PARA dokter kita sedang diumpat. Tarif pengobatan semakin
mencekik para pasien. Sementara tabib-tabib itu juga ditunggu
memperoleh komisi dari pabrik farmasi dengan menuliskan obat
buatan perusahaan tadi pada resep yang diberikan kepada si
sakit.
Kritik itu tampaknya semakin meluas juga di tengah masyarakat.
Bukan saja lantaran anggapan bahwa pada akhirnya komisi yang
diterima dokter dari perusahaan farmasi akan dibebankan kepada
si penderita. Tapi juga dilandasi alasan, bahwa persaingan
antara sesama perusahaan obat-obatan semakin mendorong
keberanian mereka untuk menggoda para dokter. Sehingga soalnya
tinggal, apakah perbuatan dokter serupa itu benar-benar telah
menyimpang dari kode etik kedokteran: "seorang dokter tak boleh
mendasarkan pertolongannya atas perhitungan untung-rugi.
Sebenarnya sepanjang yang menjadi pertimbangan utama tetap
kebutuhan penyembuhan pasien, tidak ada larangan seorang dokter
menuliskan sesuatu obat dri pabrik farmasi tertentu. Sehingga
dari proses itu kemudian ia mendapatkan keuntungan tambahan.
Yaitu selama indikasi penyakit memang mengharuskan penggunaan
obat tersebut. "Penulisan obat hanya dari pabrik obat tertentu
tidak melanggar etik kedokteran yang manapun. Tapi jika mengejar
komisi lebih dipentingkan daripada kesehatan pasien itu sendiri,
masalahnya akan menjadi sangat berbeda," jawab Ketua Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) Cabang Jakarta, dr Kartono Mohamad.
Pendapat ini kemudian diperkuat oleh Ketua IDI Pusat, dr Utoyo
Sukaton. Katanya "Dokter sebenarnya hanya boleh menuliskan nama
generic dari obat. Tapi menuliskan trade mark juga bisa kalau
dokter yang bersangkutan telah mengetahui dan pengalamannya
menunjukkan obat tersebut memang terjamin mutunya."
Antara kepentingan pasien dan komisi obat mungkin telah berbaur
menjadi satu. Memang sulit dibuktikan, karena ini adalah soal
iktikad. Tapi Permadi SH dari Lembaga Konsumen hendak
membuktikan bahwa setidaknya telah ada kebiasaan baru yang
mencurigakan berlangsung dalam kamar praktek. Katanya ia
menyimpan tindasan buku resep dari seorang dokter. Dulu tindasan
resep memang belum dikenal orang. "Tindasan resep ini untuk apa
lagi kalau bukan untuk dikirim ke pabrik obat untuk dihitung
komisinya? katanya tanpa mengharapkan jawab. "Saya tak melihat
kegunaan yang lain," selanya lagi.
Jika dibandingkan obat-obat yang cukup melimpah sekarang, dengan
kurun sakitnya ekonomi di sini dulu, orang bisa menarik
kesimpulan, pabrik farmasilah yang memulai permainan komisi
tersebut. "Belakangan ini memang terlihat kompetisi tidak sehat
antara perusahaan farmasi. Ada yang main komisi dengan dokter.
Kalau tidak ya memberikan hadiah berbagai macam. Ada pula dokter
kontrakan dan macam-macam lagi istilahnya menurut laporan yang
masuk dari detailer kami," cerita Siddharta dari pabrik farmasi
Dumex.
Kalangan dokter ada juga yang sadar bahwa mereka sedang
diperangkap agar melanggar etik, serta merta menolak umpan dari
perusahaan tadi. "Saya pernah ditawari sekian persen, tapi saya
tolak," kata Utoyo Sukaton. "Saya juga menolak," sebut dr Kabat
ahli penyakit paru-paru dari Surabaya. "Saya tak pernah
menerimanya," sahut dr Iman Hilman dari Bandung.
Sebenarnya pelanggaran terang-terangan terhadap kode etik banyak
terjadi (lihat box). Tapi didiamkan begitu saja, mungkin karena
khalayak ramai merasa tidak terkena langsung. Barangkali juga
karena masalah pelanggaran etik tidak serta merta mendapat
ganjaran hukuman. Atau karena organisasi ikatan dokter belum
berkuku dan tak ada waktu menegur. Sehingga
pelanggaran-pelanggaran berjalan terus dan terasa sebagai hal
yang akhirnya lumrah adanya.
Begitu pula pemerintah kelihatannya seperti lalai ketika
misalnya memberikan izin untuk klinik-klinik spesialis. Lihatlah
di Pusat Perdagangan Duta Merlin Jakarta yang penuh sesak itu
berdiri sebuah klinik spesialis dengan papan nama yang bagaikan
mau bersaing dengan reklame salon-salon kecantikan -- satu hal
yang juga tak dibenarkan kode etik. Juga ketetapan tarif dokter
seperti diucapkan Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta pertengahan
bulan Juli. Yaitu Rp 3000 sebagai tarif tertinggi dokter umum
dan Rp 6000 untuk dokter spesialis. Padahal masih banyak pasien
yang bisa mendapat pertolongan hanya dengan Rp 750 dari seorang
dokter umum.
Sulit untuk menyebutkan bahwa ketetapan itu tidak akan
merangsang bertambah mahalnya biaya perawatan kesehatan. Padahal
menurut Ketua Majelis Kehormatan Etika Kedokteran, Prof dr
Bahder Djohan, "tarif seorang dokter itu semustinya mulai dari
nol sampai tak terhingga." Artinya sangat tergantung pada
kemampuan keuangan si pasien. "Kalau perlu dibebaskan samasekali
dari ongkos," katanya lagi. Sementara Majalah Kedokteran
Indonesia, terbitan 4 April 1966 mengusulkan supaya imbalan
dokter umum disamakan dengan harga 6 atau 7 liter beras terbaik.
Sedangkan untuk spesialis dua kali dari jumlah itu.
Pelanggaran-pelanggaran etik oleh sementara dokter memang diakui
oleh pimpinan mereka dalam induk organisasi IDI. "Pelanggaran
etik itu mungkin disebabkan telah lupanya dokter kepada sumpah
Hipokrates yang mereka ucapkan. Mungkin juga didorong oleh
keinginan untuk cari kekayaan," kata Utoyo Sukaton. Tapi kalau
dilihat masyarakat secara keseluruhan, tambah Sukaton, bukan
dokter saja yang telah melakukan pelanggaran. "Kebobrokan moral
memang merajalela di seluruh lapisan," tuturnya pula, tapi
karena dokter lebih dekat dengan jiwa manusia, ia dapat kritik
yang lebih terbuka."
Menteri Kesehatan Suwardjono Surjaningrat menilai
pelanggaran-pelanggaran etik kedokteran, terutama yang
menyangkut faktor-faktor komersil sebagai "akibat sampingan dari
kemauan ekonomi yang dicapai sekarang." Sedangkan dr Bahder
Djohan menanggapi kemerosotan martabat dokter sekarang ini
memang tak terelakkan. "Demoralisasi terjadi di mana-mana.
Mengapa tidak pada dokter kita?!" katanya. Sementara dokter
semuda Marulam M Panggabean, lulusan UI tahun 1974 menganggap
musykil menghindari dokter dari pelanggaran etik tanpa
memperbaiki sikap masyarakat lebih dulu. "Dokter itu manusia
biasa, yang masyarakat kita. Mereka yang menggoda dokter. Kalau
dokter tak punya mobil mereka tanya kok dokter tak punya
mobil," celotehnya.
Sikap masyarakat serupa itu sedikit banyak memberi andil
kenaikan pasaran tarif dokter. Sewa sebuah ruangan misalnya
tiba-tiba menjadi seharga sewa atau kontrak sebuah rumah kalau
si empunya tahu yang bakal menyewa adalah dokter. Untuk memburu
sewa itu tentu dokter tadi akan membalaskannya kembali kepada
masyarakat.
Kematangan sikap masyarakat terhadap profesi dokter mungkin
membutuhkan waktu panjang. Mengapa pihak IDI sendiri tidak
berusaha mengambil langkah mengembalikan nama baik anggotanya?
"IDI hanya bisa menegur mereka secara edukatif saja, sebagai
sesama pencari nafkah. Yang bisa memberikan sanksi hanya
Depkes," jawab Utoyo.
Menteri Kesehatan yang nampaknya banyak melakukan pembicaraan
terbuka dengan petugas-petugas kesehatan memang sudah menetapkan
niatnya untuk memuliakan kembali martabat dokter. Kita harus
menyampaikan penghormatan kita kepada dokter-dokter terdahulu.
Yaitu kepada dokter Sarwono, Slamet Iman Santoso dan Bahder
Djoan, orang yang kita kenal tak pernah membuat cacad dalam
hidupnya sebagai dokter," katanya.
Ketika meresmikan Musium Kesehatan di Jalan Abdurachman Saleh
tanggal 23 Juli, Suwardjono menyebutkan bahwa Majelis Kehormatan
Etika Kedokteran memang kurang efektif. Dan ia ingin melihat
badan itu digiatkan kembali dengan tenaga-tenaga yang dinamis.
"Saya memerlukan tenaga-tenaga muda," katanya kepada TEMPO. Ia
ingin agar tugas badan tersebut "memprogramkan pengawasan kode
etik. Dan terus-menerus mengawasi serta membimbing terlaksananya
kode etik."
Kemudian Menteri Kesehatan itu juga berjanji akan mengaktifkan
kembali dewan kehormatan itu dengan menumbuhkan kerjasama dengan
kepala-kepala kantor Perwakilan Departemen Kesehatan. "Dewan
harus menegur dokter-dokter yang melakukan pelanggaran. Kalau
sampai tiga kali masih membangkang juga, segera laporkan kepada
kepala kantor perwakilan Depkes. Kalau sampai di sini
pelanggaran masih berjalan terus, Departemen Kesehatan yang
akhirnya akan mencabut izin dokter yang bersangkutan," urainya.
Namun dengan ketetapan-ketetapan yang bakal muncul dari Menteri
Kesehatan nampaknya tidak hanya menyangkut penindakan terhadap
dokter yang melanggar etik. Tapi juga sekaligus untuk membela
dokter yang martabat dan kemuliaan profesinya terancam. "Kita
harus juga membela kolega-kolega kita yang dirugikan oleh sikap
masyarakat. Seperti bagaimana melindungi dokter yang dipaksa
dengan todongan untuk memberikan narkotik."
Karena itulah ia menyambut hangat lahirnya Biro Konsultasi IDI
Jakarta, di Jalan Abdurachman Saleh 26 Jakarta. Karena katanya
"ini merupakan tempat untuk membicarakan masalah yang dihadapi
dokter maupun masyarakat umum. Saya harapkan biro konsultasi
semacam ini bisa diikuti kota lain, karena ia amat diharapkan
dalam menjaga jangan sampai pelanggaran-pelanggaran di bidang
pelayanan kesehatan berkepanjangan."
Biro Konsultasl tersebut diselenggarakan IDI sebagai sarana
untuk melayani masyarakat dalam soal-soal yang berkatan dengan
pelayanan kesehatan atau hubungan antara pasien dan dokter. Ia
bukan poliklinik atau balai pengobatan. Tapi hanya sekedar wadah
untuk memberikan penjelasan atau tempat mencari penyelesaian
persoalan yang mungkin terJadi antara masyarakat dan dokternya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini