Pancuran, bagi Made Budhiana, mungkin membangkitkan kenangan bermain air saat anak-anak. Ketika perupa Bali ini menemukan sebuah "tirta" di Desa Kubu Tambahan, Buleleng, ia segera melepas pakaian, telanjang bulat, lalu berendam.
Namun air juga bisa memiliki pemaknaan lain baginya. Seperti sebuah rekaman itu, Made Budhiana kemudian bak melakukan sebuah posisi asanas yoga. Sementara seorang lelaki lain yang juga telanjang bulat tercakung di pinggir kolam menatapnya khidmat. Kita segera diingatkan bahwa mata air begitu dekat dengan kehidupan spiritual orang Bali.
Tiga tahun tinggal di Bali, fotografer Rama Surya, 33 tahun, rajin memfoto teman-teman dekatnya yang rata-rata seniman: antropolog Degung Santika, perupa Wianta, Putu Suasta, Frans Najira, aktivis LSM Ngurah Karyadi, penyair Warih Wisatsana, arsitek Popo Danes, penyair Putu Oka Suanta. Kehidupan mereka sehari-hari saat bermain dengan anjing, tidur-tiduran, mengasuh anak, diabadikannya. Bahkan detik-detik terakhir kehidupan almarhum Ibu Gedong Oka, tokoh antikekerasan di Bali, sampai saat diaben.
Masyarakat Bali, menurut antropolog, adalah masyarakat yang sangat menekankan kebersamaan. Individu tenggelam dalam keluarga besar. Orang, misalnya, akan mengambil cuti jika banjar atau keluarganya mengadakan upacara. Mereka lebih memberikan perhatian pada aktivitas sosial keluarganya daripada pekerjaannya. Kebanyakan foto Bali—apalagi yang turistik—pasti menampilkan kolektivisme itu: prosesi sembahyang, piodalan, persembahan banten, mengarak ogoh-ogoh, kegiatan menari di banjar, atau yang lainnya.
Di sinilah letak penting pameran ini, Rama memberi judul pamerannya: Self. Mungkin, ia percaya pada detik-detik tertentu jepretannya membekukan ekspresi yang mencerminkan sikap pergulatan individu terdalam teman-temannya. Sebuah pergumulan yang bisa jadi (seperti tecermin dalam karya-karya mereka) penuh ketegangan sekaligus percumbuan dengan tradisi.
Lihatlah perupa Kadek Murni, sendiri bersimpuh di sebuah situs di Kubu Tambahan. Dalam jagat seni rupa kita, nama Murni tiba-tiba mencuat karena gambar-gambarnya yang perih tentang rahim dan embrio (tema yang liar bagi wanita Bali umumnya), yang sama sekali tak bertautan dengan tradisi Bali. "Ia berdoa, memohon agar punya anak, padahal rahimnya sudah diangkat," kata Rama.
Foto sastrawan Oka Rusmini, yang tengah hamil, berdiri di jalanan menarik. Foto ini sendiri terasa lebih cocok menjadi sampul novel Oka Rusmini: Tarian Bumi, yang menggugat posisi perempuan di Bali, daripada cover-nya yang menampilkan Oka berpakaian penari Bali. Dari kalangan tradisi, Rama menampilkan foto-foto kehidupan Ketut Suwija, 63 tahun. Ahli lontar Bali peraih Rancage Award 2001 untuk kategori sastra tradisi ini sesungguhnya sesuai dengan statusnya yang mantan Kepala Gedong Kirtya Singaraja (museum lontar). Ia dapat hidup berkecukupan, tapi tinggal di sebuah rumah sangat sederhana di Desa Bulian, Kecamatan Kubu Tambahan, Buleleng. Tiap hari ia mencari kayu bakar untuk perapian di dapurnya. Bidikan Rama mampu menampilkan pilihan hidup Suwija yang bersahaja itu.
Individu memang bukan ditakar dari penampakan lahiriah. Lihat seri foto Tapa Sudana, dramawan Bali yang sejak tahun 70-an menetap di Prancis. Lama tak muncul di Indonesia, tahun 2000 ia menjenguk Denpasar. Jenggotnya putih, rambutnya panjang tak beraturan. Penampilannya bagai seorang wiku jalanan. Tapi saat Rama bertemu lagi dengan bekas pemeran Salya dalam drama Mahabrata karya Peter Brook itu di Prancis tahun 2002, kepalanya pelontos, cambangnya bersih. Melihat foto Tapa Sudana bermain komputer dengan anaknya di rumahnya di Prancis, tak ada kesan ia memiliki akar tradisi kuat, tapi sepenuhnya urban.
Di Bali, ada kepercayaan kuno bahwa leluhur bisa menjelma dalam diri setiap orang. Itulah, mengapa ketika anaknya baru lahir, sang orang tua biasa ke balian (dukun), menanyakan siapa yang bakal mendominasi karakter anaknya nanti. Mungkin berlebihan mengatakan pameran Rama ini mampu menampilkan "karakter reinkarnasi itu" (muskil juga bagi fotografer lainnya). Yang disajikannya—berhasil atau tidak—adalah sekadar usaha menangkap bayang-bayang atau jejak batin sang diri.
Seno Joko Suyono, Alit Kertaraharja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini