Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Pejabat Negara atau Elite Pemerintah?

12 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agung Y. Achmad
  • Wartawan

    Penyebutan istilah pejabat negara terhadap kedudukan menteri dan pejabat setingkat menteri, gubernur, bupati atau wali kota, sebagaimana ketua DPR, MA, MK, MPR, memang hal lazim. Apa semua penggunaan istilah pejabat negara di atas sudah tepat?

    Simak kutipan artikel berita ini: ”Sri Mulyani menambahkan, bersama dengan Kementerian PAN pernah menyurvei seluruh pejabat nega­ra, antara lain, para menteri, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua MPR, gubernur, bupati/wali kota, Ketua Mah­kamah Agung, dan Ketua Mahkamah Konstitusi.” (kompas.com, Jumat, 29 Januari 2010, 16:15 WIB).

    Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun mendefinisikan peja­bat negara adalah orang yang memegang jabatan penting dalam pemerintah­an, seperti menteri, sekretaris negara. Dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, pada pasal 1, misalnya, disebutkan bahwa penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.

    Benar, ketua lembaga tinggi negara, atau presiden, adalah pejabat negara. Penetapan posisi posisi strategis tersebut ditempuh melalui mekanisme kenegaraan. Tetapi, apakah menteri atau pejabat setingkat menteri bisa kita sebut pejabat negara? Mengapa terhadap posisi posisi tersebut tidak digunakan istilah pejabat tinggi (petinggi) pemerintah atau elite pemerintah?

    Tampaknya terdapat problem kebahasaan, bahkan epistemologi, yang serius. Secara bahasa, pokok persoalannya terletak pada kata negara dan pemerintah, dua istilah yang memiliki cakupan makna yang berbeda. Pejabat negara, sebagaimana pejabat (tinggi) pemerintah, adalah sebuah frasa. Dalam hal ini berlaku pola pembentukan makna akibat gabungan dua kata atau lebih sehingga membentuk suatu makna gramatikal. Menganggap sama isti­lah pejabat negara dan pejabat (tinggi) pemerintah berarti mengabaikan makna masing masing kata yang me­nerangkan ”pejabat”pada dua frasa tersebut yakni negara dan pemerintah, yang secara leksikal jelas berbeda.

    Bila pengertian negara berkaitan dengan organisasi kekuasaan yang di dalamnya ada antara lain rakyat, konstitusi negara, dan wilayah. Makna pemerintah lebih dekat ke pengertian sistem tata kelola organisasi yang bernama negara itu.

    Di abad abad silam, makna negara dan pemerintah memang cenderung tak dibedakan. Apa lagi jika bukan lantaran sikap hegemonik sang pe­nguasa negara monarki konservatif. Misalnya, ucapan Raja Louis XIV dari Prancis yang sangat masyhur, L’Etat cest moi—negara adalah aku. Hal mirip itu pernah dilakukan raja di berbagai wilayah Nusantara. Pandangan seperti itu rawan menimbulkan penyalahgunaan wewenang oleh kepala pemerintahan dan jaringan birokrasi di bawah.

    Gagasan demokrasilah yang mengantarkan masyarakat dunia kepada pemahaman baru tentang definisi negara dan pemerintah. Mempertegas makna pemerintah, pada abad ke 18, Prancis, misalnya, meninggalkan bentuk monarki menjadi republik. Sedangkan Inggris mempertahankan bentuk kerajaan, namun berparlemen. Implementasi konsep trias politica pun diterapkan di banyak negara. Apa yang disebut pemerintah adalah eksekutif, yang hanya salah satu bagian dari negara yang juga melingkupi kekuasaan legislatif dan yudikatif.

    Negara Indonesia modern (sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945) berada dalam arus besar itu. Semestinya, Undang Undang Dasar 1945, yang juga menganut pembagian kekuasa­an, dijadikan sebagai instrumen terpenting untuk memaknai definisi negara dan pemerintah di negeri ini.

    Seorang menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden. Mereka bekerja dalam sistem birokrasi atau sebatas membantu presiden sebagai kepala pemerintahan. Di lingkungan eksekutif ini, semestinya ha­nya presiden dan wakil presiden yang berhak disebut sebagai pejabat negara. Kedua pejabat tinggi negara ini dipilih rakyat melalui mekanisme politik di level negara.

    Menyebut para menteri sebagai pejabat negara adalah hiperbolik dan bermuatan feodalistik, selain mengecilkan makna negara. Lebih tepat bila menteri atau jabatan eksekutif tertinggi di daerah disebut sebagai elite pemerintah (orang orang terbaik atau pilihan di lembaga pemerintahan). Mereka tidak satu level dengan pimpinan DPR, DPD, atau MPR, yang memiliki tanggung jawab dan wewenang mereka melingkupi wilayah negara serta meliputi semua bidang kepentingan warga negara. Sementara tugas dan wewe­nang menteri bersifat sektoral, atau sebatas pada wilayah administrasi masing masing bagi para kepala daerah.

    Jangan jangan, penyebutan pejabat negara terhadap kedudukan menteri atau kepala daerah dipengaruhi kesadaran linguistik ala era kerajaan konservatif di masa lalu. Fenomena makelar kasus (markus) di tubuh institusi pemerintah, sekadar mengajukan sebuah contoh, bisa jadi muncul sebagai akibat problem epistemologis tentang pemaknaan terhadap negara dan pemerintah. Bisa celaka bangsa ini.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus