SUATU hari, awal Mei tahun lalu. Iring-iringan kayu sepanjang dua kilometer melaju pelan di Sungai Barito, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Ratusan penduduk pria, wanita, dan anak-anak duduk tenang di atasnya. Tapi ketenangan ini tiba-tiba terkoyak ketika hampir sampai di perbatasan Kabupaten Barito Selatan. Polisi dari kesatuan Brimob Polda Kalimantan Tengah menghadang mereka. Adu mulut sempat terjadi, tapi akhirnya kayu-kayu itu tetap disita.
Sebagian besar kayu-kayu itu, sebanyak 20 ribu meter kubik, memang tak dilengkapi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH). Hanya sekitar 6.000 meter kubik kayu yang memiliki dokumen atas nama tiga pengusaha lokal. Yang haram? Diklaim sebagai milik para penduduk yang mengiringinya menuju hilir.
Gara-gara kayu haram itulah 28 Februari lalu Bupati Barito Utara, Badarudin, ditetapkan sebagai tersangka. Sebelumnya, Kepala Dinas Kehutanan Barito Utara, Toboryano Angga, juga dijerat dengan kasus yang sama. Khusus untuk pemeriksaan sang Bupati, pihak Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah sudah mendapat surat izin dari Presiden Megawati, kendati penulisan namanya salah. Di situ tercantum Baharudin, bukan Badarudin. "Saya kira ini kesalahan manusiawi, bukan kesengajaan," ujar Manap Djunaidi, sang Kepala Kejaksaan Tinggi.
Lo, apa kaitan kayu "milik penduduk" itu dengan Bupati? Kayu-kayu selundupan yang sempat disita itu belakangan ditempeli SKSHH oleh Toboryano Angga sebagai Kepala Dinas Kehutanan, tanpa lelang. Padahal, aturannya, untuk kayu selundupan, pemberian SKSHH baru bisa dilakukan setelah lelang. Bupati Badarudin akhirnya ikut dijerat karena menjadi pemrakarsa pengesahan kayu haram itu.
Diakui oleh Badarudin, setelah kayu itu disita, ia segara menggelar rapat musyawarah pimpinan daerah untuk mencari pemecahan. Alasannya? Para penduduk yang membawa kayu itu, menurut Badarudin, merupakan korban banjir yang membutuhkan pertolongan. Selain itu, jika kayu-kayu itu tak didokumentasi, pemerintah daerah akan kehilangan pendapatan dari retribusi. Rapat ini akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan SKSHH.
Agar memiliki payung hukum yang kuat, Bupati juga meminta persetujuan dari DPRD. Restu ini diwujudkan dalam surat tertanggal 7 Mei 2002 yang diteken oleh Ketua DPRD Baslenudin dan dua wakilnya, Abdul Thalib dan S.B. Silalahi. Karena itu, Baslenudin juga ditetapkan sebagai tersangka. Tapi ini dinilai kurang adil karena yang meneken surat keputusan Dewan itu tiga orang. "Kalau mau adil, ya, semuanya (jadi tersangka), jangan saya saja," ujar Baslenudin.
Kendati direstui Dewan, diduga ada permainan di baliknya. Menurut sumber TEMPO di kejaksaan, kayu-kayu itu sebetulnya milik para cukong. Merekalah otak yang menggerakkan penebang kayu beserta istri dan anak-anaknya untuk membawanya ke hilir. "Kalau kayu itu milik korban banjir, mana mungkin mereka bisa membayar retribusinya," tutur sumber ini.
Menurut Manap Djunaidi, penetapan Bupati dan Ketua DPRD sebagai tersangka didasarkan pada bukti-bukti yang kuat, dan kesaksian banyak pihak. Langkah ini juga disokong oleh Gubernur Kalimantan Tengah, Asmawi Agani. Buktinya, sang Gubernur segera memberikan rekomendasi untuk pemeriksaan Ketua DPRD Barito Utara. "Dalam satu hari, surat permohonan kami langsung dibalas oleh Gubernur," kata Manap.
Tinggal Bupati Badarudin yang terkaget-kaget. "Saya tak pernah diperiksa atau diberi tahu, kok jadi tersangka," ujarnya. Menurut Rahmadi Lentam, pengacaranya, kasus ini lebih bermuatan politis. Soalnya, kepemimpinan Badarudin tahun depan akan berakhir. "Ia dikerjai lawan politiknya," kata Rahmadi.
Hanya, dugaan itu bisa saja meleset. Boleh jadi, Manap Djunaidi berani mengambil langkah besar karena tidak punya kepentingan lagi. Sebab, sehari setelah menetapkan sang Bupati menjadi tersangka, ia memasuki masa pensiun.
Yang pasti, tindakan kejaksaan mendapat acungan jempol Hapsoro dari Yayasan Telapak Indonesia, yang mengamati kasus penyelundupan kayu. Ini karena "permainan" kayu di Kalimantan Tengah selama ini sudah keterlaluan. Dia juga meminta agar kasus ini diajukan ke meja hijau, dan pemberantasan penyelundupan kayu terus digalakkan. "Jangan berhenti sampai di situ," ujarnya.
Agus Hidayat, Karana (Palangkaraya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini