Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RINTO Harahap adalah orang Batak yang kesayuannya ditakuti orang Jawa. Itu terjadi pada 1985, ketika Menteri Penerangan Harmoko melarang "lagu-lagu cengeng"-seperti yang diciptakan Rinto-disiarkan di televisi. Pemerintah Soeharto khawatir lagu-lagu itu membuat rakyat lembek.
"Lagu-laguku tidak cengeng," ujar Rinto ketika itu. "Jika Harmoko mengatakan laguku sendu, aku bisa menerima. Tapi cengeng? Alangkah rendah pilihan katanya." Rinto, yang wafat pekan lalu pada usia 65 tahun, memang terkenal karena kesenduan lagu-lagunya.
Sepanjang hidupnya, Rinto menciptakan 518 lagu, yang sebagian besar memeras air mata. Namanya bahkan kerap menjadi ajektiva untuk kesenduan. "Badan Rambo, hati Rinto," begitu ungkapan untuk menggambarkan pria berbadan kekar tapi berhati sendu. Tapi, "Pernyataan itu tidak mengecilkan Bang Rinto, yang terkenal sangat lemah lembut, pendiam, tak banyak bicara, dan melankolis," kata Iis Sugianto, salah satu penyanyi yang diorbitkan Rinto.
Penyanyi yang namanya melambung lewat lagu-lagu ciptaan Rinto, antara lain Jangan Sakiti Hatinya, itu menganggap Rinto sangat karismatis sehingga, setiap berbicara dengannya, Iis tidak pernah berani menatap mata. "Yang saya tatap jidatnya saja."
Selain Iis, ada Nia Daniaty dengan Gelas-gelas Kaca, Diana Nasution dengan Benci tapi Rindu, Emilia Contessa dengan Untuk Apa, Christine Pandjaitan dengan Sudah Kubilang, dan Broery Marantika dengan Aku Begini Engkau Begitu.
"Ternyata orang lebih menyukai lagu semacam itu,'' kata Rinto, suatu ketika. Jangan Sakiti Hatinya yang dinyanyikan Iis berhasil mencapai penjualan 400 ribu kaset. Tapi Rinto tak hanya pandai menciptakan lagu sendu. Ia, yang sangat suka menonton laga sepak bola, juga pernah membuat syair untuk kesebelasan PSMS Medan. "Harum baumu si bunga tanjung/Harumnya sampai melintasi gunung/Hijau bajumu si abang sayang/Tak luntur walau di seberang." Syair itu ditulis Rinto ketika PSMS bertanding di partai final melawan Persib Bandung di Stadion Utama Senayan, Jakarta, pada 1985.
Rinto memang dulu bercita-cita menjadi pemain bola, bahkan pernah jadi anak gawang pada masa kecilnya di Medan. "Tapi kaki saya patah karena tabrakan motor." Ia lalu ingin menjadi dokter. Tapi ayahnya, James Harahap, mengharapkan Rinto jadi pendeta. Akhirnya anak ketiga dari enam bersaudara itu terdampar di dunia musik-dan sukses. Ia mulai dengan mendirikan grup musik The Mercy's di Medan. Setelah The Mercy's bubar, bersama abangnya, Erwin Harahap, Rinto membentuk usaha rekaman Lolypop di Jakarta. "Lolypop saya dirikan karena melihat masa depan sebagai artis musik masih suram," katanya.
Lelaki kelahiran Sibolga, Sumatera Utara, ini menikah dengan Lily Kuslolita, asal Solo, yang lebih muda tiga tahun. Perkenalan mereka terjadi ketika The Mercy's mengadakan lawatan ke Balikpapan menggunakan pesawat Bouraq. Lily, pramugari Bouraq, sedang bertugas ketika itu. Perkenalan di udara akhirnya diteruskan dengan pernikahan di darat. Dari pasangan ini lahir tiga anak, satu di antaranya artis Cindy Claudia Harahap.
Pada 1982, Rinto mendapat Anugerah Seni dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pencipta lagu sekaligus penyanyi berprestasi. Perusahaan rekaman Filipina, WEA Records, pernah memberi kepercayaan kepadanya untuk mengekspor lagu-lagunya. Karena menciptakan ratusan lagu yang merajai bisnis musik pada 1980-an itulah ia disebut "Raja Lagu Pop".
Rinto juga menulis lagu mars Partai Patriot, yang diketuai teman karibnya, Japto Soerjosoemarno. Pada 19 April 2004, ketika kampanye, Rinto terserang stroke. Akibatnya, ia tidak bisa berbicara, organ tubuh tak bisa digerakkan.
Dalam sepuluh tahun terakhir, Rinto terserang banyak penyakit, termasuk kanker. Setelah dirawat di enam rumah sakit, Senin pekan lalu, di RS Mount Elizabeth, Singapura, ia mengembuskan napas terakhir. Rinto dikebumikan di Pemakaman Kampung Kandang, Jakarta Selatan.
Qaris Tajudin, Hadriani Pudjiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo