Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Kerbau Purba di Kali Oya

Fosil kerbau purba yang ditemukan di Kali Oya, Gunungkidul, bisa merekonstruksi daerah baru sebaran manusia purba di Jawa.

9 Februari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Susunan 33 batu hitam legam seukuran korek api itu akhirnya membentuk sebuah figur memanjang, seperti tulang paha hewan memamah biak. Tim Balai Arkeologi Yogyakarta lalu menyimpulkan: pemiliknya seekor kerbau purba yang diperkirakan hidup sejuta tahun silam.

Bambang Duhgita, 45 tahun, menemukan fosil itu ketika sedang mencari bahan batu akik di Kali Oya. Sungai selebar 15 meter ini hanya berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya di Dusun Ngringin, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul, Yogyakarta—sekitar 1,5 kilometer dari obyek wisata Gua Pindul.

Siang itu, 20 Desember 2014, saat menggali pasir di sungai berkedalaman 40 sentimeter, tangannya tak sengaja terantuk batu. "Awalnya saya kira hanya bahan batu akik lantaran warnanya yang hitam legam," ujarnya kepada Tempo, Sabtu dua pekan lalu. Tak sulit mengangkat batu tersebut karena berada di sebuah ceruk yang terlindung dari arus air. Ia pun membawa pulang batu hitam legam itu ke rumahnya. Di rumah, dengan mesin gerinda, Bambang memotong-motong batu tersebut menjadi 33 bahan dasar batu akik.

Pedagang batu akik itu pun mencari lagi bebatuan di lokasi yang sama.Sepanjang akhir Desember tahun lalu, ia kembali menemukan beberapa batu akik, yang ternyata merupakan fosil hewan purba, di Kali Oya.

Selain potongan tulang paha kerbau purba, enam spesimen fosil kerbau purba lain juga disimpan Bambang. Ada yang seukuran telapak kaki manusia dengan berat sekitar dua kilogram. Tulang yang sudah membatu dan berukuran besar itu merupakan tulang sendi, tanduk, dan telapak kaki. Dia menyimpan keenam fosil tersebut di sebuah etalase kaca 2 x 1 meter, bersanding dengan batu akik yang siap dijual.

Bambang baru tahu bahwa batu-batu yang disimpannya bukan batu biasa setelah melaporkan temuannya ke Balai Arkeologi Yogyakarta pada pertengahan Januari 2015. Seorang wartawan media lokal menyarankan dia melaporkan temuannya itu ke balai tersebut.

Tim peneliti dari Balai Arkeologi, Sofwan Noerwidi, memastikan batu hitam legam temuan Bambang itu sebagai tulang sendi paha, caput femuralis, dari seekor kerbau purba, keluarga Bovidae sp. "Sayangnya, saat dibawa ke sini, fosil sudah dipotong-potong," katanya saat ditemui di kantornya pada Ahad lalu.

Awalnya fosil yang telah dibagi menjadi 33 bagian itu sempat membuat tim kelimpungan untuk memperkirakan usia, spesies, dan ukuran kerbau. Ternyata fosil yang ditemukan Bambang belum semuanya dilaporkan. Sofwan sedikit terbantu mengidentifikasi spesiesnya setelah Tempo membawa foto-foto fosil yang belum dibawa ke Balai Arkeologi, seperti dua gigi prageraham (premolar) dan potongan kecil tanduk. "Informasi untuk mengetahui asal-usul makhluk paling lengkap dari kerangka," katanya.

Ditemui di tempat lain, Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta Siswato menambahkan bahwa tulang paha hanya bisa mengukur fisik. "Namun sulit untuk mengukur periode hidup makhluk hidup."

Menurut hasil analisis tim peneliti Balai Arkeologi, fosil kerbau purba yang ditemukan Bambang di Kali Oya berasal dari dua spesies, yakni spesies Bubalus palaeokerabau (kerbau purba) dan Bibos palaeosondaicus (banteng purba). Berdasarkan analisis gigi prageraham, tanduk, dan paha atas, Sofwan memperkirakan kedua jenis mamalia purba ini memiliki tinggi 1,5 meter lebih. Dengan begitu, ukurannya tak jauh berbeda dengan kerbau dan banteng modern.

Namun, karena diperkirakan hidup pada 1,6 juta tahun lalu atau pada zaman Paleolitikum, sang kerbau saat itu tak digunakan untuk membajak sawah ataupun sebagai alat transportasi. "Manusia purba saat itu belum mengenal moda transportasi dan belum mengelola lahan," ujar Sofyan.

Saat itu kerbau hanya hidup dan berkembang biak.Memang belum diketahui bagaimana kehidupan kerbau dan proses evolusinya. Yang jelas, kata Sofwan, pada zaman itu kerbau dan manusia sudah hidup berdampingan.

Zaman Paleolitikum, ia melanjutkan, bertepatan dengan masa hidup Pithecanthropus erectus—manusia purba tertua yang ditemukan di situs Sangiran, Jawa Tengah. Pithecanthropus kala itu masih hidup di alam liar dan mencari makan dari hasil berburu.

Berbeda dengan di Sangiran, kerangka Pithecanthropus belum pernah ditemukan di Kali Oya dan kisaran Gunungkidul. Selama ini di wilayah yang berjarak 30 kilometer dari Kota Yogyakarta itu baru ditemukan bukti-bukti adanya manusia purba jenis Homo sapiens—yang hidup sejak 15 ribu tahun lalu—berupa sarkofagus alias kubur batu.

Fakta tersebut tak membuat surut semangat Sofwan. Dia optimistis fosil kerbau ini bisa membuka pintu rekonstruksi daerah baru sebaran manusia purba di Jawa. Dengan penemuan spesimen Bubalus dan Bibos di Kali Oya, sebaran kerbau purba pun bertambah.

Selama hampir dua abad terakhir, fosil kerbau dan banteng purba hanya ditemukan di empat situs purbakala di Pulau Jawa: situs Ngandong di Solo dan situs Sangiran di Karanganyar, Jawa Tengah; serta situs Punung di Pacitan dan situs Trinil di Ngawi, Jawa Timur. Fosil kerbau di empat situs tersebut juga ditemukan di sekitar aliran sungai.

"Hal tersebut menandakan wilayah sungai merupakan daerah yang kaya akan fosil," kata Cecep Eka Permana, pakar arkeologi prasejarah dari Universitas Indonesia, saat ditemui di kantornya.Air memiliki arti tersendiri bagi kerbau dan banteng. "Mereka butuh berkubang untuk melepaskan panas tubuh dan menghindarkan diri dari serangga."

Menurut Cecep, keempat situs purbakala tersebut, plus situs Kali Oya, masih masuk wilayah karst yang sama. Kandungan kalsium yang tinggi dalam karst membuat fosil membatu sekaligusmembuatnya bertahan lama.

Wilayah karst juga berpotensi menyimpan alat batu yang biasa dipakai manusia purba. Bahkan juga memungkinkan ditemukannya fosil kerbau purba yang memiliki luka sayatan atau luka pukul pada tubuhnya. Itu berarti, pada suatu masa, kerbau pernah menjadi santapan manusia. "Sudah memenuhi konteks keberadaan manusia, tinggal dicari fosilnya saja," kata Cecep.

Wilayah sekitar sungai dan hamparan rumput, kata Cecep, merupakan habitat utama kerbau purba.Meski Kabupaten Gunungkidul di sisi selatan terkenal dengan wilayah paling kering se-Yogyakarta, sejumlah wilayah di sisi utara yang dilintasi Kali Oya termasuk kawasan subur nan hijau. Kondisi tumbuhan di wilayah ini tak begitu banyak berubah sejak zaman purba.

Kerbau tak cocok tinggal di dalam hutan lebat. Selain minim rumput, ada predator yang tinggal di dalam hutan. Di antaranya macan purba, Panthera tigris, yang fosilnya ditemukan di situs Trinil, Jawa Timur; dan Hyne brevirostris, hewan karnivora yang fosilnya pernah ditemukan di situs Kedung Brubus.

Fosil hewan buas purba semacam itu memang belum pernah ditemukan di situs Kali Oya. Namun Cecep tak membantah asumsi bahwa hewan pemakan daging itu merupakan ancaman tersendiri jika kerbau tinggal di dalam hutan.

Amri Mahbub, Pribadi Wicaksono (Gunungkidul)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus