Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kitab suci itu hampir ditempelkan Tartuff ke belahan dada Nyonya Elmire. Wajah orang saleh itu terlihat kurang ajar. Mata kirinya yang picek membelalak. Dan kita mendengar bunyi obo untuk melukiskan degup nafsunya.
Itulah cuplikan bagaimana Cappella Amadeus String Chamber Orchestra dan pianis Adelaide Simbolon bersama konduktor Pierre Oser mengiringi film bisu Jerman, Tartuff. Film tahun 1925 karya Friedrich Wilhelm Murnau itu bisa disebut salah satu tonggak film bisu.
Bukan pertama kali publik Jakarta menikmati film bisu. Di Gedung Usmar Ismail pada 1999 pernah Aljoscha Zimmerman, pianis asal Muenchen, mengiringi film Metropolis karya sutradara ekspresionis Jerman, Fritz Lang. Pada 2008, di Gedung Kesenian Jakarta, Pierre Oser sendiri memimpin Hanoi Philharmonic Orchestra, mengiringi karya Fritz Lang lain, Der Mude Tod. Sesudah itu, 2009, bersama pianis Adelaide Simbolon, ia mementaskan Battleship Potemkin karya Sergei Eisenstein.
Tentu pendekatan musiknya kali ini berbeda dengan yang sudah-sudah. Tartuff adalah kisah jenaka. Satire yang menyindir kemunafikan kaum agamawan. Aslinya ini lakon dramawan Prancis, Moliere, pada 1664. Naskah Moliere kala itu ditentang oleh Gereja Katolik Roma. Uskup Agung Paris mengeluarkan dekrit siapa pun yang memainkan, menonton, bahkan membaca naskah itu tidak diakui sebagai anggota jemaah.
Diadaptasi oleh penulis Carl Mayer pada 1924 menjadi film, pada zamannya tergolong sangat eksperimental karena menceritakan film dalam film. Ini kisah seorang perawat yang berusaha menipu tuannya agar menurunkan warisan ke dirinya. Sang cucu mengingatkan kakeknya dengan menyamar tukang film dan memutar film tentang seorang saleh penipu.
Malam itu Pierre menggunakan komposisi Giuseppe Becce untuk mengiringi Tartuff. ”Musik Giuseppe Becce membuat kombinasi antara barok, klasik, dan modern,” kata dirigen asal Muenchen itu. Pusat eksplorasi musik adalah hubungan segitiga Tartuff dan suami-istri Orgon dan Elmire. Tartuff adalah guru rohani Orgon yang memeras Orgon. Orgon, begitu melayani sang spiritualis, melupakan istrinya.
”Solo pianonya sedikit,” kata Adelaide Simbolon. Itu berbeda saat Adelaide mengiringi Battleship Potemkin, yang bercerita tentang pembantaian massal di Odessa. Untuk peristiwa berdarah di pelabuhan Odessa, memang dominasi piano lebih diperlukan. Dan kini trombon, obo, flute, klarinet digunakan untuk melukiskan ekspresi, gerak-gerik, dan mimik Tartuff.
”Saya telah melihat film ini 400 kali,” kata Pierre. Ia hafal segala detail emosi, ekspresi, gerakan Tartuff . Pada 1995 ia pernah mementaskan film ini dengan iringan ensambel kecil. Hanya satu biola, satu viola, satu cello, dan seterusnya. ”Sekarang komposisi ini dimainkan dengan konsep yang lebih besar. Awalnya saya kira akan susah, tapi ternyata Cappella Amadeus mampu melakukan,” kata Pierre.
Memang, Amadeus Orchestra yang musisinya mayoritas remaja pimpinan Grace Sudargo itu tak mengecewakan. Padahal mereka cuma enam kali latihan. Mereka mampu menjaga tempo dari awal sampai akhir.
Tengoklah bagaimana mereka mampu menghidupkan acting Werner Krauss, yang menjadi Tuan Orgon, membersihkan kamar, menghidangkan makanan, sampai meninabobokan Tartuff di ayunan. Bagaimana musik mampu menambah permainan karakter Emil Janning memerankan Tartuff yang selalu berjalan sok khusyuk tapi mengendap-endap penuh nafsu pada malam hari.
Atau bagaimana musik memberikan bobot saat adegan Nyonya Elmire (Lil Dagover) menggoda Tartuff untuk membuktikan kepada suaminya bahwa ”sang nabi” bejat. ”Dosakah mencintai Tuan, orang suci?” katanya. Dan si agamawan mendengus, sembari menenggak anggur. ”Barang siapa berdosa diam-diam, tidak berdosa,” jawabnya.
Kita tak mendengar musik secara verbal. Dari awal sampai akhir saat Tartuff mondar-mandir sembari membaca kitab suci kita tak mendengar suara musik berbau lagu rohani gereja, lonceng kapel, atau kor.
Tapi penonton tergelak melihat kemunafikan Tartuff. Malam itu, penonton mungkin ingat sampai kini masih ada tokoh spiritual seperti Tartuff—yang dilaporkan muridnya karena persoalan pelecehan seksual.
Seno Joko Suyono, Ismi Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo