Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Jejak Peradaban Purba di Gua Harimau

Gua Harimau menyimpan jejak leluhur kita yang hidup 10 ribu tahun lalu. Diduga gua ini masih menyimpan jejak manusia lebih tua.

18 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBAR mulut gua itu sekitar 40 meter. Tinggi langit-langitnya 30 meter. Lantai datar dengan sirkulasi udara cukup baik serta menerima paparan sinar matahari memadai. Konon, menurut cerita penduduk setempat, dari dalam gua sering terdengar aum si raja rimba. "Dulu orang takut kalau mau mendekati gua itu, takut diterkam harimau penunggu gua," kata Rolli Chandra Saputra, juru pelihara gua. Dari cerita itu lantas muncullah nama Gua Harimau.

Keberadaan gua yang terletak di Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, ini sudah diketahui penduduk setempat sejak puluhan tahun silam. Namun baru terekspos ke publik pada 2004, ketika serombongan arkeolog tertarik menggali dan meneliti gua tersebut. Mereka mendapat informasi bahwa di dalam gua "berserakan" kerangka manusia. Sejak penggalian pertama pada 2008 hingga kini sudah ditemukan 76 kerangka manusia. Dari penelitian awal diduga usia kerangka itu sekitar 3.000 tahun.

Untuk mencapai Gua Harimau dibutuhkan sedikit usaha. Jalan menjadi sulit jika hujan karena berlumpur. Malah terkadang putus akibat anak Sungai Aman meluap. Akhir Juli lalu, Tempo bersama Surya Wahyudi, Kepala Seksi Promosi Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Kabupaten Ogan Komering Ulu, dipandu oleh Rolli, mengunjungi gua tersebut. Dari Palembang memakan waktu tujuh jam berkendara. Sedangkan dari Baturaja, ibu kota OKU, kurang-lebih 60 menit dengan melintasi perkebunan duku, kopi, dan durian.

Setiba di lokasi, untuk mencapai mulut gua harus lebih dulu menaiki hamparan 105 buah anak tangga yang cukup terjal. Rasa lelah akibat perjalanan panjang akan terobati dengan sajian pemandangan yang menakjubkan. Mata dimanjakan oleh tumpukan batu karang berukuran besar dan sedang di dalam gua, stalaktit, serta lukisan dinding di bagian sudut sebelah kanan gua. Di bagian tengah, yang terdiri atas tanah dan bebatuan karang, terdapat empat lubang besar bekas galian para arkeolog.

Di lubang tersebut masih tersimpan puluhan fosil manusia yang tersusun rapi di dalam kotak kayu yang memenuhi sebagian besar area gua. Terdapat dua kerangka manusia yang dapat dilihat dari luar kotak kaca, yang terletak di bagian tengah lubang galian. Kondisinya sudah tak utuh dan rapuh. "Tiap kotak berisi hingga empat individu kecil dan dewasa," ujar Rolli.

Tim arkeolog dari Pusat Pengembangan dan Penelitian Arkeologi Nasional pimpinan Harry Truman Simanjuntak tertarik meneliti gua tersebut setelah memperoleh informasi penghunian awal manusia di Pulau Sumatera. Tim ini telah meneliti beberapa gua di Padang Bindu, seperti Gua Pandan, Gua Silabe, dan Gua Putri, sejak 2000. Gua-gua tersebut memiliki informasi tinggalan budaya sejak 9.000 hingga 5.700 tahun silam.

Menurut peneliti Wahyu Saptomo, pada 2008 dilakukan survei lanjutan di wilayah yang sama dan dijumpai gua dengan ukuran cukup besar, yaitu Gua Harimau. Berdasarkan letaknya, gua ini berada di area yang memiliki potensi sumber daya lingkungan yang sangat baik, sehingga sangat memungkinkan mempunyai lapisan tinggalan budaya yang cukup tebal, tak hanya dari kala Holosen (skala waktu geologi yang berlangsung mulai sekitar 10 ribu tahun radio karbon atau kurang-lebih 11.430 tahun kalender) tapi juga masa yang lebih tua.

Temuan awal saat itu berupa artefaktual dalam jumlah banyak dan terbuat dari bahan cukup bervariasi, seperti logam (besi dan perunggu), gerabah, tulang, dan batu. Juga terdapat tulang binatang dan kulit kerang, yang diperkirakan merupakan sisa-sisa makanan penghuni gua. Selain itu, ditemukan kuburan padat berjumlah 17 individu di kedalaman satu meter. Hingga penggalian Juni lalu telah ditemukan 76 kerangka manusia.

Menurut Truman, penemuan di Gua Harimau ini memberi perspektif baru, tak hanya lingkup lokal tapi juga nasional dan internasional. "Ada 76 individu di dalam satu gua, jumlah yang sangat mencengangkan. Ada hunian masif di gua ini dan dalam waktu panjang hingga ribuan tahun," katanya. Setiap tahun ada saja penemuan baru yang menarik. Pada penggalian Mei lalu, misalnya, terdapat penambahan kubur prasejarah. Empat kubur terakhir ditemukan menggunakan sistem terlipat, seperti bayi dalam kandungan. Sedangkan pada temuan sebelumnya kerangka dalam posisi telentang.

Cara kubur seperti itu dipraktekkan oleh ras Australo Melanesia atau Australo Melanosoid, yang hidup dari awal masa Holosen hingga 4.000 tahun silam. Namun, dari data peta (layer) budaya, kuburan itu bukan dari Australo Melanesia (leluhur orang Papua), melainkan dari penutur Austronesia. "Mereka bukan Australo Melanesia yang menghuni sebagian besar kepulauan kita sebelumnya," ujar Truman. "Dari ciri-ciri fisik, mereka merupakan leluhur kita langsung."

Penutur Austronesia merupakan ras Mongoloid yang pertama datang ke Indonesia dan berkembang hingga kini. Berdasarkan temuan tertua yang didapatkan sejauh ini, penutur Austronesia mulai menyebar di Indonesia sekitar 3.000 tahun lalu. Salah satu budaya mereka adalah dimulainya bercocok tanam padi serta beternak babi, ayam, dan anjing. Budaya itu menandai era awal pertanian dengan domestikasi tumbuhan dan hewan dari kehidupan liar ke dalam lingkungan kehidupan sehari-hari.

Temuan menarik lain di Gua Harimau adalah lukisan dinding. Temuan lukisan itu baru satu-satunya di Sumatera. Selama ini lukisan dianggap tidak sampai ke Sumatera. Yang menjadi pertanyaan, siapa yang membuat lukisan itu. Apakah dari penutur Austronesia atau Australo Melanesia, yang kuburnya ditemukan di lokasi bagian bawah?

Dari sisi hematit (mineral besi oksida berwarna merah), yang digunakan dalam ritual kuburan dan bahan lukisan gua, menunjukkan berada di lapisan budaya penutur Austronesia. Motif lukisan di gua juga ada kesamaan dengan motif tembikar yang ditemukan. Tembikar penanda ekspansi penutur Austronesia. "Dengan dua kesamaan itu disimpulkan dari Austronesia, tapi perlu dipastikan lagi penanggalan lukisannya," ujar Truman. Lukisan itu juga menjadi bukti kehadiran penutur Austronesia awal di wilayah itu.

"Temuan ini semakin melengkapi sebaran penutur Austronesia awal," ujar Truman. Austronesia, yang menjadi cikal-bakal penduduk Nusantara, menyebar dari Taiwan. Salah satu pendapat mengatakan, mereka menyebar melalui jalur timur dari Taiwan ke Filipina, kemudian ke Kalimantan dan Sulawesi lalu ke tiga arah: ke timur hingga Pasifik, ke selatan hingga Nusa Tenggara, dan ke barat hingga Sumatera dan Malaysia.

Data baru menunjukkan penyebaran penutur Austronesia tak sesederhana yang dibayangkan dan memicu pendapat lain tentang adanya penyebaran dari jalur barat, yaitu melalui Asia Tenggara daratan dan Sumatera, yang lebih tua dari jalur timur. Dari temuan yang ada, untuk saat ini pendapat jalur timur lebih kuat. Adapun untuk jalur barat, data arkeologi dan linguistik masih perlu pendalaman, meski indikator-indikator awal ada.

Penemuan di Gua Harimau membuat peneliti semakin mengerti jejak leluhur, apakah asli Taiwan atau campuran dari Asia Tenggara daratan (India Belakang). Adapun pendukung jalur timur—salah satunya dimotori Peter Bellwood, ahli arkeologi dari Australian National University—belum menerima pendapat penyokong jalur barat. Truman menyokong persebaran dengan dua jalur itu. Apalagi temuan di Gua Harimau mendukung hal tersebut.

Saat ini sebagian kecil fosil dan benda-benda yang ditemukan di Gua Harimau sudah dipindahkan ke Museum Si Pahit Lida di Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten OKU. Menurut Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Kabupaten Ogan Komering Ulu, Aufa Sarkomi, pemindahan itu untuk mempermudah pengawasan dan perawat­an. Selain itu, siapa pun yang ingin melihat fosil manusia purba tak harus bersusah payah datang ke Gua Harimau. "Nantinya di gua akan ditempatkan replikanya saja. Sedangkan yang asli kita taruh di museum," kata Aufa. Saat ini pihak Museum Si Pahit Lida sudah membuat empat replika kerangka manusia purba.

Dari hasil ekskavasi terakhir, didapat fakta bahwa di kawasan itu masih banyak tersimpan benda purbakala. Hal itu sejalan dengan temuan Truman, yang mengindikasikan bahwa di Gua Harimau ada hunian yang sangat panjang dari beberapa ras. "Kami sudah turun ke kedalaman 3,5 meter dan menemukan sisa-sisa fauna dan alat-alat batu. Dan ini bukan dari Austronesia, tapi Australo Melanesia. Walaupun kami belum menemukan orangnya, sisa budayanya ada," ujarnya.

Semakin dalam Gua Harimau digali, semakin terkuak jejak leluhur bangsa ini.

Erwin Zachri, Parliza Hendrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus