Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa istimewanya program Rumah Sakit tanpa Dinding itu? Dalam program ini para dokter menjelajahi kampung-kampung di Sidoarjo, Gresik, Lamongan, dan kota-kota di sekitar Surabaya. Mereka mengunjungi para pasien kanker yang sudah tahap lanjut atau terminal. Program ini tak hanya memberi pengobatan medis tapi juga bacaan rohani seperti Alquran, untuk menghantarkan pasien yang sedang menuju saat-saat akhir. Menjangkau 142 pasien, program Rumah Sakit tanpa Dinding ini dinilai unik karena melibatkan pula tokoh agama atau ibu-ibu yang aktif di kegiatan PKK. Tenaga nonmedis itu terutama dibutuhkan untuk memberi dukungan moral kepada pasien dan keluarganya.
Rumah Sakit tanpa Dinding agaknya dikembangkan dari kegiatan kunjungan tim medis ke rumahlazim disebut nursing homeyang sudah lama dikenal dalam dunia pengobatan. Program ini rupanya memang sedang dikembangkan dan menjadi tren di banyak negara. Maret lalu, Reuters Health melaporkan tren layanan perawatan medis di rumah yang marak dalam beberapa tahun terakhir ini ternyata memang memberi efek positif, seperti dibuktikan oleh berbagai riset ilmiah. Penelitian yang dilakukan William Molloy dari Universitas McMaster, Ontario, Kanada, misalnya, menunjukkan efektivitas nursing home bagi penderita penyakit gawat. Setelah pengamatan selama 18 bulan, 90 keluarga pasien dan 305 keluarga nonpasien membenarkan bahwa nursing home bisa menekan ongkos pengobatan. Lebih dari itu, nursing home sama sekali tidak menurunkan kualitas hidup pasien ataupun meningkatkan angka kematian. Dengan kata lain, pengobatan di rumah sama efektifnya dengan pengobatan di rumah sakit.
Sebagaimana tampak pada program Hospital without Wall, pasien berkesempatan menikmati kebersamaan dengan keluarga. Suasana nyaman, tenteram, dan tak terkurung dalam ruang rumah sakit justru mungkin bisa mendongkrak kualitas hidup pasien menjelang ajal. Di sisi lain, rumah sakit bisa menggunakan fasilitas peralatan dan tempat tidur untuk mereka yang lebih membutuhkan.
Gagasan untuk membuat program itu sendiri sudah muncul sejak delapan tahun silam. Kala itu, Poliklinik Paliatif RS Dr. Soetomo, yang khusus menangani kanker stadium lanjut, baru dibuka. Dalam perjalanannya, pasien yang awalnya rutin kontrol berangsur-angsur menyusut. Setelah ditelusuri, ternyata banyak pasien yang sudah meninggal atau terkapar tanpa daya karena ketiadaan ongkos berobat. Maka, sejak 1995, Dr. Soetomo melakukan gebrakan dengan mengaktifkan tim medis yang siap berkunjung ke rumah-rumah. Pasien kanker stadium lanjut yang menjalani rawat inap dibujuk untuk pulang dan mengikuti program perawatan di rumah.
Awalnya, program ini tidak langsung berjalan mulus. Tak sedikit pasien dan keluarganya yang tersinggung karena merasa diremehkan. "Wong, kita punya duit, kok, nggak boleh rawat inap," begitu gerutuan yang kerap muncul, seperti ditirukan Diah Wahyu, dokter Poliklinik Paliatif RS Dr. Soetomo. Padahal, inti persoalan bukan pada uang. Lebih dari itu, memang tidak tepat menggantungkan seluruh harapan pada teknologi kedokteran, yang punya berbagai keterbatasan.
Lalu, dimulailah serangkaian perjalanan ke kampung-kampung. Sering terjadi, mobil yang dibawa tim dokter tidak bisa menjangkau rumah pasien sehingga tim medis harus berjalan kaki keluar masuk gang sempit yang becek. Tak jarang, sesudah perjalanan panjang, keluarga pasien yang sensitif justru menyambut dengan sikap negatif. Maklumlah, "Namanya sedang kesusahan. Gampang ngamuk," kata Diah. Kini, pendekatan manusiawi ini agaknya telah jadi model perawatan yang bisa diterima masyarakat.
Di Jakarta, pendekatan ala RS Dr. Soetomo itu juga dilakukan RS Kanker Dharmais, yang sejak 1996 mempunyai program "Layanan Hospis". Layanan ini melibatkan dokter, perawat, fisioterapis, dan pekerja sosial yang mendatangi rumah pasien kanker. Dengan tarif bervariasi, Rp 30.000 hingga Rp 60.000 sekali kunjungan, tim ini juga memberi pelatihan praktis pada keluarga pasien, misalnya bagaimana mengatasi sesak napas, cara memandikan, atau memindahkan pasien dari dan ke atas kursi roda.
Memang, Siti Annisa Nuhonni, Kepala Tim Hospis RS Dharmais, mengakui bahwa hampir tak ada pasien yang kondisi fisiknya membaik pesat. Namun, secara mental, Annisa yakin, pasien menjadi lebih tenang dan pasrah. Tak jarang, dalam kondisi nyaman, masa hidup pasien lebih panjang ketimbang perkiraan para dokter. Tapi, "Itu di luar jangkauan kekuasaan kami," kata Annisa.
Dalam bentuk yang hampir serupa, program perawatan di rumah juga diterapkan berbagai rumah sakitantara lain RS Dr. Sardjito di Yogyakarta, R.S. Telogorejo di Semarang, dan rumah sakit swasta Boromeus di Bandung. Bedanya, karena keterbatasan sarana dan sumber daya, layanan beberapa rumah sakit ini tidak ditujukan untuk pasien kanker. Rumah sakit tersebut lebih memusatkan perhatian pada pasien penyakit ketuaan (geriatri), lumpuh, stroke, dan pasien pascaoperasi. Pasien-pasien semacam itu kondisi fisiknya tidak memungkinkan menjalani rawat jalan tetapi bila harus dirawat inap butuh waktu perawatan lamamungkin bertahun-tahunyang pasti menelan ongkos sangat mahal.
Tak jauh berbeda dengan penanganan pasien kanker, pasien penyakit kronis juga membutuhkan pendekatan ekstra-sabar. Tri Wibowo, konsultan program perawatan rumah RS Dr. Sardjito, berkisah bahwa ada pasien bekas pejabat yang mengirim surat protes ke Menteri Kesehatan atas pelayanan kesehatan yang dialaminya. "Dia merasa tidak diperhatikan sehingga sakitnya tambah gawat," kata Tri. Akhirnya, setelah secara intensif dikunjungi di rumahnya, kesehat- an mantan pejabat ini menunjukkan perbaikan.
Acapkali, pendekatan manusiawi memang lebih ampuh ketimbang sekadar obat. Karena itu, pelayanan kesehatan tak semestinya terbatasi tembok rumah sakit.
Mardiyah Chamim, Dewi Rina Cahyani, Jalil Hakim (Surabaya), R. Fadjri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo