Dengan wajah yang sudah riuh-rendah dengan keriput dan totol cokelat; punggung yang sering encok dan rambut yang terlalu hitam mengkilap—saking seringnya dicat—mereka adalah kelompok yang punya moto baru: Life begins at 70.
Habis, mau apa lagi? Anak sudah sarjana; cucu sudah tinggal lari-lari; perusahaan sudah berjalan tanpa dia. Ya, sudah: clubbing to?
Tersebutlah Sri Mulyono Herlambang, mantan penerbang pesawat pengebom B25 yang masih suka mengenakan jaket kulit. Usia boleh 72 tahun, tapi badan dan wajah masih gagah dan oke punya. Rahasianya? Ya nge-geng dengan sobat-sobat sesama mantan pilot pertama di Indonesia lulusan Taloa, sekolah penerbangan tertua di California, Amerika Serikat.
Kelompok penerbang itu berkumpul setiap Selasa di Halim, Jakarta Timur, atau di kawasan Iskandarsyah, Jakarta Selatan. Dalam pertemuan-pertemuan yang juga dihadiri oleh istrinya dan juga janda temannya, mereka berkumpul dan mendiskusikan banyak hal, mulai dari kesehatan, keadaan sekarang, hingga bernostalgia. "Ya, ada 'susu tante'-nya, sumbangan sukarela tanpa tekanan, untuk sekadar beli konsumsi," kata Herlambang sambil tertawa.
Meskipun kelompok Taloa tinggal 18 orang (dari 60 orang), hubungan di antara mereka masih dekat. Menurut Herlambang, di antara sesama pilot ada rasa saling memiliki yang dalam, karena biasanya mereka punya pengalaman yang hampir sama. Tidak mengherankan jika pilot-pilot gaek itu berkumpul, mereka lebih sering membicarakan pengalaman terbang zaman dulu.
Yang menjadi cerita favorit—karena memang paling seru—adalah saat-saat memberantas pemberontakan PRRI/Permesta pada 1957-1958. Saat-saat operasi pengeboman atau kejar-kejaran pesawat adalah momen yang biasanya diingat oleh mantan petempur udara. "Zaman itu, pesawat harus berakrobat bila tidak ingin ditembak, kita sebut dog fight, kejar-kejaran anjing," kata Herlambang bersemangat.
Terbang, menurut Herlambang, adalah "gabungan antara konsentrasi penuh dan rekreasi". Mungkin orang awam sulit memahami maksudnya. Tapi, yang pasti, para pilot tua itu mengaku selalu rindu terbang. Beberapa anggota Taloa, misalnya, nekat merayakan ulang tahun ke-70 dengan mengemudikan pesawat. Kelompok ini juga pernah pergi serombongan ke California, AS, untuk mengunjungi bekas sekolahnya dulu.
Gaya hidup clubbing orang tua ini juga menjadi kegiatan yang mengisi hari-hari tua para mantan wartawan di Indonesia. Meski sudah lanjut usia, para wartawan senior, demikian mereka menyebut dirinya, tidak mau ketinggalan soal politik dan ekonomi negara. Mereka umumnya berlangganan semua media cetak, rajin nonton CNN sembari masih tetap merokok, dan pada ngedumel jika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dianggap butut. Menurut Muhammad Chudori, mantan wartawan Antara yang memiliki klub reporter senior, pertemuan di antara mereka adalah saat yang ditunggu-tunggu, ketika mereka sama-sama tertawa membicarakan situasi politik yang ada. Kelompok yang disebut Senior Editors Club yang beranggotakan wartawan pelopor seperti Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis ini lazimnya bertemu sebulan sekali, lengkap dengan pasangan (suami atau istri) masing-masing. Satu saat yang paling ditunggu adalah pada Desember. Setiap bulan tersebut kelompok ini berkumpul di rumah Suardi Tasrif (almarhum) di Bogor. "Di sana makan duren, meskipun bukan duren dari kebun sendiri, tapi beli di pasar," kata Chudori, 78 tahun, sembari tertawa.
Obrolan di antara mereka selalu sangat akrab. Berbagai bahasa seperti Belanda, Inggris, Prancis, hingga Sunda berseliweran di antara musik dan makanan enak yang dihidangkan dalam setiap pertemuan. Dan jangan lupa, mereka akan membandingkan liputan wartawan zaman sekarang dengan zaman "keemasan" yang mereka lalui dulu.
Nah, bagaimana dong dengan para "70s" yang ingin berkumpul tanpa latarbelakang profesi? Jangan takut. Ada Him Damsyik. Dialah jago tari yang sudah berusia 78 tahun, yang membentuk kelompok dansa khusus untuk orang-orang tua. Anggotanya adalah pasangan tua yang biasanya sudah tinggal di rumah berdua saja, karena anak-anaknya sudah berumah tangga dan hidup sendiri. "Daripada si suami punya kegiatan sendiri, istri sendiri, maka lebih baik dansa saja, bersama-sama," kata Damsyik, yang istrinya juga guru dansa.
Maka jadilah Damsyik membentuk komunitas yang suka berkeliling dari satu klub musik ke klub yang lain di Jakarta untuk berdansa. Biasanya mereka ke tempat yang punya musik hidup dan lantai dansa seperti New-Stardust, Bugs Cafe, Salsa Club, Arios, Cafe Latte, Nirwana, Ratu Pesona, atau favorit mereka di Black Steer Mal Ambassador. Pokoknya, yang suka gaul tahulah tempat-tempat itu.
Damsyik tak menentukan jadwal berdansa, kadang Rabu malam atau Sabtu malam. Keanggotaan kelompoknya terbuka, tak harus ada pendaftaran segala. Jika berkumpul pun mereka tak selalu berdansa. Boleh juga hanya berkumpul di kafe untuk minum kopi. "Yang penting biar ndak jenuh," kata Damsyik.
Sebenarnya, kelompok yang melakukan kegiatan serius juga ada. Kemal Idris dan Barisan Nasional-nya, misalnya, lebih suka membicarakan kondisi negara terkini dan mendiskusikan masalah- masalah yang ada. Bahkan mereka sampai mengutus orang untuk bertemu dengan pejabat tertentu untuk menyampaikan pendapat kelompok mereka. Yang bergabung antara lain Solihin G.P., Hariadi Dharmawan, Rachmat Witoelar. Mereka biasa berkumpul setiap Rabu di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan. "Tapi kadang kami juga ngobrol santai. Kalau ada yang ulang tahun juga saling undang," kata Kemal.
Sebetulnya, kegiatan di dalam kelompok warga senior ini tak penting betul tampaknya. Yang penting ngumpul. Dari kelompok-kelompok yang beragam itu ada satu kesamaan. "Kami sudah tua sehingga berpikirnya pun lamban," kata Chudori. "Otak kami hanya ingat cerita masa lalu, tapi yang sekarang malah lupa," ujar Herlambang. Karena pelupa, biasanya ada saja orang yang menceritakan sesuatu berulang kali tanpa sadar. Kalau sudah demikian, yang lainnya maklum saja. Maklum, sama-sama sudah tua.
Satu kesamaan lagi. Kisah yang diceritakan dalam pertemuan kelompok itu selalu diliputi berita sakit atau meninggal dunia. Untuk itulah, apa pun kegiatan mereka, pada setiap pertemuan, yang pertama kali ditanyakan dan dibahas adalah soal kesehatan; bertukar tips kesehatan, informasi dokter, dan olahraga para lanjut usia, yang pasti menjadi topik wajib di dalam klub-klub seperti itu. "Maklum, kami sudah tinggal tunggu giliran saja," kata Herlambang.
Tampaknya clubbing di usia senja ini membuat hidup menjadi jauh lebih berharga. Mereka merasa semakin sehat, gembira, dan bersemangat. Tapi mungkin perlu juga diperhatikan "keluhan" dari seorang anak yang punya orang tua gemar clubbing ini: "Dulu, ketika saya remaja, orang tua saya yang mengomel, bertanya akan ke mana dan mengingatkan jam pulang ke rumah. Tapi sekarang giliran saya yang cerewet seperti itu."
Bina Bektiati, Levi Silalahi, Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini