JIKA kode etik dijunjung tinggi maka gaya hldup seoran dokter
adalah gaya spartan. Sederhana dan keras. Pertolongan yang
mereka berikan tidak boleh didasarkan pada pertimbangan
untung-rugi.
"Dari hasil pekerjaan dokter saja orang tidak akan menjadi
kaya-raya, meskipun ia tidak akan tergolong orang miskin. Kalau
ia menjadi kaya raya semata-mata dari hasil jabatannya, maka ia
tentu tidak mentaati kode etik kedokteran," demikian salah satu
fasal kode etik yang disusun dalam Musyawarah Kerja Susila
Kedokteran Nasional tahun 1969.
Banyak dokter toh kaya, terutama spesialis yang mashur-mashur.
Tentu belum pasti mereka "tidak mentaati kode etik". Namun
kehausan sementara dokter akan uang bukan rahasia lagi.
Permainan komisi dengan perusahan farmasi seperti yang gencar
dikritik dalam media massa akhir-akhir ini, adalah petunjuk: ada
pelanggaran.
Tetapi di antara kritik terbuka yang semakin memberani, karena
tidak takut kena pembalasan dari yang dikritik, di antaranya
memang ada juga yang ngawur.
Misalnya kecaman seorang pasien yang dimuat dalam sebuah surat
kabar beberapa waktu yang lalu, ketika ia ditolak oleh seorang
spesialis, tanpa surat pengantar dari dokter umum. Sikap
spesialis ini justru tepat. Ia malahan menjadi contoh yang amat
sedikit bagi praktek dokter spesialis, yang memang dianjurkan
untuk hanya menerima pasien dari dokter umum ketika sang dokter
umum sudah tak mampu mengobatinya.
"Tidak tepatnya kritik seperti itu karena pengetahuan masyarakat
yang kurang mengenai seluk-beluk dunia kedokteran," kata Ketua
Ikatan Dokter Indonesia, dr Utoyo Sukaton. Tapi ahli penyakit
kencing manis ini menganggap kritik terhadap dokter sekarang,
sebagai peringatan terhadap pelanggaran etik yang dilakukan
sebagian dokter.
Bagaimana sebenarnya Kode Etik Kedokteran Indonesia? Inilah
yang diterbitkan IDI berdasarkan hasil Musyawarah Kerja Susila
Kedokteran Nasional tahun 1969:
Tidak diperkenankan menjual obat di tempat praktek. Kalau
perlu, karena apotik tutup atau si sakit harus memakan obat
segera, maka kepadanya dapat diberikan obat untuk pertolongan
pertama.
Tidak boleh melakukan tindakan hedokteran yang tidak perlu,
dengan maksud mendapat imbalan yang tinggi. Misalnya
mempergunakan alat sinar tanpa indikasi. Pendeknya tidak boleh
mempergunakan alat dan cara pengobatan yang hanya dimaksudkan
untuk menipu atau menagih pembayaran yang tidak halal.
Kunjungan ke rumah pasien atau kunjungan pasien ke kamar
praktek hendaklah dibatasi supaya jangan menimbulkan kesan
seolah-olah dimaksudkan untuk memperbanyak honorarium. Ini perlu
diperhatikan terutama oleh dokter perusahaan yang dibayar
menurut banyaknya konsultasi.
Tidak diperkenankan meminta lebih dulu sebagai uang-muka
sebagian atau seluruh imbalan perawatan, misalnya pada waktu
akan melaksanakan pembedahan atau pertolongan untuk melahirkan.
Tidak dibenarkan mencantumkan bermacam-macam keterangan di
bawah nama, seperti "praktek umum", "praktek umum, juga untuk
anak-anak dan wanita hamil" atau "tersedia pemeriksaan dan
pengobatan sinar". Segala penjelasan seperti itu bersifat
reklame dan tidak perlu karena pada kata "dokter" telah
tersimpul bahwa pemilik gelar itu ahli dalam ilmu kedokteran
umumnya.
Juga tidak sesuai dengan sifat jabatan kalau papan-nama seorang
dokter dipasang di persimpangan jalan menuju ke rumahnya dengan
gambar tanda panah menunjuk ke tempat praktek.
Tidak dibenarkan memberikan sebagian dari imbalan kepada teman
sejawat yang mengirim pasien buat konsultasi. Atau uang komisi
untuk orang yang langsung atau tak langsung menjadi perantara,
misalnya pengusaha hotel, bidan, perawat dan sebagainya. Jadi
tidak dibenarkan memberikan sebagian dari imbalan kepada calo.
Tutur kata seorang dokter dengan pasiennya juga diatur dalam
kode etik. Dalam memberikan pengobatan terhadap pasien seorang
dokter supaya berusaha mempengaruhi alam rohaniah si pasien
supaya tumbuh kepercayaan dalam jiwanya bahwa ia akan lekas
sembuh. "Kepercayaan itu memperkuat daya tahannya. Sebaliknya
daya tahan dapat berkurang akibat uraian yang menakutkan tentang
penyakit yang dialami seseorang, seperti sakit jantung, tekanan
darah tinggi dan sebagainya. Sebab itu seorang dokter harus
berhati-hati dalam percakapan dengan si sakit. Dipertimbangkan
dulu apa yang boleh disampaikan kepadanya Kata-kata yang tepat
pada waktu yang tepat merupakan salah satu obat yang paling
mujarab."
Tentang etis tidaknya seorang dokter yang menulis karangan di
media massa juga disinggung dalam kode etik. Beberapa kalangan
kedokteran sampai sekarang ada juga yang tetap berpandangan
bahwa tulisan yang datang dari seorang dokter dan dimuat dalam
media massa sebagai "melanggar etik". Tapi sementara itu kode
etik menyebutkan bahwa "setiap dokter yang menulis karangan yang
bersifat mendidik adalah berjasa terhadap masyarakat". Tulisan
itu baru bertentangan dengan etik kedokteran kalau "dengan
sengaja dibubuhi berbagai cerita tentang hasil pengobatan
sendiri, yang sudah terang menjadi reklame buat diri sendiri."
Semua itu menyangkut kode etik. Artinya, hukuman terhadapnya
hanya berupa pukulan moril, yang diperkirakan akan dirasakan
seorang dokter, kalau dia sadar telah berbuat salah. Jadi tak
ada hukuman. Satu-satu pelanggaran etik yang bisa dijatuhi
hukuman hanya yang menyangkut pelanggaran terhadap rahasia
pasien. Pasal 322 Kitab UU Hukum Pidana mengancam begini:
"Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang ia wajib
menyimpannya oleh kanona jabatan atau pekerjaannya, baik yang
sekarang maupun yang dulu, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya enam
ratus rupiah." Tapi itu kalau yang dirugikan menyampaikan
pengaduan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini