Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kusta Tidak Ganas Dan Bisa ...

Penderita kusta di dunia ada 12 juta, 400.000 diantaranya berada di indonesia. 10% penderita berhasil ditangani departemen kesehatan. yang memprihatinkan 13,4% penderita kusta masih tergolong anak-anak.

21 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN Tuhan yang mengutuk mereka. Kita. Dan inilah penderitaan panjang kaum kusta. Sepanjang sejarah umat manusia, mereka dibayangi citra yang sangat menyiksa ini. "Pernah suatu ketika petugas kami menemukan seorang penderita yang masih kanak-kanak, terlunta-lunta sendirian," kata dr. Gandune Hartono. Direkrur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PPMPLP) Departemen Kesehatan. "Anak itu dibuang orangtuanya. Bayangkan." Orangtua yang sangat tega itu, menurut Gandung, masih percaya kusta adalah penyakit kutukan Tuhan yang tak bisa disembuhkan. Karena itu, penderita kusta, yang dianggap menyebarkan kutukan, dijauhi, disingkirkan, dan dibuang. "Ini sikap yang sangat tidak perlu, kusta tidak menular secara ganas seperti yang kita bayangkan," kata Gandung lagi. "Dan penyakit ini bisa disembuhkan." Sikap terbuka masyarakat, menurut Gandung, sangat menentukan tingkat keberhasilan pemberantasan penyakit ini. Karena malu dan takut dicerca, banyak penderita kusta yang bersembunyi atau disembunyikan keluarganya. Tapi sekarang ini sudah banyak penderita yang keluar dan datang atas kesadaran sendiri ke pusat-pusat perawatan kusta. "Dulu kami terpaksa bergerilya, memburu mereka dengan susah payah," ucap Dirjen PPMPLP itu. Pekan lalu, Gandung mengungkapkan hasil registrasi penderita kusta tahun 1988. Jumlah penderita yang dapat dilacak Departemen Kesehatan adalah 126.221 jiwa. Kondisi mereka tercatat menggembirakan, karena 60% sudah tidak lagi menular. Hanya 40% terkategori masih sakit dan masih bisa menjangkitkan bakteri kusta. "Sekitar 100.000 kini sedang dalam proses penyembuhan dan siap menjalani resosialisasi." Dan Gandung mengharapkan masyarakat mau menerima kehadiran mereka. "Tidak ada alasan untuk takut, sekalipun pada penderita yang masih tergolong sakit," ujar Gandung. Ia menjelaskan, penularan baru terjadi bila kontak dengan penderita berlangsung sangat dekat dan juga sering. Misalnya hubungan ibu dan anak di bawah lima tahun yang masih menyusu. "Tidak benar, Mycobacterium leparae penyebab kusta bisa menyebar ke mana-mana melalui udara dan air, kemudian menimbulkan penjangkitan," kata Dirjen. Menurut Gandung, dalam memberantas kusta, Depkes mendapat bantuan dari Yayasan Sasakawa, yang bermarkas di Jepang. Yayasan ini didirikan oleh raja industri kapal Jepang, Ryoichi Sasakawa, yang kini sudah berusia 90 tahun. Begitu besarnya perhatian jutawan ini pada kusta, tahun 1987 ia masuk dalam jajaran sukarelawan yang bersedia menjalani percobaan vaksinasi kusta. "Tanpa bantuan Saskawa, sangat sulit bagi kami untuk mengatasi kusta, karena dana Depkes terbatas," kata Gandung. Yayasan Sasakawa sejauh ini sudah menyumbangkan 100.000 paket MDT, obat untuk menyembuhkan kusta. Satu paket MDT diperuntukkan bagi satu penderita. "Setelah diberikan paket MDT, yang jangka pemberiannya bervariasi dari 6 sampai 24 bulan, penderita pasti sembuh," kata Gandung. Angka kesembuhan, menurut Dirjen, menunjukkan tendensi meningkat terus. Tahun 69-70 Depkes hanya mampu mengobati 23% penderita, tahun 74-75 kemampuan itu naik menjadi 65,4%. Kini, ketika penderita kusta yang terjaring justru berhasil menembus angka 100.000, potensi Depkes memberikan pengobatan gratis malah mencapai 85%. Ujung tombak memberantas penyakit kusta adalah 51 rumah sakit dan pusat perawatan kusta yang semuanya dibiayai Depkes. Juga ada Mobil Unit Rehabilitasi (MUR), yang berkeliling untuk mengobati penderita yang tidak tertampung dan memonitor kesehatan penderita yang sudah dimasyarakatkan. MUR ini yang memikul beban berat dalam menjalankan program pemberantasan kusta, karena persentase penderita yang tidak terlampung lebih besar. Mamur Suriaatmadja, seorang pengamat kusta dari Bandung, membenarkan ada kemajuan dalam menangani kusta. Pengamat yang dengan tetap memonitor perkembangan pemberantasan kusta ini memberikan contoh angka penderita di Aceh. "Untuk pulau Sumatera, telah lama Aceh termasuk daerah yang mempunyai angka kusta paling tinggi," katanya. "Di tahun 1986, di daerah ini masih tercatat ada 1.736 penderita, pada tahun 1988 angkanya turun sekitar 50% menjadi 775 jiwa." Mamur, yang juga anggota Yayasan Perbaikan Gizi Keluarga itu, menyatakan bahwa secara umum angka kusta di Indonesia termasuk tinggi. Ia mengemukakan, berdasarkan survei Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), jumlah penderita yang tercatat di negeri ini hanya 26% dari angka sebenarnya. "Jadi, jumlah penderita kusta di negara kita sekitar 400.000." Ini berarti 3% dari penderita kusta dunia, yang jumlahnya diperkirakan 12 juta. Mamur menjelaskan, kusta umumnya masih berjangkit di negara-negara miskin, sementara di negara-negara maju angkanya menurun drastis. Dari 12 juta penderita di dunia, konsentrasi terbesar tercatat di Afrika (3,5 juta), Asia Tenggara (4,5 juta), dan kawasan Pasifik Barat (2 juta). Bandingkan dengan penderita kusta di seluruh Eropa, yang hanya 25.000 jiwa. Di Indonesia, kusta terutama ditemukan di daerah pantai yang kumuh. Umumnya sejajar dengan rendahnya pemeliharaan kesehatan dan buruknya tingkat gizi penduduk. "Dari sejarahnya, kusta memang mulai berjangkit di daerah-derah ini," kata Mamur. Catatan di masa kolonial menunjukkan bahwa penyakit ini dibawa pedagang-pedagang Cina dan India antara abad ke-5 dan ke-6. Dari kota-kota pelabuhan seperti Semarang, Gresik, dan Cirebon, kusta kemudian merambat ke daerah pedalaman. Menurut catatan PPMPLP, daerah dengan angka kusta yang tinggi adalah: Sulawesi Selatan (65.000), Jawa Timur (30.752), Jawa Barat (10.539), dan DKI Jakarta (7.350). Untung saja, di daerah-daerah ini sudah ada pusat-pusat rehabilitasi. Di Sulawesi Selatan, misalnya, dari 65.000 penderita, 31.000 sedang dalam proses penyembuhan. Terbatasnya rumah sakit yang bisa menampung penderita, menurut Mamur, memang masalah besar. Ia menunjuk perkiraan WHO, bahwa tak sampai 10% penderita kusta di Indonesia yang mendapat kesempatan menjalani perawatan intensif di rumah-rumah sakit. Sebagian besar luntang-lantung di jalan-jalan raya, beroperasi sebagai pengemis. Namun, Mamur mengingatkan, besarnya persentase penderita kusta yang tidak terkontrol ini jangan dijadikan alasan untuk mengesahkan fobia kusta. Dua pertiga dari penderita itu terkena kusta tuberkuloid yang tidak ganas. Jadi, hanya sepertiga yang menderita kusta lepratoma yang menular. Dan kelompok inilah yang dikontrol Depkes. Yang memprihatinkan, menurut Mamur tingginya angka penderita kusta di kalangan anak-anak. "Anak-anak memang lebih peka daripada orang dewasa," kata pengamat itu. Lagi pula, banyak penderita kusta yang tidak bisa dicegah hasratnya untuk mempunyai keturunan. Dengan sendirinya, para orangtua ini menularkan penyakit kepada anaknya. Mamur memperkirakan, 13,4% penderita kusta di negeri kita tergolong anak-anak. Angka ini lebih mencemaskan lagi, karena anak-anak itu, seperti dikatakan Gandung Hartono, bisa saja dibuang oleh orangtua mereka. Jim Supangkat, Budiono Darsono (Jakarta), dan Biro Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus