Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menjadi Bawahan Gus Dur

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dahlan Iskan
Mantan Direktur Utama PT Nusumma Utama

TARUHLAH tim ekonomi dalam kabinet Gus Dur diganti. Akankah kinerjanya jadi lebih baik? Terutama kalau pemimpin kabinet itu masih tetap Gus Dur dan wakilnya Megawati? Tentu, tergantung perkembangan yang terjadi. Orang seperti Amien Rais atau Akbar Tandjung barangkali skeptis bakal ada kemajuan. Bukankah keduanya sering mengingatkan penyebab rendahnya kinerja tim ekonomi kabinet ini lebih menyangkut perihal koordinasi? Sebuah pernyataan yang lebih menunjuk pada sang koordinator itu sendiri, yang tak lain dan tak bukan adalah presiden? Dengan kata lain, Gus Dur sendirilah yang harus berubah. Perhatiannya pada perbaikan ekonomi harus lebih dalam. Ia harus lebih banyak berada di Jakarta agar anggota tim ekonominya bisa sering-sering berkoordinasi, sehingga mereka bisa lebih cepat mengambil keputusan. Jumlah penganggur yang konon lebih dari 30 juta orang itu sangat berbahaya (termasuk pada pemerintahannya) kalau perekonomian tidak segera pulih. Bukankah lebih baik menyediakan waktu untuk anggota tim ekonomi daripada, misalnya, memikirkan Kantor Berita Antara? Persoalannya, realistiskah kita mengharapkan Gus Dur berubah? Bisakah ia memberi perhatian lebih banyak pada sektor ekonomi? Bukankah komposisi "darah" Gus Dur memang lebih banyak mengalirkan sel-sel politik daripada sel-sel ekonomi? Dengan komposisi darah seperti itu, bisakah dia bertahan lebih dari sepuluh menit (untuk tidak segera jatuh tertidur) mendengarkan laporan yang penuh angka indikator ekonomi yang membosankan dan njelimet itu? Semua masalah ini akan selesai kalau Gus Dur bisa berubah. Tak perlu ada reshuffle kabinet. Persoalannya—dan ini yang ingin diketahui kalangan dunia usaha— tekanan macam apa yang cukup memadai untuk membuat Gus Dur berubah. Jelas, kalangan ekonomi tidak mungkin menekan Gus Dur dengan melakukan latihan perang atau apel bersenjata tajam seperti yang dilakukan pasukan jihad. Saya punya pengalaman yang mungkin bisa ditiru oleh para menteri kabinet Gus Dur. Lima tahun saya menjadi operator perusahaan di bawah kendali Gus Dur—jauh sebelum ia jadi presiden, yakni ketika menjadi direktur utama PT Nusumma Utama, yang membawahkan 10 BPR dengan total aset Rp 2 miliar. Awalnya, saya merasa harus sering berkoordinasi dengan Gus Dur. Paling tidak, minta penggarisan bagaimana sebaiknya perusahaan dijalankan. Saya juga menginginkan Gus Dur sesekali mendengarkan laporan mengenai perkembangan perusahaan. Bukan hanya memberikan penilaian mana yang perlu dikembangkan dan mana yang perlu diperbaiki. Saya pun ingin hasil kerja saya diketahui dan mungkin dipuji. Untuk itulah saya perlu menyusun laporan yang komprehensif dan agak panjang disertai angka-angka pendukungnya yang lengkap. Enam bulan kemudian saya mengambil kesimpulan bahwa Gus Dur tidak memerlukan semua itu. Itu berarti saya harus berinisiatif untuk berubah sikap. Kalau tidak, saya hanya akan kecewa dan buang-buang waktu. Sejak saat itu, saya memimpin perusahaan tanpa banyak berkonsultasi dengan Gus Dur. Saya bersama direksi lainnya semakin berani mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan apa kata Gus Dur nanti. Yang penting, semua itu untuk kemajuan perusahaan dan tidak diboncengi kepentingan pribadi. Kami tidak lagi merasa perlu melapor, minta pertimbangan, apalagi izin Gus Dur. Saya mengambil sikap seperti yang diajarkan usul fikh: sepanjang tidak ada larangan, berarti semuanya boleh. Dan kami lantas melakukan semua yang tidak dilarang itu. Setahun sekali, di forum RUPS, kami mempertanggungjawabkan kinerja kami. Gus Dur biasanya hadir di forum itu dan mendengarkan laporan perusahaan yang panjang itu untuk sekitar 10 menit pertama—sebelum akhirnya tertidur. Sepanjang semua keputusan yang kami buat bisa dipertanggungjawabkan dan bisa membawa kemajuan perusahaan—selama lima tahun berkembang dari Rp 2 miliar menjadi Rp 23 miliar--Gus Dur senang-senang saja. Ia tidak mau rumit. Ia ingin semua orang berani membuat keputusan dan berani mempertanggungjawabkannya. Ia bisa memahami kesulitan yang dihadapi. Ia tahu saat itu pemerintah sedang mengucilkannya. Izin untuk mendirikan lebih banyak BPR Nusumma tidak keluar. Selama lima tahun hanya bertambah menjadi 15 buah. Jauh dari yang diinginkannya: 2.000 buah. Saya yakin, Gus Dur berharap semua menterinya tahu bahwa ia punya keinginan seperti itu. Jangan ruwet-ruwet. Tidak perlu sering melapor—apalagi dengan laporan yang panjang dan njelimet. Itu hanya akan membuat tidurnya kian pulas. Berani saja ambil keputusan cepat, asal benar-benar untuk kepentingan perekonomian negara. Tidak diboncengi kepentingan tertentu. Dan, yang penting, harus berani mempertanggungjawabkannya. Kalau itu soalnya, yang diperlukan adalah menteri-menteri yang memahami kemauan Gus Dur. Bukan mengganti para menteri atau mengganti Gus Durnya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum