Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Lima Tak Sempurna

Belakangan banyak yang ragu terhadap manfaat susu sapi sebagai penyempurna gizi. Bahkan menuduhnya berbahaya.

18 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hendi Supangat, 29 tahun, sudah tiga tahun ini berhenti mengkonsumsi susu dan produk turunannya, seperti yoghurt dan keju. "Saya dulu sering terserang penyakit. Setelah memutuskan berhenti minum susu, kondisi saya jauh lebih sehat," kata pengusaha di bidang makanan ini.

Keputusan Hendi ini diambil setelah membaca kicauan Twitter milik instruktur yoga dan pakar food combining, Erikar Lebang, soal dampak negatif meminum susu. Hendi semula selalu mengeluh masalah pernapasan dan nyeri lambung akibat maag. Begitu berhenti minum susu, dia bisa terlepas dari gangguan tersebut.

Kicauan Erikar, yang juga suami penyanyi Nina Tamam, tak hanya diikuti Hendi. Erikar mengklaim, sejak memulainya pada 2011, setidaknya 30 ribu pengikutnya di Twitter mencoba saran yang ia berikan dengan menggunakan tagar #KibulanSusu. "Sampai saat ini responsnya semua positif. Artinya, mereka yang mencoba berhenti minum susu kondisi kesehatannya menjadi lebih baik," ujar Erikar ketika ditemui Tempo pekan lalu.

Menurut Erikar, ajakannya itu ia lakukan setelah mendalami banyak hasil penelitian para ilmuwan tingkat dunia, seperti Hiromi Shinya, pakar gastroenterologi (ahli pencernaan) dan Kepala Endoscopic Center pada Beth Israel Hospital di New York, Amerika Serikat. Ada juga penelitian mendiang Frank Aram Oski, dokter anak serta spesialis penyakit darah dan kanker pada Johns Hopkins University School of Medicine,­ Amerika. Penelitian mereka menyimpulkan, pada dasarnya susu sapi hanya layak dikonsumsi oleh sapi, bukan oleh manusia, yang berbeda spesies.

Susu, kata Erikar, yang pernah dibiasakan minum tiga gelas susu sehari sejak kecil, sejatinya adalah makanan antara yang diberikan Tuhan kepada mamalia dari induk kepada anaknya. Sebagai makanan antara, begitu anak sudah bisa mencari makan sendiri, mereka seharusnya secara alamiah tidak akan pernah mengkonsumsi susu lagi. "Kita tidak pernah melihat sapi setelah ia bisa makan rumput masih mencari induknya untuk minum susu."

Ada beberapa hal yang membuat susu sapi tidak layak dikonsumsi manusia. Di antaranya kandungan kasein di dalamnya. Protein pada susu sapi itu terdiri atas dua bagian: protein kasein (80 persen) dan protein whey. Kasein bermanfaat untuk membentuk otot, karena mengandung asam amino. Tapi kasein amat susah dicerna oleh lambung. Setelah kita minum, di dalam perut kasein akan berbentuk gel dan bertahan begitu hingga tiga-empat jam.

Susu juga mengandung laktosa atau gula susu. Seperti halnya gula atau karbohidrat, laktosa bisa menjadi sumber energi. Tapi laktosa tak boleh nyelonong ke usus besar. Kehadiran laktosa di usus besar memancing bakteri untuk memfermentasikan laktosa dan mengkonversinya menjadi gas karbon dioksida dan asam laktat. Bahkan ada juga molekul laktosa yang menyebabkan air masuk ke usus, yang berakibat memberi rasa kembung, sendawa, buang gas, bahkan diare.

Untuk mencegah laktosa masuk ke usus besar, di usus halus sebenarnya ada enzim laktase yang berfungsi mengolah laktosa menjadi gula sederhana. Masalahnya, sejak kita berusia dua tahun, secara bertahap produksi enzim ini akan menurun. Menurut Erikar, ini adalah isyarat Tuhan bahwa di atas dua tahun kita memang tak lagi bisa minum susu. Dengan tidak ada atau menurunnya laktase, maka laktosa tidak bisa diurai menjadi gula sederhana. Akibatnya, laktosa akan tetap menjadi gula susu hingga ia sampai di usus besar.

Selain itu, mengkonsumsi susu tinggi kalsium seperti yang belakangan kerap dilakukan oleh orang tua, menurut Erikar, adalah kesalahan terbesar yang pernah terjadi di dunia kesehatan. Kata dia, pH darah manusia normal bersifat basa. Saat kita mengkonsumsi susu yang bersifat asam, tubuh menyeimbangkan kadar pH dengan cara melepas mineral yang terdapat pada tulang dan justru memicu osteoporosis lebih cepat.

"Coba dilihat lima negara yang mengkonsumsi susu terbesar di dunia saat ini justru masuk 10 besar negara dengan penderita osteoporosis paling banyak."

Ahli penyakit dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Murdani Abdullah, mengakui adanya polemik di dunia medis soal konsumsi susu sapi. Tapi ia tak yakin meminum susu sapi bisa berdampak sebegitu buruknya bagi tubuh manusia.

"Sebab, bagaimanapun susu sapi tak bisa diabaikan kandungan kalsium dan proteinnya," ucapnya. Apabila terdapat masalah dalam mengkonsumsi susu, kata Murdani, ada kemungkinan orang tersebut menderita intoleransi laktosa atau ketidakmampuan tubuh mencerna laktosa seperti disinggung di atas.

Masalahnya, di Indonesia, prevalensi penderita intoleransi laktosa sangat tinggi, mencapai 25 persen populasi. Artinya, seperempat penduduk Indonesia tidak bisa mengkonsumsi susu.

Soal temuan Hiromi Shinya, menurut Murdani, tidak serta-merta bisa dijadikan dasar dalam dunia medis karena belum banyak ahli di dunia yang memiliki teori serupa dengan Hiromi. "Sebelum menjadi dasar yang bisa diikuti arahannya, sebuah teori atau penelitian harus menembus jenjang pembuktian medis yang diperlukan. Jadi segala kemungkinan bisa terjadi, tapi sebaiknya kita tidak terlalu membenci susu."

Erikar menjawab, meski pembuktian efek negatif susu belum mencapai level tertinggi, testimoni masyarakat soal manfaat tak minum susu tidak dapat diacuhkan juga. "Testimoni itu mungkin levelnya paling rendah, tapi ini penghubung paling depan tentang suatu fenomena kesehatan," ujarnya.

Penjelasan jalan tengah diberikan oleh praktisi medis Tan Shot Yen. Ia tidak menampik adanya manfaat susu. Sebab, menurut dia, setiap makanan yang masuk ke tubuh manusia sebenarnya memiliki efek negatif dan efek positif. Misalnya soal kandungan kalsium seperti yang disinggung Murdani. Tan mengakui hingga saat ini kandungan kalsium paling tinggi masih terdapat dalam susu sapi. Kandungan kalsiumnya mencapai tujuh kali lipat dibanding air susu ibu.

"Tapi kandungan gizi itu kan disesuaikan (dengan kebutuhan). Kalau sapi tinggi (kalsium) karena dibutuhkannya untuk membajak sawah dan lainnya. Manusia tidak butuh itu," ucap Tan. Dalam ASI, kandungan paling tinggi adalah asam amino yang dibutuhkan untuk membentuk kecerdasan manusia.

Menurut Tan, tanpa meminum susu sapi, manusia sudah bisa mencukupi kebutuhan gizinya melalui makanan yang diasup setiap hari, terutama dari sayuran dan buah-buahan. Manusia juga harus menyempurnakan pembentukan gizinya dengan aktivitas olahraga dan mendapat sinar matahari yang cukup untuk menguatkan tulang mereka.

Karena itu, menurut Erikar, semboyan "Empat Sehat Lima Sempurna", yang diadopsi Indonesia dari promosi kesehatan di Amerika Serikat pada 1950-an, sudah tidak sesuai. Pada 1990-an, jargon itu diubah menjadi "Gizi Seimbang", yang menempatkan susu bukan lagi sebagai makanan sempurna, melainkan hanya salah satu sumber protein yang bisa diganti dengan yang lain.

"Kalau semua sudah bisa dicukupi, sekarang kan pertanyaannya: apa tujuan manusia minum susu sapi?" kata Tan, yang juga praktisi Braingym dan Quantum serta hipnoterapis.

Gustidha Budiartie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus