Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menuduh Jaksa

Jaluddin & sudarman, jaksa yang bertugas di kuala simpang, aceh timur, dituduh menerima uang suap rp 12 juta dari penyelundup bawang putih. jaksa agung sukarton akan menindak tegas jika betul terjadi.

21 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada gading yang tak retak. Di saat Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono mengibarkan bendera perang terhadap penyelundup, dua orang jaksanya dari Kejari Kuala Simpang, Aceh Timur, kini dituduh menerima suap Rp 12 juta dari penyelundup bawang putih. Kedua jaksa itu -- Sudarman, 40 tahun, Kepala Seksi Intel pada Kejari Kuala Simpang dan Jaluddin, 35 tahun, Kepala Sub-Bagian Pembinaan Kejari yang sama -- diduga telah melepaskan sebuah tongkang berisi 12 ton bawang putih selundupan senilai Rp 36 juta, dari Penang, Malaysia, setelah mendapat imbalan dari penyelundup. Akibatnya, Kamis pekan lalu Sudarman diperiksa atasannya di Banda Aceh, sementara Jaluddin diinterogasi petugas Kodim Aceh Timur di Langsa. Seorang sumber TEMPO di Kejati Aceh membenarkan instansi tersebut telah mengusut kedua jaksa tadi. Dari kedua jaksa itu disita uang Rp 6 juta, sebuah jam tangan mewah, sebuah keker, dua lembar giro bilyet, dan satu kardus buku aksara Cina. Inilah sisa hasil penyuapan tersebut, yang diserahkan kedua jaksa itu kepada sebuah tim dari Kejati Aceh. Pada 23 November lalu, sebuah tongkang yang dinakhodai Alieng bersama lima orang awaknya masuk ke muara Sungai Tamlang, melalui Kuala Peunaga, di Kecamatan Seruway, 22 km dari Kuala Simpang. Dua nelayan setempat, Tamam dan Selamat, curiga bahwa tumpukan goni di dalam tongkang tersebut berisi bawang putih. Kebetulan, ketika itu, Sudarman dan Jaluddin ada di Desa Sungai Kuruk Tiga, Seruway, tak jauh dari Kuala Peunaga. Mereka waktu itu lagi mencari Tan Bun Kuat, imigran gelap dari Malaysia. Taman dan Selamat melaporkan apa yang dilihatnya kepada Sudarman dan Jaluddin. Pukul 3 dinihari, Sudarman dan Jaluddin memburu ke Kuala Peunaga. Mereka menemukan kapal selundupan itu. Tapi sang nakhoda, Alieng, tak berada di tempat itu. Alieng lagi ke Medan, 162 km dari Seruway, menjemput pemilik bawang putih itu, Afu. Darwin, seorang awak kapal, disuruh jaksa tadi menjemput Alieng dan Afu. Sorenya barulah Afu dan Alieng muncul. Kedua petugas kejaksaan tadi memerintahkan Alieng membawa tongkangnya ke Seruway. Tapi belum sampai di tempat tujuan, jaksa itu menyuruh Alieng menurunkan jangkar dan seluruh awak tongkang masuk kamar mesin. Sehingga di haluan kapal hanya ada Sudarman, Jaluddin, Afu, dan Alieng. Bersama mereka juga hadir anggota Koramil Kejuruan Muda, Aceh Timur, Ilyas bin Muhammad, yang diajak kedua jaksa itu menggerebek penyelundupan tersebut. "Kami mendengar mereka berunding," kata Darwin, awak tongkang tadi, kepada TEMPO. Dalam perundungan itulah, 24 November konon, Afu menyerahkan uang cincai-cincai kepada Sudarman. Setelah itu Afu memberikan lagi dua lembar giro bilyet senilai 9 juta kepada Jaluddin di kelenteng Kampung Durian, Kejuruan Muda -- 4 km dari Kuala Simpang. Beok malamnya, 25 November, Afu, dikawal Sudarman dan Jaluddin, melarikan bawang putih itu ke Medan. Akibatnya, Seruway heboh. Ketua Satuan Program Pelaksana KPI Seruway, Ismail Fuad, karena didesak anggotanya, pada 5 Desember 1988 melaporkan kasus itu ke Kejati Banda Aceh dan Kejaksaan Agung di Jakarta. Kedua jaksa itu pun diperiksa. Hanya saja, Afu dan Alieng keburu menghilang. Sumber TEMPO di Kejati Banda Aceh membenarkan, kedua jaksa yang bertugas di Kuala Simpang sejak 1986 itu telah menerima uang dari Afu. "Tapi itu untuk pancingan menangkap penyelundup lain," kata pejabat kejaksaan tersebut. Sumber itu meragukan kejujuran pelapor kasus itu, Ismail Fuad. Malah pihak kejaksaan menduga, Fuad didalangi penyelundup lain yang bersaingan dengan Afu. "Para penyelundup sekarang sedang bentrok," kata sumber itu. Jaluddin menolak memberikan komentar kepada TEMPO. "Tak tahu aku itu, tak tahu," katanya. Tak hanya ia dan Sudarman yang pekan-pekan ini dituduh menerima suap. Tuduhan serupa juga menimpa Jaksa A.H. Mangawi, yang lagi menuntut perkara narkotik di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dalam perkara itu Mangawi menuduh Juara Pasaribu, 25 tahun, Austus lalu membeli satu kilogram ganja kering seharga Rp 150 ribu dari Simon, untuk kemudian menjualnya kepada Andri seharga Rp 200 ribu. Tim pengacara Mangawi, M.E. Hutagaol dan Paskalis Pieter, dalam eksepsinya Rabu pekan lalu, menuduh jaksa Desember lalu telah menerima suap Rp 2 juta dari kliennya di Rutan Salemba, agar perkara tak sampai ke pengadilan. Ternyata, Juara tetap diadili. "Sebab itu, jaksa harus mengembalikan uang itu," kata pengacara tersebut. Eksepsi "langka" itu mengejutkan hakim dan pengunjung sidang. "Selama 12 tahun saya menjadi hakim, baru kali ini saya menemui eksepsi yang menuding jaksa menerima suap," kata ketua majelis hakim perkara itu, Maruaruar Siahaan. Jaksa A.H. Mangawi tentu saja berang mendengar tuduhan itu. Seusai sidang, ia mengadukan Hutagaol dan Pieter ke Polsek Tanjungpriok. "Tuduhan itu fitnah, sama sekali tidak benar," ujar Mangawi, yang telah sepuluh tahun menjadi jaksa. Menurut Mangawi, ia tak pernah bertemu dengan terdakwa ataupun pembelanya di luar persidangan, apalagi membicarakan uang pelicin itu. "Ini perkara serius, narkotik. Bagaimana bisa, pembela seenaknya menuduh saya menerima suap?" kata Mangawi dengan geram. Seperti juga kasus di Jakarta, pihak kejaksaan di Aceh juga mengadukan soal tuduhan suap terhadap Jaluddin dan Sudarman itu ke polisi. Menurut Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, Soegiri Tjokrodidjojo, pelapor kasus suap itu kini masih dalam pemeriksaan polisi. Sebab, "Kedua jaksa itu membantah tuduhan. Mereka mengaku tidak menerima uang itu," kata Soegiri. Jaksa Agung Sukarton Senin pekan ini menyatakan masih mengusut kebenaran tuduhan-tuduhan suap itu. "Pokoknya, kalau ada jaksa kena suap, apalagi membekingi penyelundup, akan saya tindak dengan tegas. Tak ada ampun, mereka akan saya seret ke pengadilan," ujarnya kepada TEMPO. Tapi sebaliknya, jika tuduhan itu tak terbukti, menurut Sukarton, tentu saja si pelapor juga akan dituntut secara hukum. "Kalau laporan itu ternyata ndak betul, 'kan bisa menjatuhkan nama baik pemerintah," ujar Sukarton. Artinya, boleh saja menuduh orang mencrima suap, tapi jangan sembarang tuding. Monaris Simangunsong, Makmun Al Mujahid (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus