Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Main Pangkal Cerdas

MATA Fauziah Rizkika Ramadhani, 3 tahun 4 bulan, menatap kertas-kertas putih bertinta merah. Di atas tiap kertas seukuran pelat nomor mobil itu tertulis kata-kata seperti kursi, ambil, lihat, dan piring. Ibunya, Yenny Syefril, membaca kata-kata itu secara bergantian dan menyejajarkan kertas-kertas tersebut di lantai. Perempuan 35 tahun ini kemudian meminta Kika-panggilan Fauziah-memilih kata "ambil". "Coba, Kika, yang mana 'ambil'?" ujarnya di Rumah Sakit Permata Pamulang, Senin pekan lalu.

16 Februari 2015 | 00.00 WIB

Main Pangkal Cerdas
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

MATA Fauziah Rizkika Ramadhani, 3 tahun 4 bulan, menatap kertas-kertas putih bertinta merah. Di atas tiap kertas seukuran pelat nomor mobil itu tertulis kata-kata seperti kursi, ambil, lihat, dan piring. Ibunya, Yenny Syefril, membaca kata-kata itu secara bergantian dan menyejajarkan kertas-kertas tersebut di lantai. Perempuan 35 tahun ini kemudian meminta Kika-panggilan Fauziah-memilih kata "ambil". "Coba, Kika, yang mana 'ambil'?" ujarnya di Rumah Sakit Permata Pamulang, Senin pekan lalu.

Kika menunjuk kata yang tepat: ambil. Mendadak sontak dia mendapat sambutan tepuk tangan atas keberhasilannya itu. Ujian kedua, Kika harus memilih antara kata kursi dan piring. Awalnya dia ragu, menentukan piring yang mana. Perlahan Kika mantap menjatuhkan pilihan yang benar. "Dia sekarang suka segala yang berbau huruf dan kata," ucap Yenny.

Di rumah, Kika sering nimbrung belajar membaca dengan kakaknya yang baru masuk sekolah dasar. Yenny pun rajin menambah perbendaharaan kata baru untuk putrinya dengan membuat sendiri dari kardus. "Saya berkonsultasi dengan Mbak Gardi, kata apa lagi yang bisa," ujar ibu tiga anak yang juga berwiraswasta ini merujuk pada Gardini Oktari, pendamping stimulasi bermain pengenalan kata, program yang diikuti Kika.

Tahun kemarin Kika terlibat dalam penelitian dokter spesialis anak Soedjatmiko tentang bermain sembari mengenal kata. Kajian ini akhirnya membawa dokter spesialis anak itu mendapat gelar doktor dari Universitas Indonesia pada akhir Januari lalu. Judul disertasinya adalah "Pengaruh Stimulasi Bermain Pengenalan Kata oleh Ibu terhadap Perkembangan Anak berusia 12-18 Bulan". "Dunia anak adalah dunia bermain. Ini kuncinya," tutur pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini saat ditemui di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Sejak awal Soedjatmiko mengingatkan bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah belajar membaca. "Stimulasi ini bukan untuk mengajarkan atau menilai kemampuan membaca anak," katanya. Apa yang dia lakukan pada puluhan anak itu adalah merangsang indra penglihatan dan pendengaran serta proses pembelajaran dan memori anak sambil bermain. Karena ini bukan pelajaran membaca, anak tidak diminta mengeja, menirukan, atau mengucapkan tulisan.

Dengan bermain, Soedjatmiko mengajak sekitar 80 anak berusia 2 tahun untuk diteliti perkembangannya jika distimulasi dengan pengenalan kata-kata. Separuh responden diperkenalkan lima kata tiap hari selama delapan pekan. Sisanya hanya diperkenalkan kata-kata pada pekan terakhir. Pada pekan kesembilan, kemampuan mengenali tulisan tersebut diuji dengan cara memilih kata yang ditanyakan oleh ibunya. Hasilnya, kemampuan mengenali tulisan kata pada anak yang diperkenalkan kata-kata lebih sering meningkat.

Kika dan teman-temannya yang ikut penelitian diharuskan datang empat hari dalam sepekan. "Awalnya saya ragu, kok anak dikenalkan kata-kata? Bisa enggak dia menerima?" ujar Yenny. Tapi kemudian ia melihat bahwa Kika sendiri yang antusias datang, karena putri bungsunya itu tidak merasa sedang belajar, tapi bermain. Setiap Yenny selesai mengucapkan lima kata secara cepat, Kika mendapat bonus teriakan "hore" ditambah pelukan atau ciuman. Lalu mereka berdua pulang. Esok harinya mereka datang lagi dengan tambahan kata-kata baru. Hingga waktu ujian tiba pada pekan kesembilan, ada total 60 kata.

"Sewaktu ujian terlihat tipikal tipe pembelajaran anak," ucap Gardiani, yang berlatar belakang pendidikan anak usia dini. Anak yang tipe belajarnya kinestetik suka berputar-putar atau bergerak dulu sebelum mengambil keputusan. Ada yang menebak dengan cara menginjak, ada pula yang menendang. Tipe visual, Gardiani menjelaskan, biasanya langsung menunjuk kata. Terakhir anak dengan tipe auditori, mereka ogah-ogahan untuk memutuskan, tapi selalu mendengarkan selama permainan dengan mata terfokus.

Soedjatmiko mengatakan banyak manfaat yang bisa diperoleh dengan metode ini. Selain pengenalan kata lebih dini, terlihat perkembangan emosi sosial, kadar brain-derived neurotrophic factor (BDNF) dalam darah, dan skala bahasa reseptif. Pelukan yang diberikan sebagai penghargaan, kata dia, jitu untuk mengembangkan emosi sosial. "Anak merasa dihargai, disayangi, dan dibutuhkan," ucap ayah tiga anak ini. Emosi ini penting untuk membangun kecerdasan emosional yang dibutuhkan anak kelak ketika bersosialisasi di lingkungan yang lebih luas.

Lalu, soal bahasa reseptif, ia menjelaskan itu adalah tentang memahami perintah atau instruksi. Terlihat dari kontak mata intens yang dilakukan ketika dibacakan kata per kata. Terakhir, kadar BDNF, yang menurut Soedjatmiko diketahui memiliki peran di otak dalam proses pembelajaran dan memori. BDNF, menurut psikiater anak dari National Institute of Mental Health Amerika Serikat, Nora S. Vyas, berhubungan erat dengan kemampuan kecerdasan secara umum. Dalam penelitian tentang BDNF yang dimuat di Israel Journal of Psychiatry and Related Science (2012), ia menyimpulkan bahwa BDNF bertautan dengan kemampuan anak dalam menguasai kata-kata baru, susun balok, dan perakitan benda. Soedjatmiko menemukan terjadi peningkatan kadar BDNF pada anak yang distimulasi bermain.

Bermain bisa jadi pintu masuk mendidik anak. "Separuh cara mendidik anak itu sudah bisa masuk dengan bermain," kata mantan Sekretaris Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Nonformal-Informal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dr Gutama. Dengan suasana menyenangkan dan gembira, anak tidak sadar bahwa ia sedang dididik. Caranya bisa dengan apa saja, dari melukis, main lompat tali, hingga mengenal kata seperti yang dilakukan Soedjatmiko.

Karena inti dari stimulus ini adalah bermain, bukan belajar membaca, tidak ada tekanan dalam mengingat kata-kata, apalagi memahaminya. "Kadang Kika bermaksud menunjukkan ikan, tapi kartunya tulisannya ayam," ucap Yenny, tertawa. Anak di bawah usia 2 tahun memang tidak dalam tahap memahami makna di balik kata.

"Kata yang tertulis itu dianggap bentuk, diucapkan saja," ujar Dr Soemiarti Padmonodewo, pengajar psikologi di Universitas Tarumanagara. Nanti pengaruhnya ke daya ingat. Karena dilakukan berulang, lama-lama akan terbiasa. Kalau sudah lumrah, Gutama melanjutkan, orang tua tinggal memancing rasa penasaran terhadap kata-kata yang mereka lafalkan tersebut. Dicari bentuk aslinya, dilihat ukurannya, diamati warnanya. Misalnya dengan mengamati buah pisang, apa warnanya hingga bagaimana rasanya.

Soedjatmiko menambahkan, dengan selalu menstimulasi lewat permainan, otak anak dipersiapkan untuk menerima hal-hal yang lebih rumit. Maka, jika tiba waktunya, mereka tidak akan kagok dan jadi lebih paham. Yenny pun sepakat. Kika sekarang lebih menyukai buku atau kartu mainan ketimbang menonton televisi.

Soemiarti mengingatkan, sebagus apa pun metode bermain, terkadang orang lupa tujuannya. Lupa akan tujuan membuat orang tua kemudian mulai memaksa. "Itu yang sering jadi kontroversi karena ada pemaksaan," tutur mantan pengajar psikologi di Universitas Indonesia ini. Padahal, namanya bermain, tentu tidak boleh dipaksa. Sudah dipaksa, ia mengungkapkan, kadang anak lupa diberi penghargaan. "Yang penting itu prosesnya, bukan hasilnya," kata Soemiarti.

Dianing Sari


Permainan yang Baik

Bermain sangat diperlukan oleh anak-anak. Dokter spesialis anak Soedjatmiko; pengajar psikologi di Universitas Tarumanagara, Dr Soemiarti Padmonodewo; dan mantan Sekretaris Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Nonformal-Informal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dr Gutama menyarankan permainan yang menstimulasi perkembangan anak.

RANGSANG FUNGSI TUBUH
Soedjatmiko menjelaskan, permainan yang baik adalah yang mampu membuat anak mendengar, melihat, mengingat, membandingkan, dan mengekspresikan dalam bentuk gerakan motorik halus dan kasar. "Harus merangsang lima indra," katanya.

INTERAKTIF
Anak jangan dibiarkan bermain sendiri. "Misalnya dikasih gadget atau permainan elektronik, itu salah," ujar Soedjatmiko. Orang tua, pengasuh, hingga kerabat yang ada di sekitar kalau bisa ikut terlibat.

SUASANA RIA DAN PENUH KASIH SAYANG
Tidak boleh ada paksaan ketika bermain, sehingga kelekatan orang tua yang bermain dengan anak, menurut Soemiarti, mampu membangun kepercayaan.

PUJIAN DAN PENGHARGAAN
Sekecil apa pun prestasi anak, kata Soedjatmiko, harus dihargai. Tidak perlu mahal, Soemiarti menambahkan, cukup dengan pelukan sudah membuat anak merasa disayangi.

DIULANG
Dalam setiap permainan edukatif, menurut Soedjatmiko, repetisi akan membantu ingatan anak. "Mengubah penyimpanan dari ingatan jangka pendek ke jangka panjang," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum