WAHAI wanita, jagalah tubuhmu. Sebulan lagi Anda memaki "tahun pakaian jadi" -- yang gandrung pada garis-garis tubuh. Pinggang, bahu, dan lengan akan ditonjolkan. Gaun akan makin terangkat, dan memanjat sampai di atas lutut. Mini. Tapi jangan risau. Anda tetap feminin dan g t, karena bahu boleh terbuka, lalu menyempit sampai pinggang, kemudian menggelembung berbentuk lonceng. Fit and 1: are, begitu namanya. Gaya inilah salah satu trend yang ditawarkan Ikatan Perancang Busana Madya Indonesia (IPBMI) Jakarta, Kamis malam pekan lalu, di Hotel Borobudur. Semuanya, 22 perancang, menuturkan ciptaan lewat tubuh para peragawati. Dan busana segala macam itulah, katanya, Trend 88. Warna-warna pastel, abu-abu, dan hitam tampil silih berganti. Jika di Eropa, Amerika, dan Jepang, pada Maret dan Oktober adalah saatnya para perancang memamerkan karyanya untuk setahun ke depan. Bahkan di Paris, Ikatan Perancang Busana Prancis yang terbentuk pada 1973 di bulan-bulan itu memperkenalkan pakaian jadi ciptaan anggotanya hampir dua minggu berturut. Dalam sehari, 7 atau 8 perancang berpameran. Terutama perancang kesohor seperti Chanel, Dior, Montana, Lagerfeld. Itu kegiatan setiap kali menjelang akhir tahun, terutama di Paris -- ulu-hatinya mode dunia. Dan ngomong-ngomong, di Jakarta sejak tahun lalu juga ada "gerakan" mengarahkan perkembangan mode -- konon untuk seiring-sejalan dengan denyut nadi permodean dunia. "Kegiatan tahun ini, ya, menawarkan trend atau kecenderungan mode tahun depan," ujar Nyonya Sjamsidar Isa, ketua IPBMI, yang biasa dipanggil Tjamy itu. Lain dengan peragaan busana di hotel-hotel yang biasanya ditemani hidangan, hadirin kali ini datang khusus menonton doang. Kendati demikian, undangan yang dijual ludes: 1.200 lembar @ Rp 25 ribu-kecuali 200 untuk pers dan VIP. Malah masih ada 500 orang tercatat dalam "daftar tunggu", padahal mereka itu berminat tapi tak kebagian karcis. Yang ditampilkan kali ini tak sepenuhnya trend sebagaimana biasanya yang muncul di Paris -- baik dalam siluet, warna, teknik pemotongan, dan bahannya. "Kami masih menggabungkan trend yang idealistis dengan unsur dagang," kata Tjamy lagi. Dan dibenarkan oleh perancang Chossy Latu. Malam itu, busana dengan label Chossy tampil dengan Starlet Look, ya, gaya bintang film Hollywood 50-an. Kain renda dibikin blus ketat tanpa lengan, seputar pinggul dibuat bergelembung mirip balon, rok mini, dan mulai dari bokong dipasang slayer berjuntai menyapu lantai. Sarung tangan hitam membungkus sampai siku. "Ini hanya untuk show saja. Sebab, untuk bisnis, pakaian yang berat begitu 'kan nggak laku ?" kata Chossy. Lantas, cara menembus pasar? Chossy mengubah kreasinya di sana-sini. "Yang panjang diperpendek, yang mini agak diperpanjang," ujarnya. Samuel Wattimena, perancang favorit remaja sejak 1979, sependapat. Ia tampil dengan gaya Teenager. "Sesuai dengan citra saya sebagai perancang untuk anak muda," kata Samuel, yang 60% pelanggannya memang remaja. Malam itu busananya muncul dalam gaya ringan, cerah, dengan detail pada kerah lebar yang jatuh -- memperlihatkan bahu dan rok menumpuk lima. Warna-warna permen digabung sekaligus: ungu, hijau, merah muda. Tapi pakaian yang dipasarkan nanti akan dipilih warna yang tak terlalu kontras dengan bahan bercorak. Sedang jumlah tumpukan rok disederhanakan. Masyarakat awam di sini sebenarnya bukannya tak trendy. Yang jadi soal: untuk menyerap dan menghargai karya cipta busana, memang dibutuhkan waktu lebih lama ketimbang peminat yang sudah mode minded. Dan perancang macam Itang Yunasz, misalnya, percaya. "Ambil saja contoh seperti rok-rok balon tahun ini. Saya sendiri, waktu pertama kali melihatnya, mikir-mikir. Apa ada orang Indonesia mau memakainya? Buktinya, pakaian semacam itu, yang dipajang di beberapa toko, laku juga," katanya. Memang. Perancang yang pelanggannya remaja di kota-kota besar lebih gampang memasarkan busana trendy. "Bagi remaja itu, pantes nggak pantes bukan soal. Pokoknya, pake yang model baru," katanya lagi. Mereka yang tak terbiasa dengan mode yang gonta-ganti? "Biasanya membutuhkan waktu 3-4 bulan untuk menyesuaikan diri," kata Itang, yang sudah merancang sejak 1981. "Orang kita 'kan tidak berani mulai duluan? Lihat-lihat dulu kiri-kanan. Kalau banyak yang pakai, dimuat di majalah, nah, baru berani," tuturnya. Ia yakin, mode yang ditawarkan IPBMI akan ditiru pengusaha pakaian jadi, dan insya Allah, bisa laku. Seperti tahun lalu, Itang, yang mempekerjakan 65 orang, setiap hari bisa menjual rata-rata 60 potong @ Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu. Pergantian mode memang perlu waktu. Pernah, IPBMI mengajukan gaya Equatorial Etnic untuk trend tahun depan. Model seperti ini dipopulerkan oleh Ghea Sukasah Hanum Gularso, dan Biyan. Bentuk mengambil gaya busana rakyat pedesaan daerah yang dilewati garis khatulistiwa. Pada malam itu Ghea tampil dengan baju berpinggang dan rok yang melebar sampai ke mata kaki, dengan tekstil motif. Penonton bertepuk. Itu ketika berikut Ghea menampilkan kebaya, bakiak, caping besar dalam lenggok peragawati tersaruk dalam irama lagu Es Lilin. Menurut Samuel, gaya ini bisa ditampilkan karena pada 1986-1987 gaya sarung Ghea itu laris. "Kalau tiba-tiba menan kan busana yang langsing dan mini, o tentu kaget. Maka, diambil model am.... dengan sentuhan warna dan corak tek itil yang trendy," katanya. Ya, seperti dikatakan anggota IPBMI terbaru, Lydia Prawin"Harus disesuaikan dengan tubuh ora Indonesia yang warna kulit dan rambutIebih gelap, dan tubuhnya lebih pcn dibanding orang Eropa." Tapi bcberapa desainer masih "ngot mempertahankan garisnya - dan mema kan sedikit trend. Ya, ada warna pastel, sillette, yang langsing. Itu tampilkan Ramli dan Prayudi City Look, yang rapi, tetap ditonjolkan Prayudi, den kerah jas dan kancing ena. Hanya rok pada two piecesnya yang diubah - tak ketat sepanjang betis, tapi membentuk rok mini. Ramli juga bertahan dengan aplikasi bordirnya. "Kalau nggak bordir, bukan Ramli," ucapnya, bcrgaya iklan. Pakaian ciptaannya terdiri dari tiga potong: celana panjang, blus, dan jaket dari sutera. Warna-warna pastel dan merah jambu yang lembut, dominan !. Ramli juga tak mau menyontek menta.mentah mode Eropa. "Kalau saya ikuti yang lagi trend tapi nggak ada yang beli, 'gin ana?" tanya dia. "Bahwa trend itu perlu, ya," katanya. Suka yang lagi ngetrend? Mudah. Ya beli saja, kalau ada duit. Lain lagi untuk jadi perancang mode dan jadi anggota IPBM. Tak gampang. Syaratnya, antara lain, ha punya work shop dengan minimal 10 karyawan. Ia juga harus menciptakan rancangan busana yang orisinil secara teratur, hingga lima tahun terakhir, dengan merk sendiri. Akhirnya, itu memang bukan lagi cita-cita. Tapi itulah hasil cipta perancang model kita. Lalu bercerminlah. Dan setelah kiat simak apa kata Samuel. "Walau rancangannya masih terseret-seret, dan belum ada trend yang menyat paling tidak, kami sudah mulai berbua. sesuatu untuk mode. Mode Indonesia yang trend-nya memang diharap berkelas internasional," ucapnya, lewat napas panjang juga. Begitulah, malam itu di Hotel Borobudur, para nona dan nyonya. Bunga Suriawijaya & Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini