Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SESEKALI Imelda Lumbantoruan mengelus perutnya yang membuncit di balik kaus putihnya. "Bahagia saya ketika tahu pertama kali positif," katanya, Kamis pekan lalu, di rumahnya di Jalan Cempaka Putih Tengah, Jakarta Pusat. Dalam perut perempuan 36 tahun itu sedang tumbuh jabang bayi berusia empat bulan, yang dia kandung melalui program bayi tabung.
Imelda baru berhasil mengandung pada percobaan keempat. Program bayi tabung yang dia ikuti bersama suaminya, Alexander Siagian, gagal dua kali saat dilakukan di Indonesia. Ketika itu mereka ditangani dokter Ivan S. Rini dari Klinik Morula IVF. Menduga mereka memiliki kelainan kromosom, dokter Ivan menyarankan keduanya melakukan pengujian kromosom di Alpha Fertility Centre pimpinan dokter Collin Lee di Selangor, Malaysia.
Berangkatlah mereka ke Selangor pada Mei tahun lalu. Biaya di Alpha Fertility Centre tidaklah murah. Imelda dan Alexander harus mengeluarkan uang sedikitnya 15 ribu ringgit atau sekitar Rp 53 juta untuk satu kali uji. Percobaan pertama di klinik canggih itu gagal. "Jelas kami kecewa," ujar Alexander, 39 tahun. Hasil tes memperlihatkan bahwa enam embrio mereka mengalami kelainan kromosom, sehingga tidak tertanam di rahim Imelda.
Tak putus asa, tiga bulan kemudian mereka mencoba lagi. Imelda diberi suntikan penguat sel telur. Kali ini mereka mendapat empat calon janin, tiga abnormal, satu memiliki kromosom lengkap. Embrio yang sempurna itu segera ditanam ke rahim Imelda.
Dua pekan kemudian, ujung test pack Imelda mengeluarkan dua garis biru. Imelda dan Alexander amat gembira. "Tapi masih deg-degan karena tanda biru yang kedua belum jelas," kata Imelda bercerita. Agar lebih pasti, mereka pergi ke dokter dan melakukan tes darah. Hasilnya positif, Imelda sungguh mengandung.
Teknologi diagnosis kromosom embrio di Alpha Fertility Centre disebut preimplantation genetic diagnosis (PGD). Ini sejenis uji genetika untuk mendeteksi kelainan kromosom sebelum penanaman embrio. PGD berbeda dengan preimplantation genetic screening (PGS). Yang terakhir juga merupakan teknik pemindaian embrio, tapi tidak untuk mencari kelainan tertentu pada kromosom.
Diagnosis PGD dan PGS membantu pasien mendapatkan embrio terbaik dengan meneliti kromosomnya. Kromosom adalah pembawa sifat genetik manusia, terdiri atas 46 pasang. "Ini vital sekali perannya. Kromosom mengatur kecerdasan, sistem darah, hingga bentuk organ," kata Frizar Irmansyah, dokter ahli kandungan di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu.
Malah, menurut Ivan, hampir 80 persen kegagalan bayi tabung disebabkan oleh kelainan pada kromosom embrio janin. Sisanya karena faktor ibu, seperti kondisi rahim ibu yang kurang sehat atau menderita endometriosis, atau menderita radang di rongga rahim.
Kalau kromosom abnormal, Ivan menjelaskan, embrio akan terseleksi secara alamiah dalam tiga fase. Dia bisa berhenti berkembang sejak awal, karena kelainan satu kromosom penting akan berujung pada kelainan kromosom lain. Ketika hal itu terjadi, meski sebenarnya sedang mengandung, si ibu tidak akan merasa hamil karena embrionya tidak menempel pada rahim.
Adapun jika embrio berhasil melekat ke rahim, fase berikutnya mungkin cuma akan bertahan selama tiga bulan. Setelah itu biasanya si ibu akan mengalami keguguran karena calon janin tidak berkembang. Namun, jika janin bisa bertahan, fase terakhir, dia akan lahir tapi tidak normal. Dia bisa saja menderita sindrom Down, sindrom Patau, atau sindrom Edwards.
"Adanya PGD memberi jawaban mengapa calon ibu mengalami kegagalan implantasi, hal yang tak terjelaskan dalam program bayi tabung biasa," kata Ivan, yang juga Direktur Pengembangan Produk dan Teknologi di PT Bunda Medik. Menurut dia, di Asia Tenggara, hanya klinik di Malaysia dan Thailand yang menyediakan mesin diagnosis kelainan kromosom embrio.
Teknik PGD sudah dikembangkan sejak hampir dua dekade lalu. Awalnya teknik ini diujikan terhadap kelinci oleh peneliti Amerika Serikat, Richard Gardner dan Robert Edwards, pada 1967. Pada permulaan 1990-an, teknik ini mulai diterapkan pada manusia dan berhasil.
Sebelum ada PGD, menurut Ivan, seleksi embrio untuk bayi tabung didasarkan pada morfologinya. Dokter akan melihat bentuk, jumlah sel, cangkang, dan tingkat fragmentasinya. Dari pengamatan tersebut, embrio diberi label berdasarkan kualitasnya, dari kualitas rendah hingga sangat bagus. Tapi tingkat keberhasilan metode ini rendah. "Embrio yang diberi label sangat bagus sekalipun kemampuan implantasinya cuma sekitar 40 persen," ujarnya. Artinya, meski embrio tampak normal sebenarnya bisa saja memiliki kelainan.
Dengan metode PGD, embrio-embrio yang memiliki kelainan disingkirkan. Hanya yang terbaik yang ditempelkan ke rahim ibu. Untuk melakukan diagnosis PGD, embrio pasien yang berusia tiga hari diambil. Ivan menjelaskan, dalam kurun tersebut embrio sudah menunjukkan bentuknya lebih jelas dan mampu bertahan hidup. Biasanya dalam satu-dua hari saja embrio yang tidak sehat sudah berguguran. Embrio yang terpilih akan dimasukkan ke pemindai di mesin PGD. "Hasilnya keluar dalam bentuk pita kromosom. Nanti langsung ketahuan kelainannya di nomor berapa," ujarnya.
Selain soal genetika, analisis ini bisa mengetahui jenis kelamin embrio. Meski demikian, informasi jenis kelamin hanya diberikan atas permintaan pasien. Lagi pula, dalam aturan bayi tabung, menurut Ivan, memilih gender janin hanya diperbolehkan untuk anak kedua.
"Tapi ada orang yang tidak setuju terhadap seleksi embrio," kata dokter Frizar, yang juga Ketua Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia cabang Jakarta. Kelompok ini menganggap embrio sebagai makhluk hidup karena sudah bernyawa. Membuang embrio yang tidak normal dengan demikian sama dengan membunuh.
Itu sebabnya, di berbagai negara, uji embrio dengan teknik PGD masih kontroversial. Di Inggris, misalnya, otoritas pengatur klinik kesuburan sudah membuat daftar kelainan kromosom yang boleh disingkirkan. Indonesia belum punya aturannya. Yang ada hanya aturan untuk bayi tabung.
Ivan berpendapat PGD merupakan metode yang bagus karena memberikan kesempatan kepada wanita untuk mengalami kehamilan yang lebih baik. Karena itu, menurut dia, tidak ada persoalan etika. Lagi pula, kata dia, "Masih ada faktor di luar pengetahuan manusia yang membuat perempuan bisa hamil atau tidak."
Perdebatan etik tersebut tidak sampai mengganggu Imelda dan Alexander, yang kini menunggu perkembangan janin mereka dengan gembira. Imelda bercerita, dari sesama pasien di Selangor dia mendengar bahwa metode PGD acap dipakai untuk memilih jenis kelamin. "Awalnya saya pikir kasusnya sama, ternyata banyak yang datang untuk mendapatkan anak berjenis kelamin tertentu," katanya.
Dianing Sari
Preimplantation Genetic Diagnosis
Sejenis uji genetika buat mendeteksi kelainan kromosom sebelum penanaman embrio. Pre-implantation genetic diagnosis (PDG) berbeda dengan preimplantation genetic screening. Yang terakhir juga merupakan teknik pemindaian embrio, tapi tidak untuk mencari kelainan tertentu pada kromosom.
1. Untuk melakukan diagnosis PGD, embrio pasien yang berusia tiga hari diambil.
2. Embrio yang terpilih akan dimasukkan ke pemindai di mesin PGD. Hasilnya keluar dalam bentuk pita kromosom dan langsung ketahuan kelainannya.
3. Embrio yang memiliki kelainan disingkirkan. Hanya yang terbaik yang ditempelkan ke rahim ibu.
4. Selain soal genetika, analisis ini bisa mengetahui jenis kelamin embrio. Meski demikian, informasi jenis kelamin hanya diberikan atas permintaan pasien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo