Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Melestarikan Rajah Purba

Tato tradisional Indonesia masuk jajaran tato tua di dunia. Ada sejumput kesadaran melestarikan pola dan prosesnya.

12 April 2010 | 00.00 WIB

Melestarikan Rajah Purba
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Aroma dupa lamat-lamat menyambut di pintu masuk kayu studio tato Durga di kawasan Cikini, Jakarta. Keberadaannya sama sekali tak menco­lok, terselip di antara kafe-kafe trendi di sana. Penandanya hanya pintu kayu berhias gambar tokoh pewayangan Dewi Durga setengah badan, di atas kelopak bunga. Anak tangga kayu mengantar ke ruang praktek artis tato Aman Durga, 37 tahun, di lantai dua. Berbagai motif tato tradisional menjadi penghias dinding di sisi kiri dan kanan, dari bawah sampai atas.

Si pemilik juga sangat sesuai dengan aura tempatnya berkarya. Laki-laki kurus dengan kepala plontos di sisi kiri dan kanan, lalu gondrong—hingga menjurai ke bahu pada bagian tengah kepala, serta berbagai motif tato terpatri hampir di sekujur tubuh. Yang paling khas adalah tato pada wajahnya. Dia punya spesialisasi langka: rajah tubuh dengan motif tradisional (custom tattoo) dan teknik nonmodern. Prioritasnya melayani permintaan tato tradisional yang punya akar di berbagai daerah Indonesia. ”Kadang klien yang minta tato motif umum saya tolak,” katanya.

Karya tato yang dihasilkan Durga dipengaruhi elemen-elemen visual serta konsep dan nilai berbagai budaya Nusantara. Wujudnya adalah tato dengan motif dan ornamen dekoratif tradisional, seperti dewa-dewi, karakter do­ngeng atau legenda, juga berbagai motif tribal dengan garis-garis yang khas.

Durga memang memilih jalur tato motif tradisional yang nyaris punah, seperti dari daerah Papua serta Kepulauan Lesser Sunda (Nusa Tenggara), menca­kup Sumba, Pulau Rote, Flores, dan sekitarnya. Juga dari daerah Sulawesi, Nias, Kalimantan, dan Sumatera.

Yang paling dia kuasai adalah motif asli dari Kepulauan Mentawai, yang tercatat memiliki jejak paling purba di Indonesia, bahkan dunia. Untuk itu, secara berkala dia berkunjung dan tinggal minimal tiga minggu di pedalam­an Siberut, Mentawai. Di sana dia hidup bersama dengan rakyat pedalam­an, belajar kepada dukun-dukun adat Mentawai (Sikerei), sekaligus Sipatiti sebutan penato Mentawai. ”Seperti kerja arkeolog, mengusik yang terpendam.”

Tak hanya motif, Durga juga mempelajari dan menerapkan teknik tato tradisional yang hampir punah. Teknik yang dia terapkan adalah seperti yang dilakukan di Mentawai, yaitu menggunakan dua tongkat kayu pendek yang salah satunya dipasangi jarum. Durga mengetuk-ngetuk satu kayu pada satu kayu lainnya yang berjarum—teknik ini disebut hand tapping. Pada kayu yang berjarum itulah dimasukkan tinta yang akan menembus ke dalam lapisan kulit dermis, lapisan kulit kedua di bawah epidermis. Proses ini dikerjakan bersama seorang asisten, skin stretcher, yang bertugas menarik kulit si klien hingga cukup terbentang. ”Yang bisa hand tapping sekarang bisa dihitung dengan jari,” katanya. Prosesnya pun bisa minimal dua kali lebih lama ketimbang dengan alat modern.

Bukan sebentar Durga menekuni profesi penato. Sudah 10 tahun laki-laki yang semula bekerja sebagai desainer di Amerika Serikat ini menjadi se­niman rajah. Tapi baru dua tahun ini dia berfokus pada tato tradisional. Alasannya terdengar mulia. ”Tak ada yang ngurus, takut punah,” kata Durga.

Di luar aspek pelestarian, Durga optimistis tato tradisional punya pangsa pasar tersendiri. ”Banyak kok yang mengerti,” katanya. Segmen tato tradisional itu jelas bukan remaja yang menginginkan tato centil, selebritas, atau yang menginginkan tato seksi, melainkan dari kalangan tertentu, seperti akademisi, pelaku seni, peneliti, praktisi media, atau pekerja film.

Cheni Nugroho, 32 tahun, misalnya, tampak bersemangat saat datang ke studio Durga. ”Saya akan pasang tato memanjang dari punggung belakang ke depan,” katanya. Desain yang disepa­kati adalah selempang ornamen batik dengan kombinasi tiga obyek grafis simbol nama ketiga anaknya. Awalnya dia ingin membuat tato Candi Prambanan di tubuhnya, tapi batal karena terlalu besar ukurannya.

Ketertarikan Cheni pada tato motif tradisional tak lepas dari latar belakangnya yang bergelut dengan seni tradisional sejak kecil. ”Saya ingin ada sim­bol tradisi melekat di tubuh,” katanya.

Tak hanya oleh orang lokal, motif tato tradisional pun diminati orang asing. Hasil lawatan Durga ke Sydney, Australia, selama sembilan hari pertengahan Maret lalu menunjukkan hal itu. Dia mengikuti konvensi tato selama empat hari, dan setiap hari melayani permintaan rajah. ”Banyak bule yang suka motif tradisional, bahkan ada yang minta dengan teknik tradisional,” katanya. Dan yang juga menarik, dengan teknik hand tapping honornya lebih besar.

Banyak orang asing memang terpikat oleh eksotisme tato tradisional, hingga rela mencari langsung ke sumbernya. Contohnya Anthony Kiedis, vokalis Red Hot Chili Peppers, yang jadi salah satu ikon global selebritas bertato. Demi mencari motif tribal Dayak dan merasakan teknik tradisionalnya, awal 1990 dia berburu ke pedalaman Kalimantan, tempat Rumah Panjang Dayak Iban.

Tato tradisional Indonesia memang layak dihargai, karena seni dekorasi tubuh di sini punya sejarah panjang. Pada sebagian suku, tato lekat dengan kehidupan sehari-hari. Budaya tato di Indonesia yang tertua ada di Mentawai. Ady Rosa, peneliti tato Indonesia dari Universitas Negeri Padang, berpendapat tato Mentawai termasuk yang tertua di dunia.

Dari penelusurannya, tato mulai dikenal sejak orang Mentawai, yang merupakan bangsa Proto Melayu dari daratan Asia, datang ke pantai barat Sumatera, di zaman Logam, 1500-500 sebelum Masehi. ”Bukan hanya tato Mesir yang tertua,” katanya. Sejauh ini anggapan tato tertua ada pada sebuah mumi di Mesir.

Di Mentawai, tato di sana disebut titi punya beberapa fungsi. Tato bisa menjadi tanda pengenal wilayah dan ke­sukuan, semacam kartu tanda pendu­duk. Biasanya ini tato utama. Fungsi lain adalah sebagai simbol status sosial dan profesi. Tato Sikerei berbeda dengan tato pemburu, misalnya. Sikerei diketahui dari tato bintang sibalu-balu di badannya. Ahli berburu dikenal lewat gambar binatang tangkapannya, seper­ti babi, rusa, kera, burung, atau buaya. Tato Mentawai juga berfungsi sebagai simbol keseimbangan alam. Untuk itu, benda alam seperti batu, hewan, dan tumbuhan dirajahkan pada tubuh.

Menurut Ady, sedikitnya ada 160 motif tato di Siberut. Setiap orang Mentawai, baik laki-laki maupun perempuan, bisa punya belasan tato, meski sekarang budaya itu memudar.

Di daerah lain, seperti Dayak Iban dan Dayak Kayan, tato merupakan wujud penghormatan kepada leluhur dan penguasa alam, sekaligus untuk menangkal roh jahat, penyakit, atau roh kematian. Seiring dengan kosmologi Dayak yang membagi alam menjadi atas, tengah, dan bawah, simbol tato pun berbeda. Simbol kosmos atas terlihat pada motif tato burung enggang, bulan, dan matahari. Dunia tengah, tempat hidup manusia, disimbolkan dengan pohon kehidupan. Ular naga adalah motif yang merepresentasikan dunia bawah.

Jejak tato tradisional yang makin pudar itulah yang menghantui Durga. Dia pun bertekad melestarikannya. ”Ini proyek seumur hidup,” katanya. Setidaknya, penelusuran atas tato tradisi itu menjadi dokumentasi dan referensi kekayaan budaya. ”Minimal ada catatannya.” Tidak hanya tertulis, tapi juga tergambar di tubuh-tubuh.

Harun Mahbub, Febrianti (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus