satu faktor yang membuat cita rasa kopi yang ada di desa tersebut unik dan melegenda.

Kolase foto portrait petani kopi di desa Taji. ANTARA/Ari Bowo Sucipto

Desa Taji sudah dikenal sebagai salah satu kawasan penghasil java kaffa atau java coffee jenis Arabica terbaik dengan cita rasa khas sejak jaman kolonial Belanda. Pada masa itu, Desa Taji dijadikan sentra perkebunan kopi. Namun, pada 1990, seluruh pohon kopi di Desa Taji justru dibabat habis. Hal ini karena warga setempat beramai-ramai beralih menanam sayur.

Petani kopi dan mahasiswa peneliti dari Universitas Brawijaya berdiskusi di lahan kopi di desa Taji. ANTARA/Ari Bowo Sucipto

Beralihnya petani menanam sayur tidak membawa perubahan berarti bagi warga setempat. Desa Taji tetap tertinggal. Puncaknya pada 2010 terjadi tanah longsor besar dan membuat desa itu terisolasi. Kawasan perbukitan yang gundul dituding menjadi penyebabnya.

Lalu, pada 2011, seorang anggota Babinsa Koramil Jabung, Serka Heri Purnomo, berupaya meyakinkan dan mendampingi masyarakat untuk melakukan reboisasi. Tujuannya adalah menahan laju air hujan di lereng, sehingga tidak terjadi lagi tanah longsor, sekaligus menghidupkan kembali legenda kopi Taji. Gayung pun bersambut. Warga memulai reboisasi dengan menanam kembali pohon kopi.

Petani memetik kopi jenis Arabica yang berwarna merah atau red ceri. ANTARA/Ari Bowo Sucipto

Pada tahun-tahun berikutnya, reboisasi kopi berlanjut. Puluhan ribu bibit pohon kopi didatangkan ke Desa Taji dari swadaya masyarakat maupun sumbangan dinas pertanian setempat. Bibit varietas yang ditanam beragam. Tak hanya memanfaatkan lahan yang ada, kemudian petani juga menjalin relasi dengan Perhutani untuk memanfaatkan hutan sebagai kebun kopi dengan sistem bagi hasil.

Petani melakukan proses penjemuran kopi hasil panen di atap rumahnya. ANTARA/Ari Bowo Sucipto

Para petani juga diajak studi banding ke sejumlah sentra kopi. Para petani pun mendapat pengetahuan tentang kopi, dari pemilihan varietas bibit, penanaman hingga tahap perawatan sampai proses petik atau panen. Bahkan pengetahuan tentang perendaman, pemisahan kulit dan biji, penjemuran, hingga proses sangrai. 

Barista menyeduh kopi pesanan pelanggan di Kafe Lereng Bromo di desa Taji, Jabung, Malang. ANTARA/Ari Bowo Sucipto

Sejak saat itu kualitas dan produksi kopi di Desa Taji meningkat. Pada 2023, produksi kopi di Desa Taji mencapai 4,5 ton per tahun dari area luas lahan kopi mencapai 85 hektare yang tersebar di seluruh desa. Sebagian dari produksi kopi tersebut diekspor ke Singapura, Australia, dan Malaysia dengan label Kopi Taji dan Kopi Babinsa.

Selain itu, petani mendirikan kafe yang menjual minuman olahan kopi dalam bentuk green bean maupun roasted bean atau biji kopi yang sudah disangrai. Petani juga memanfaatkan lahan kopi untuk membuat wisata edukasi kopi melalui tur pembelajaran tentang pembibitan, penanaman, hingga pengolahan kopi.

Pramusaji menghidangkan minuman olahan kopi di Kafe Lereng Bromo. ANTARA/Ari Bowo Sucipto

Tingkat perekonomian di Desa Taji kini membaik. Banyaknya kunjungan wisatawan, terutama penikmat kopi, membawa dampak positif. Infrastruktur juga mengalami perubahan. Jalan-jalan makin bagus dan lebar, sehingga mempermudah akses. Beberapa penghargaan mereka tuai, dari cita rasa kopi terbaik, barista unggulan, hingga pemuda pelopor tingkat nasional.

Foto dan teks : ANTARA/Ari Bowo Sucipto

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Foto oleh Ari Bowo Sucipto

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus