Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Duitin membuat aplikasi untuk mempertemukan penghasil sampah dengan pemulung.
Kampoeng Djoeang masuk ke kampung-kampung untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya kerusakan lingkungan.
KEPRIHATINAN terhadap kerusakan lingkungan akibat sampah mendorong sejumlah anak muda mendirikan Duitin, akronim "daur ulang itu ini", sebuah gerakan pemulung sampah yang memilah, mengumpulkan, dan mengelola sampah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut salah seorang pendirinya, Adijoyo Prakoso, gerakan ini bermula dari kepedulian mereka terhadap pemulung. Dalam kunjungan ke kampung di Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada 2018, Adijoyo dan kawan-kawan mendapati para pemulung tidak mendapatkan sampah secara gratis. Mereka membelinya dari warung dan toko yang membuang kardus serta sampah plastik. “Para pemulung kemudian menjualnya ke pengepul,” ujar Adijoyo, 35 tahun, Kamis, 9 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adijoyo dan kawan-kawan lalu memutuskan menjadi pemulung selama lebih dari setahun untuk mendalami sistem yang dijalankan pemulung. Mereka memungut sampah dari rumah ke rumah dan menjualnya ke pengepul. “Akhirnya kami berpikir bagaimana caranya agar bisa mendapat sampah lebih banyak,” ujar Chief Operation Officer Duitin itu.
Setelah paham, mereka memutuskan menjadi pengepul karena ingin membantu pemulung mendapatkan lebih banyak sampah. Mereka berusaha mempertemukan penghasil sampah di rumah dengan pemulung.
Adioyo dan kolega lalu mengedukasi masyarakat cara memilah sampah. Mereka mengajak pekerja sektor informal bergabung di Duitin agar lebih mudah mendapat order penjemputan sampah daur ulang. Melalui aplikasi yang diluncurkan pada Juli 2020, Duitin dapat menjangkau lebih banyak tempat melalui interaksi digital.
Gerakan ini menyasar semua lapisan masyarakat, tapi kebanyakan penggunanya kaum milenial dan ibu-ibu muda. Dalam tiga tahun, Duitin telah memiliki lebih dari 120 ribu pengguna. Sasaran kedua, kata dia, membuat pemulung dan pengepul menjadi penjemput Duitin.
Kampanye komunitas Kampoeng Djoeang mengenai pentingnya menjaga lingkungan kepada anak-anak sekolah dasar di Pakuwon Mall, Surabaya, 2019. Dok. Kampoeng Djoeang
Untuk menyetorkan sampah, pengguna dapat mengunduh aplikasi Duitin lalu mengeklik “mulai”, memilih jenis sampah daur ulang, dan memasukkan estimasi beratnya. Minimal sampah yang dijemput 3 kilogram. Pengguna lalu menentukan lokasi dan jam penjemputan. Penjemput Duitin terdekat akan mendapatkan order. Mirip order makanan di aplikasi ojek daring. Penjemput, ucap Adijoyo, mendapatkan reward berupa koin yang bisa ditukarkan dengan pulsa, paket data, token listrik, atau diuangkan melalui Linkaja dan Dana.
Sampah yang dapat dikumpulkan antara lain plastik, karton, minyak jelantah, kotak susu, kaleng aluminium, botol kaca, dan popok bayi. Penjemput membeli sampah dengan harga Rp 250-500 per kilogram. Duitin mendapatkan fee 20 persen dari nilai order penjemputan. Sampah yang sampai ke Duitin dipilah lagi lalu disetorkan ke pemroses sampah atau pabrik.
Pentingnya edukasi tentang lingkungan juga memantik kegelisahan Muhammad Syafrizal Izaqi, 28 tahun. Pria yang akrab disapa Zaqi itu menilai masalah lingkungan timbul karena ketidaktahuan masyarakat tentang bahaya kerusakan lingkungan.
Bersama sejumlah teman, ia lalu mendirikan Kampoeng Djoeang pada 2018. Ini adalah gerakan berbasis pendidikan lingkungan untuk mengedukasi masyarakat tentang kiat menjaga lingkungan.
Gerakan itu didirikan oleh anak-anak muda pendatang yang kuliah dan bekerja di Surabaya. Awalnya anggotanya lima orang, kini bertambah menjadi 15 orang. Gerakan ini awalnya lebih banyak membuat diskusi daring tentang film, bedah buku, dan masalah perkotaan. “Lalu kami menyadari saat itu ada isu yang kurang banyak perhatian dari masyarakat, terutama anak muda. Maka kemudian kami ambil isu lingkungan,” ujar Zaqi, Kamis, 9 Desember lalu.
Zaqi dan tim menginisiasi program pemulung sampah dengan masuk ke kampung-kampung. Mereka bisa menetap di satu kampung selama tiga-empat bulan untuk membersihkan kampung, membangun tempat sampah, dan membuat mural bertema lingkungan sesuai dengan kearifan lokal. “Di Surabaya kami sering menggambar dengan tema Bonek dan gambar-gambar yang masih terkait dengan alam dan isu lingkungan,” ujar alumnus Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, itu.
SITI HASANAH GUSTIYANI, HAFSAH CHAIRUNNISA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo