Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Setelah Si Anak Hilang Kembali

Mahkamah syariah resmi berlaku di Aceh. Seberapa jauh fungsinya bisa berjalan?

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN-jalan di Nanggroe Aceh Darussalam akan kian senyap setiap Jumat siang. Tiada orang yang berani berlalu lalang di jalanan, kecuali dengan tujuan pergi ke masjid untuk bersalat Jumat. Praktis hanya suara azan atau khotbah yang terdengar dari masjid-masjid yang dibanjiri kaum muslim. Di luar itu, tak akan ada keriuhan kegiatan sehari-hari. Toko, warung, dan pasar-pasar tutup total, kantor-kantor pun ditinggalkan oleh pegawainya. Suasana seperti itu sebetulnya sudah menjadi tradisi di Aceh sejak dulu. Tapi orang akan semakin ringan kakinya untuk bersembahyang Jumat karena sekarang diwajibkan oleh Nanggroe. Ini diatur dalam Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Aqidah, Ibadah, dan Syi'ar Islam yang diluncurkan oleh Gubernur Abdullah Puteh pada 6 Januari lalu. Di situ ada ketentuan, setiap orang Islam yang tidak mempunyai uzur syar'i (keadaan khusus seperti musafir, sakit, atau sedang melakukan tugas darurat di rumah sakit) wajib menunaikan salat Jumat. Bagi yang melanggar, ada sanksinya. Orang yang tidak melaksanakan salat Jumat tiga kali berturut-turut bisa dihukum enam bulan penjara atau tiga kali cambuk. Sekarang, sanksi itu belum bisa diterapkan karena belum terbentuk wilayatul hisbah alias aparat pengawasnya di tingkat kampung maupun kecamatan. Tapi ini cuma soal waktu. Apalagi, "Kini ada momentum yang luar biasa bagi masyarakat Aceh," ujar Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Rusdi Ali Muhammad. Momentum yang dimaksud Rusdi tak lain telah dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syariah pada 3 Maret lalu. Ini ibarat roda bagi pelaksanaan syariah Islam di Serambi Mekah. Dengan keputusan presiden ini, pengadilan agama di setiap daerah tingkat dua di Aceh diubah fungsinya menjadi mahkamah syariah (dalam keputusan disebut syar'iyah). Lalu, Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh diubah menjadi Mahkamah Syariah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk tingkat kasasi, muaranya tetap ke Mahkamah Agung di Jakarta. Buat meresmikan perubahan fungsi itu, sehari kemudian Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan datang ke Aceh bersama dengan sejumlah menteri. Masyarakat dan elite di provinsi ini bukan main girangnya, bagaikan menyambut anak yang hilang. Konon, mahkamah serupa sudah hidup sejak zaman Kesultanan Aceh tapi lenyap ditindas Belanda. "Ini adalah wujud nyata keistimewaan Aceh," kata Gubernur Abdullah Puteh, bangga. Kewenangan mahkamah syariah di atas kertas amat komplet. Menurut Ketua Mahkamah Syariah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Soufyan M. Saleh, mahkamah berwenang mengadili perkara hukum keluarga (al ahwal al-syakhshiah), hukum perdata (mu'amalah), dan hukum pidana (jinayah). Ini ditegaskan dalam Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. Lingkup peradilan keluarga, seperti sudah berjalan selama ini di pengadilan agama, meliputi masalah perkawinan, perceraian, status anak, dan sebagainya. Urusan jual-beli, utang-piutang, gadai (rahnum), permodalan (qirodh), hibah, dan semacamnya masuk dalam mu'amalah. Lingkup hukum pidana alias jinayah? Cukup luas pula, mulai dari perkara khalwat (berdua-duaan dengan yang bukan muhrim), berzina, mencuri, merampok, minum khamr atau minuman keras, sampai soal pemberontakan (bughot). Hanya, sementara waktu, kerja mahkamah masih saja mengurus seputar perkara hukum keluarga dan perdata. Perkara yang menyangkut soal jinayah masih akan ditangani peradilan umum karena qanun untuk masalah ini belum selesai. Saat ini, rancangan qanun tentang khamr, judi (maisyir), dan perbuatan mesum sudah diajukan ke DPRD Aceh, tapi belum dibahas. "Upaya melengkapi qanun dilakukan secara bertahap," ujar Soufyan. Dalam menangani perkara, menurut Soufyan M. Saleh, mahkamah bersifat pasif. Badan peradilan ini hanya menunggu perkara yang diajukan oleh polisi dan jaksa. Hanya warga yang beragama Islam diadili di lembaga ini. "Fungsi lembaga ini untuk mengadili masalah pidana sangat ditentukan oleh keberadaan jaksa, dan polisi, yang telah dibekali dengan syariah Islam," katanya. Karena itulah qanun tentang kejaksaan dan polisi sebagai penyidik amat penting. Ketua DPRD Nanggroe Aceh Darussalam, Muhammad Yus, berjanji akan memprioritaskan qanun tentang hal ini. Kerja keras memang perlu dilakukan para wakil rakyat di provinsi ini untuk menelurkan berbagai qanun. "Sekarang ini yang penting mahkamah ada dulu. Seandainya duluan dipersiapkan perangkat hukumnya tapi lembaganya tidak ada, bagaimana?" ujar Yus. Tapi lembaga mahkamah syariah pun sejatinya juga belum lengkap personelnya. Saat ini hakim syariah se-Aceh baru berjumlah 128 orang. Mereka adalah hakim yang sebelumnya bertugas di pengadilan agama tingkat provinsi dan kabupaten. Masih diperlukan sekitar 79 hakim untuk ditempatkan di 19 mahkamah syariah kabupaten dan kota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan kata lain, masih banyak hal yang perlu dilengkapi buat melaksanakan syariat Islam di Aceh secara menyeluruh. Kelonggaran bagi masyarakat di sana pun masih ada. Kendati Qanun No. 11 Tahun 2002 berlaku, wanita di Aceh masih agak leluasa dalam berpakaian karena belum ada aparat pengawasnya. Padahal, sesuai dengan Pasal 13 qanun ini, setiap orang diwajibkan berbusana Islami, yakni pakaian yang menutup aurat, tidak tembus pandang, dan tak memperlihatkan bentuk tubuh. Kendati begitu, hukuman untuk pelanggaran jenis ini tak terlalu berat, dan harus didahului dengan peringatan berkali-kali. Kalaupun sanksi pidana buat perlanggaran yang lebih berat mulai dijalankan seiring dengan semakin siapnya perlengkapan hukum, agaknya akan dilakukan secara hati-hati. Isyarat ini disampaikan oleh Syamsuhadi, Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama di Mahkamah Agung. Hukumannya masih dicoba dalam bentuk denda (diyat). "Mudah-mudahan, dari situ saja, tertib masyarakat sudah terwujud," ujarnya. Dia juga menyatakan, soal hukuman potong tangan, rajam, apalagi qishas (mati), masih jauh dari pembahasan. Lalu, bagaimana jika terjadi sengketa hukum antara orang muslim dan non-muslim? Diakui oleh Bagir Manan, ini masih menjadi persoalan. Karena itu, dia menyerukan agar hakim syariah tak gegabah. "Mereka jangan menelurkan keputusan yang aneh-aneh dulu," katanya. Bagaimanapun, pintu menuju perubahan yang besar di Aceh telah dibuka, kendati banyak hal yang perlu dilengkapi dan dijalankan dengan hati-hati. Apalagi, ditegaskan oleh sang Ketua Mahkamah Agung, "Mahkamah syariah tetap sebagai subsistem dari tata peradilan nasional." Arif A. Kuswardono, Yuswardi S. Suud (Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus