Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
R.P. Koesoemadinata*
Belakangan ini terjadi kehebohan penurunan harga minyak bumi yang sangat drastis, dari sekitar 100 dolar menjadi kurang dari?50 dolar per barel hanya dalam beberapa bulan. Padahal, beberapa bulan sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) meramalkan harga minyak bumi akan melonjak ke angka 200 dolar per barel. Apakah gerangan yang terjadi?
Banyak teori mengatakan bahwa hal ini disebabkan oleh menurunnya permintaan minyak bumi oleh negara-negara yang sedang berkembang pesat, seperti Cina dan India, sesuai dengan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi. Namun banyak pula yang aneh-aneh, misalnya ini usaha pemerintah Amerika Serikat mematikan pendapatan keuangan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), menghukum Rusia karena kegiatannya di Ukraina, serta menekan Iran karena program nuklirnya. Semua ini mustahil karena pemerintah Amerika tidak mampu mengendalikan produksi minyak bumi dunia.
Di masa lampau, negara yang tergabung dalam Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) mampu mengendalikan ini dengan pengaturan kuota untuk setiap anggotanya sehingga tidak terjadi surplus minyak bumi di dunia. Namun dengan munculnya negara produsen minyak bumi baru, terutama di sekitar Laut Utara; Brasil; Meksiko; negara-negara Afrika, Pantai Barat khususnya; Australia, termasuk Malaysia dan Vietnam; serta munculnya Rusia sebagai produsen minyak raksasa, OPEC dewasa ini nyaris hanya mengendalikan 30 persen dari pasokan minyak dunia. Itu pun masih ditambah beberapa bulan terakhir Irak dan Libya, yang dilanda perang, ternyata mampu mengekspor minyak bumi.
Sebetulnya, di antara negara-negara OPEC, Arab Saudilah yang dapat menutup-buka keran pipa-pipa lapangan minyaknya untuk mempengaruhi pasokan minyak dunia. Namun negara itu tidak menurunkan produknya untuk mengendalikan pasokan minyak bumi dunia, padahal negara-negara OPEC khususnya dan pengekspor minyak bumi pada umumnya sangat terpukul oleh turunnya harga minyak karena kehilangan dana untuk anggaran belanja negaranya.
Memang benar bahwa penurunan permintaan akan minyak bumi, khususnya dari Cina dan India, merupakan salah satu penyebab anjloknya harga minyak bumi dunia. Namun sebetulnya penyebab utamanya adalah berkembang pesatnya produksi minyak bumi dari batuan serpih yang disebut shale oil di Amerika Serikat, yang sampai kini disebut sumber daya minyak, dan gas bumi nonkonvensional, yang hanya dalam beberapa tahun dapat menyamai produksi dari Arab Saudi (9 juta barel per hari). Padahal sebelumnya Amerika adalah pengimpor minyak bumi terbesar di dunia. Perkembangan shale oil itu disertai dengan perkembangan shale gas, yang harganya di Amerika anjlok lebih dulu.
Perkembangan shale oil dan shale gas sangat penting karena tak hanya mengakibatkan turunnya harga minyak bumi, tapi juga akan sangat menentukan masa depan perkembangan pasokan energi dunia, khususnya yang disebut green energy. Shale oil dan shale gas sebetulnya telah diketahui lebih dari 100 tahun lalu, yaitu minyak dan gas bumi yang terjebak dalam batuan yang mempunyai porositas dan permeabilitas sangat rendah sehingga tak mungkin diproduksi dengan cara pengeboran dan penyedotan secara konvensional, tapi memerlukan teknologi khusus, yang disebut fracking atau peretakan batuan, serta teknologi pengeboran horizontal, yang cukup mahal.
Harga minyak dunia yang tinggi memungkinkan teknologi ini berkembang pesat sehingga sumber daya shale oil menjadi ekonomis untuk diproduksi, tergantung kedalaman dan keadaan prasarana di daerahnya serta biaya produksi (lifting cost) dari shale oil yang berkisar 30-80 dolar. Anjloknya harga minyak bumi sampai di bawah 50 dolar tentu sekarang telah menutup beberapa pengeboran dan fracking serta menurunkan produksi shale oil. Ini rupanya yang ditunggu Arab Saudi, dengan membiarkan harga minyak bumi turun akan mematikan industri shale oil. Namun sampai berapa lama?
Dengan berlalunya waktu, usaha mengefisienkan teknologi baru itu akan turun juga, tapi jelas tidak akan bisa sama dengan biaya pengeboran konvensional. Dengan menurunnya produksi shale oil, terjadi kekurangan pasokan minyak dunia, tapi hal ini tentu akan meningkatkan harga minyak mentah dan shale oil bakal kembali muncul sampai terjadi keseimbangan lagi. Menurut perkiraan, keseimbangan itu akan terjadi saat harga minyak bumi dunia berkisar di angka 40-50 dolar.
Besaran dari sumber daya shale oil itu sangat menakjubkan. Di Amerika Serikat saja mungkin dalam besaran ratusan triliun barel. Bayangkan jika semua minyak bumi itu berasal zat organik yang terkumpul dan terjebak dalam lapisan sedimen laut ataupun danau, khususnya shale (serpin, tanah liat), yang terkumpul dalam cekungan sedimen dengan ketebalan ribuan meter selama lebih dari 500 juta tahun, bahkan mungkin lebih dari 1 miliar tahun, kemudian termasak karena panas bumi dan, sewaktu menjadi minyak bumi, dikenal sebagai batuan induk minyak bumi.
Diperkirakan 10 persen minyak yang terbentuk itu berhasil bermigrasi ke batuan yang lebih porous dan menghasilkan akumulasi minyak bumi yang konvensional serta sisanya masih terjebak dalam batuan induk dan sekarang dikenal sebagai shale oil itu. Endapan-endapan shale oil itu juga dikenal di seluruh dunia, seperti di Rusia, Cina, Australia, Eropa (termasuk Inggris), Kanada, dan Amerika Latin, bahkan di Timur Tengah.
Perkembangan pesat di Amerika Serikat dapat terjadi karena di negara itu pada umumnya pemilik tanah pribadi menguasai apa yang ada di bawah tanah, sehingga perusahaan minyak tinggal menghubungi si pemilik tanah dan menjanjikan royalti yang menggiurkan. Mereka segera dapat memulai pengeboran, tidak memerlukan berbagai macam izin ini-itu, serta tersedianya infrastruktur dan jasa-jasa teknis, seperti pengeboran. Tentu dengan memperhatikan undang-undang lingkungan, tapi tidak memerlukan analisis mengenai dampak lingkungan dan sebagainya.
Di Inggris, beberapa perusahaan minyak mencoba memulainya, tapi mendapat tentangan dari masyarakat pencinta lingkungan sehingga dilarang. Demikian pula di beberapa negara Eropa lainnya, seperti Prancis dan Jerman. Penolakan terhadap fracking terjadi di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat, dengan dalih kekhawatiran akan mencemari air tanah dan lebih dahsyat lagi memicu gempa bumi. Apakah akhirnya fracking akan dilarang pula di Amerika Serikat?
Mungkin sekali tidak. Sebab, selain teknologinya makin canggih, melimpahnya pasokan minyak bumi dan turunnya harganya secara keseluruhan meningkatkan perekonomian Amerika walaupun ironisnya menyebabkan pemutusan hubungan kerja besar-besaran di industri minyak bumi. Selain itu, untuk pertama kalinya sejak dulu, Amerika berswasembada dalam energi fosil ini dan tidak lagi bergantung pada Timur Tengah serta mengubah geopolitik. Harga minyak bumi murah ini juga menghantam negara-negara lawan politik penghasil minyak bumi, seperti Rusia, Iran, dan Venezuela. Di lain pihak, harga murah ini akan menghambat perkembangan green energy sebagaimana dicanangkan pemerintah Barack Obama.
Apakah kita akan kembali ke era energi fosil yang murah meriah, dan sampai kapan? Bagaimana dampaknya terhadap industri minyak bumi Indonesia? Akan kita bahas di kolom atau artikel yang akan datang. l
*)Konsultan Perusahaan Minyak Nasional Dan Internasional, Doktor Perminyakan Dari Colorado School Of Mining, Amerika Serikat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo