Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Siapa Salah Kalau Kode Etik ...

Masyarakat menuduh dokter memperoleh komisi dari pabrik farmasi. Tarif dokter meningkat. Menkes akan menertibkan pelanggaran kode etik. IDI mendirikan biro konsultasi yang melayani masyarakat. (ksh)

29 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA dokter kita sedang diumpat. Tarif pengobatan semakin mencekik para pasien. Sementara tabib-tabib itu juga ditunggu memperoleh komisi dari pabrik farmasi dengan menuliskan obat buatan perusahaan tadi pada resep yang diberikan kepada si sakit. Kritik itu tampaknya semakin meluas juga di tengah masyarakat. Bukan saja lantaran anggapan bahwa pada akhirnya komisi yang diterima dokter dari perusahaan farmasi akan dibebankan kepada si penderita. Tapi juga dilandasi alasan, bahwa persaingan antara sesama perusahaan obat-obatan semakin mendorong keberanian mereka untuk menggoda para dokter. Sehingga soalnya tinggal, apakah perbuatan dokter serupa itu benar-benar telah menyimpang dari kode etik kedokteran: "seorang dokter tak boleh mendasarkan pertolongannya atas perhitungan untung-rugi. Sebenarnya sepanjang yang menjadi pertimbangan utama tetap kebutuhan penyembuhan pasien, tidak ada larangan seorang dokter menuliskan sesuatu obat dri pabrik farmasi tertentu. Sehingga dari proses itu kemudian ia mendapatkan keuntungan tambahan. Yaitu selama indikasi penyakit memang mengharuskan penggunaan obat tersebut. "Penulisan obat hanya dari pabrik obat tertentu tidak melanggar etik kedokteran yang manapun. Tapi jika mengejar komisi lebih dipentingkan daripada kesehatan pasien itu sendiri, masalahnya akan menjadi sangat berbeda," jawab Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Jakarta, dr Kartono Mohamad. Pendapat ini kemudian diperkuat oleh Ketua IDI Pusat, dr Utoyo Sukaton. Katanya "Dokter sebenarnya hanya boleh menuliskan nama generic dari obat. Tapi menuliskan trade mark juga bisa kalau dokter yang bersangkutan telah mengetahui dan pengalamannya menunjukkan obat tersebut memang terjamin mutunya." Antara kepentingan pasien dan komisi obat mungkin telah berbaur menjadi satu. Memang sulit dibuktikan, karena ini adalah soal iktikad. Tapi Permadi SH dari Lembaga Konsumen hendak membuktikan bahwa setidaknya telah ada kebiasaan baru yang mencurigakan berlangsung dalam kamar praktek. Katanya ia menyimpan tindasan buku resep dari seorang dokter. Dulu tindasan resep memang belum dikenal orang. "Tindasan resep ini untuk apa lagi kalau bukan untuk dikirim ke pabrik obat untuk dihitung komisinya? katanya tanpa mengharapkan jawab. "Saya tak melihat kegunaan yang lain," selanya lagi. Jika dibandingkan obat-obat yang cukup melimpah sekarang, dengan kurun sakitnya ekonomi di sini dulu, orang bisa menarik kesimpulan, pabrik farmasilah yang memulai permainan komisi tersebut. "Belakangan ini memang terlihat kompetisi tidak sehat antara perusahaan farmasi. Ada yang main komisi dengan dokter. Kalau tidak ya memberikan hadiah berbagai macam. Ada pula dokter kontrakan dan macam-macam lagi istilahnya menurut laporan yang masuk dari detailer kami," cerita Siddharta dari pabrik farmasi Dumex. Kalangan dokter ada juga yang sadar bahwa mereka sedang diperangkap agar melanggar etik, serta merta menolak umpan dari perusahaan tadi. "Saya pernah ditawari sekian persen, tapi saya tolak," kata Utoyo Sukaton. "Saya juga menolak," sebut dr Kabat ahli penyakit paru-paru dari Surabaya. "Saya tak pernah menerimanya," sahut dr Iman Hilman dari Bandung. Sebenarnya pelanggaran terang-terangan terhadap kode etik banyak terjadi (lihat box). Tapi didiamkan begitu saja, mungkin karena khalayak ramai merasa tidak terkena langsung. Barangkali juga karena masalah pelanggaran etik tidak serta merta mendapat ganjaran hukuman. Atau karena organisasi ikatan dokter belum berkuku dan tak ada waktu menegur. Sehingga pelanggaran-pelanggaran berjalan terus dan terasa sebagai hal yang akhirnya lumrah adanya. Begitu pula pemerintah kelihatannya seperti lalai ketika misalnya memberikan izin untuk klinik-klinik spesialis. Lihatlah di Pusat Perdagangan Duta Merlin Jakarta yang penuh sesak itu berdiri sebuah klinik spesialis dengan papan nama yang bagaikan mau bersaing dengan reklame salon-salon kecantikan -- satu hal yang juga tak dibenarkan kode etik. Juga ketetapan tarif dokter seperti diucapkan Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta pertengahan bulan Juli. Yaitu Rp 3000 sebagai tarif tertinggi dokter umum dan Rp 6000 untuk dokter spesialis. Padahal masih banyak pasien yang bisa mendapat pertolongan hanya dengan Rp 750 dari seorang dokter umum. Sulit untuk menyebutkan bahwa ketetapan itu tidak akan merangsang bertambah mahalnya biaya perawatan kesehatan. Padahal menurut Ketua Majelis Kehormatan Etika Kedokteran, Prof dr Bahder Djohan, "tarif seorang dokter itu semustinya mulai dari nol sampai tak terhingga." Artinya sangat tergantung pada kemampuan keuangan si pasien. "Kalau perlu dibebaskan samasekali dari ongkos," katanya lagi. Sementara Majalah Kedokteran Indonesia, terbitan 4 April 1966 mengusulkan supaya imbalan dokter umum disamakan dengan harga 6 atau 7 liter beras terbaik. Sedangkan untuk spesialis dua kali dari jumlah itu. Pelanggaran-pelanggaran etik oleh sementara dokter memang diakui oleh pimpinan mereka dalam induk organisasi IDI. "Pelanggaran etik itu mungkin disebabkan telah lupanya dokter kepada sumpah Hipokrates yang mereka ucapkan. Mungkin juga didorong oleh keinginan untuk cari kekayaan," kata Utoyo Sukaton. Tapi kalau dilihat masyarakat secara keseluruhan, tambah Sukaton, bukan dokter saja yang telah melakukan pelanggaran. "Kebobrokan moral memang merajalela di seluruh lapisan," tuturnya pula, tapi karena dokter lebih dekat dengan jiwa manusia, ia dapat kritik yang lebih terbuka." Menteri Kesehatan Suwardjono Surjaningrat menilai pelanggaran-pelanggaran etik kedokteran, terutama yang menyangkut faktor-faktor komersil sebagai "akibat sampingan dari kemauan ekonomi yang dicapai sekarang." Sedangkan dr Bahder Djohan menanggapi kemerosotan martabat dokter sekarang ini memang tak terelakkan. "Demoralisasi terjadi di mana-mana. Mengapa tidak pada dokter kita?!" katanya. Sementara dokter semuda Marulam M Panggabean, lulusan UI tahun 1974 menganggap musykil menghindari dokter dari pelanggaran etik tanpa memperbaiki sikap masyarakat lebih dulu. "Dokter itu manusia biasa, yang masyarakat kita. Mereka yang menggoda dokter. Kalau dokter tak punya mobil mereka tanya kok dokter tak punya mobil," celotehnya. Sikap masyarakat serupa itu sedikit banyak memberi andil kenaikan pasaran tarif dokter. Sewa sebuah ruangan misalnya tiba-tiba menjadi seharga sewa atau kontrak sebuah rumah kalau si empunya tahu yang bakal menyewa adalah dokter. Untuk memburu sewa itu tentu dokter tadi akan membalaskannya kembali kepada masyarakat. Kematangan sikap masyarakat terhadap profesi dokter mungkin membutuhkan waktu panjang. Mengapa pihak IDI sendiri tidak berusaha mengambil langkah mengembalikan nama baik anggotanya? "IDI hanya bisa menegur mereka secara edukatif saja, sebagai sesama pencari nafkah. Yang bisa memberikan sanksi hanya Depkes," jawab Utoyo. Menteri Kesehatan yang nampaknya banyak melakukan pembicaraan terbuka dengan petugas-petugas kesehatan memang sudah menetapkan niatnya untuk memuliakan kembali martabat dokter. Kita harus menyampaikan penghormatan kita kepada dokter-dokter terdahulu. Yaitu kepada dokter Sarwono, Slamet Iman Santoso dan Bahder Djoan, orang yang kita kenal tak pernah membuat cacad dalam hidupnya sebagai dokter," katanya. Ketika meresmikan Musium Kesehatan di Jalan Abdurachman Saleh tanggal 23 Juli, Suwardjono menyebutkan bahwa Majelis Kehormatan Etika Kedokteran memang kurang efektif. Dan ia ingin melihat badan itu digiatkan kembali dengan tenaga-tenaga yang dinamis. "Saya memerlukan tenaga-tenaga muda," katanya kepada TEMPO. Ia ingin agar tugas badan tersebut "memprogramkan pengawasan kode etik. Dan terus-menerus mengawasi serta membimbing terlaksananya kode etik." Kemudian Menteri Kesehatan itu juga berjanji akan mengaktifkan kembali dewan kehormatan itu dengan menumbuhkan kerjasama dengan kepala-kepala kantor Perwakilan Departemen Kesehatan. "Dewan harus menegur dokter-dokter yang melakukan pelanggaran. Kalau sampai tiga kali masih membangkang juga, segera laporkan kepada kepala kantor perwakilan Depkes. Kalau sampai di sini pelanggaran masih berjalan terus, Departemen Kesehatan yang akhirnya akan mencabut izin dokter yang bersangkutan," urainya. Namun dengan ketetapan-ketetapan yang bakal muncul dari Menteri Kesehatan nampaknya tidak hanya menyangkut penindakan terhadap dokter yang melanggar etik. Tapi juga sekaligus untuk membela dokter yang martabat dan kemuliaan profesinya terancam. "Kita harus juga membela kolega-kolega kita yang dirugikan oleh sikap masyarakat. Seperti bagaimana melindungi dokter yang dipaksa dengan todongan untuk memberikan narkotik." Karena itulah ia menyambut hangat lahirnya Biro Konsultasi IDI Jakarta, di Jalan Abdurachman Saleh 26 Jakarta. Karena katanya "ini merupakan tempat untuk membicarakan masalah yang dihadapi dokter maupun masyarakat umum. Saya harapkan biro konsultasi semacam ini bisa diikuti kota lain, karena ia amat diharapkan dalam menjaga jangan sampai pelanggaran-pelanggaran di bidang pelayanan kesehatan berkepanjangan." Biro Konsultasl tersebut diselenggarakan IDI sebagai sarana untuk melayani masyarakat dalam soal-soal yang berkatan dengan pelayanan kesehatan atau hubungan antara pasien dan dokter. Ia bukan poliklinik atau balai pengobatan. Tapi hanya sekedar wadah untuk memberikan penjelasan atau tempat mencari penyelesaian persoalan yang mungkin terJadi antara masyarakat dan dokternya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus