Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

<font color=#CC0000>Tato</font> Menolak Mati

Sudah cukup lama tato menjadi bagian dari gaya hidup orang kota, terutama sejak para selebritas dalam dan luar negeri terkena demam seni tubuh ini. Namun baru kali ini acara tato digelar seperti festival, secara berurutan. Di Yogyakarta, Bali, Surabaya, hingga kota kecil Blitar di Jawa Timur. Ini membuktikan seniman tato juga bercokol di mana-mana. Kemampuan mereka tinggi, bahkan ada yang diakui di mancanegara. Rajah tubuh ini sudah jauh dari persepsi negatif dan kriminal.

12 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemuda itu menelungkup pasrah. Punggung telanjangnya berubah menjadi kanvas. Jarum dari mesin tato berpe­ran sebagai ”kuas” yang merajah permukaan kulit. Dua seniman tato bersama berkarya di permukaan tubuhnya, menyisakan desis mesin tato dan jejak grafis. Di area yang sama, di ruang dengan demarkasi pita merah, terlihat pemandangan serupa. Dua se­niman tato dan satu orang klien. Mereka ditato di keremangan ruang Klub Liquid, Yogyakarta.

Itulah secuil pemandangan Tattoo Show 2010 di Yogyakarta, pertengahan Februari lalu. Atraksi itu diberi nama Double Trouble. ”Kami tampilkan yang berbeda,” kata Athong Sapta Rahardja, 31 tahun, penanggung jawab Java Tattoo Club Indonesia, penyelenggara acara. ”Umumnya satu tubuh ditato satu orang.” Tapi dalam pertunjukan ini satu tubuh ditato dua penato.

Selain atraksi, digelar kontes tato dengan 10 kategori, yaitu oriental, tribal, realis, new school, old school, back piece, sleeve, flora, fauna, dan religi. Ada juga permainan tato lucu (tattoo fun games) seperti penampilan tato wajah, tato nama, tato sekujur tubuh atau best full body, tato macan (seiring dengan Tahun Macan), tato hanacaraka, juga tato rock ‘n roll.

Belum sebulan berselang, pertunjukan tato kembali digelar. Kali ini di Bali, tepatnya di Double D Sport Bar, Kuta. Atraksinya tak kalah ekstrem. Sementara sebelumnya dua seniman, kini empat seniman tato merajah satu tubuh. Seiring dengan suara musik yang mereda, empat lukisan terpahat di punggung dan dua kaki pun kelar. Inilah salah satu acara dalam kontes tato gaya Bali, gaya bebas, dan mewarnai.

Pesta tato di Bali ini bersamaan dengan peluncuran Magic Ink, majalah khusus tato pertama di Indonesia. ”Untuk mewadahi interaksi antarseniman, konsumen, dan penggemar tato,” kata Bagus Ferry, Pemimpin Redaksi Magic Ink.

Tak berselang lama setelah acara di Bali, kontes tato kembali dihelat di Blitar, Jawa Timur, pertengahan April lalu. Blitar Tattoo Fiesta, begitu tajuknya. Selanjutnya kembali ke Bali, bakal ada pesta yang lebih seru. Awal tahun ini, juga ada kontes tato di Mangga Dua, Jakarta.

Tato di Indonesia memang tidak lagi terbatas pada interaksi antara seniman tato dan klien di ruang praktek tato. Seni tubuh ini telah keluar ke area publik melalui perayaan ala festival di berbagai kota. Kreativitas pun berkembang, meski masih ada tekanan dan ancaman. Seperti yang terjadi di Bandung. ”Sulit menggelar acara tato besar dalam empat tahun terakhir. Ada ancaman akan dibubarkan,” kata Ebi, seniman tato Ebi Studio, menyebut organisasi massa dengan bendera agama yang selalu mengancam bila ada acara tato di Bandung.

Menurut pengamat sosial dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Hatib Abdul Kadir, tato di Indonesia saat ini mencapai tahap yang makin terbuka. Bergerak dari tren fashion masyarakat perkotaan, meski masih dilakukan di tempat tertutup ruang praktek artis tato—menjadi perayaan yang terbuka dan massal. Fenomena ini, menurut dia, merupakan pergeseran dari fase kriminalisasi, ketika orang bertato identik dengan penjahat. ”Ini perayaan apolitisasi tato, kontrol dari negara dan masyarakat melonggar.”

Dari penelusuran Hatib, seperti dituangkan dalam bukunya, Tato (2006), peminggiran tato terjadi sejak prakemerdekaan. Ketika itu tato lekat dengan tradisi terdesak. Tatkala Jepang menguasai Bali, penjahat, pembunuh, dan perampok ditandai dengan tato gambar bulan-bintang, rantai, kapak, sampai tanda nomor tahanan.

Proses itu dilanjutkan Orde Baru di awal berkuasa pada 1970-an. Tato dianggap bertentangan dengan agama mayoritas dan kerap diidentikkan dengan PKI atau kriminal. Orang bertato terancam ketika korban ”petrus” (pe­nembakan misterius) yang rata-rata bertato. Pada masa itu, orang bertato tak bisa jadi pegawai negeri atau tentara.

Era itu sudah lewat. Sekarang pesta tato diselenggarakan di mana-mana. ”Batas kriminal dan seni sudah kabur,” kata Hatib. Tato bukan hanya kriminal, tapi jadi media perlawanan, bisa juga menjadi bagian dari budaya pop, dan karya seni. ”Karya seni yang unik, karena bisa dibawa ke mana saja oleh pemiliknya.”

Komunitas tato makin menggeliat.­ Masyarakat Bertattoo, yang disingkat­ MasBerto, misalnya, selama dua tahun­ ini berkampanye melalui situs jejaring sosial, dan sudah mengumpulkan 6.000 anggota. Moto kelompok ini adalah ”Memasyarakatkan tato, mentatokan Masyarakat”. ”Keanggotaannya cair,” kata Rinaldo, 32 tahun, perintis MasBerto.

Istilah MasBerto sebenarnya jauh-jauh hari sudah umum digunakan sebagai sebutan orang bertato. ”Tidak ada patennya,” kata Rinaldo. Aji, 27 tahun, anggota MasBerto, bercerita, saat pertunjukan musik di Bandung pada 2000-an, istilah MasBerto sudah jadi seruan. ”Yang MasBerto copot kaus. Mereka pun telanjang dada memamerkan tato.”

Di Jakarta, ada klub malam bernama MasBerto di dekat Stasiun Dukuh Atas, tempat berkumpul orang bertato. MasBerto di daerah juga bermuncul­an. Komunitas tato dengan nama lain pun menjamur seperti Indonesia Subculture, Indonesian Professional Tattoo Association (IPTA), Bandung Tattoo Community, Java Tattoo, Survive, Indonesian Tattoo Foundation, dan Indonesian Tattoo Tribes. ”Pesatnya sejak 2000-an,” kata Rinaldo.

Yusepthia Soewardy, 38 tahun, seni­man tato yang dikenal dengan nama Kent, mengklaim pelanggannya mencapai 40 ribu orang. Latar belakangnya beragam, dari artis sampai pejabat, juga orang kebanyakan. Dulu 90 persen peminat tato adalah lelaki yang ingin tampil jagoan, sekarang lebih banyak perempuan. ”Tato jadi bagian dari fashion, simbol fashion kan perempuan,” kata pemilik sekaligus seniman Kent Tattoo Studio Bandung itu.

Perkembangan pasar diikuti dengan perkembangan motif tato. Selepas 2000, motif old school seperti gambar rajawali, tengkorak, pisau bersilang, banyak ditinggalkan. Sebagian pemilik­nya minta diperbarui. ”Bisa dicover up atau touch up dengan gaya yang lebih baru,” tutur Ebi. Jika gambarnya rumit, ditutup dengan gambar lain atau dikembangkan menjadi motif lain jika tatonya kecil.

Motif yang berkembang luar biasa ragamnya dalam satu dasawarsa ini. Awalnya yang menjadi tren adalah motif tribal. Lalu disusul dengan new school yang lebih halus dan ringan dengan motif nama, tiga dimensi, oriental, motif mesin (biomachine) dengan ke­san kulit sobek-sobek, sampai tato fosfor yang menyala saat gelap. Sedangkan Rusdy Icon dari Black Jack Tattoo Studio Jakarta belakangan sering menerima tato bertema religius, seperti gambar salib, wajah Yesus atau Bunda Maria. ”Motif berkembang dengan kreasi sesuai permintaan,” kata Wakil Ketua Indonesia Subculture itu. Namun, menurut I Made Alit Surabrata, 47 tahun, pemilik Alit Tatto di Denpasar, tren tato sebenarnya berputar. ”Tren bolak-balik saja,” kata Alit, yang sudah menggeluti tato selama 25 tahun.

Selain motif, perkembangan positif dari tato adalah menguatnya kesadar­an standar kesehatan. Proses yang memungkinkan adanya persentuhan dengan bagian dalam kulit dan darah itu rawan penularan penyakit, seperti hepatitis. ”Tato itu unsur kesehatannya 60 persen dan seninya 40 persen,” kata Kent.

Tusukan jarum tato, misalnya, hanya sampai lapisan dermis kulit, beberapa mikron dari kulit luar (epidermis) dan di atas lapisan akar rambut di kulit, sehingga tidak mengganggu jaringan tubuh. Alat, jarum, dan tinta harus aman, biasanya didatangkan dari negara yang memberikan pengesahan kesehatan peralatan tato. Ruang tato di Kent Studio, misalnya, dirancang mirip ruang opera­si kecil yang bersih. Dokter dan pe­rawat dilibatkan untuk membantu tahap persiapan.

Aspek kesehatan juga melibatkan klien. Yang akan ditato dilarang mema­kai narkoba atau mengkonsumsi alkohol minimal delapan jam sebelumnya. ”Risikonya perdarahan dan warna jelek,” tutur Kent. Itu akibat kerja jantung yang labil dan sirkulasi darah kacau.

Standar kesehatan makin ketat jika seniman tato Indonesia beraksi di nega­ra maju. Dwi ”Duff” Anggoro, 30 tahun,­ misalnya, harus terus memperbarui sertifikat bebas penularan penyakit dari darah, untuk persiapan mengikuti konvensi tato di luar negeri. Ketua IPTA Febri, 40 tahun, menandaskan bahwa pemenuhan standar kesehatan menentukan daya saing seniman atau studio.

Harun Mahbub, Anwar Siswadi (Bandung), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta), Rofiqi Hasan, Wayan Agus (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus