Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mempersingkat jaringan obat

Hasil penelitian ditjen pengawas obat dan makanan mengemukakan, mata rantai penjualan yang berbelit akibatkan macetnya suplai obat ke masyarakat. idealnyaobat langsung dijual ke apotek dari pabrik obat.

25 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RANTAI distribusi obat sudah terlalu panjang dan terlalu kukuh. Kini dicari distributor andal. Sementara itu, apotek diperbanyak. Tujuannya: supaya harga obat bisa lebih murah. Sistem distribusi dan perizinan apotek yang akan diatur kembali bertanggung jawab atas penyebaran obat kepada masyarakat. Targetnya: volume obat yang beredar di masyarakat, secara umum bisa diperbesar. Hasil penelitian Ditjen POM menunjukkan bahwa sekarang ini suplai obat kepada masyarakat masih jauh di bawah permintaan. Sekalipun begitu, agaknya sektor produksi tidak serta-merta bisa disalahkan. Sejumlah pabrik obat malah menyatakan bahwa mereka tidak bisa berproduksi dengan kapasitas penuh. Pabrik obat Mereka bekerja hanya 50% dari kapasitasnya, sedangkan Ciba-Geigy, sekitar 40 %. Maka diduga, menciutnya suplai obat, mungkin karena sistem distribusinya kurang beres. Hambatan di sektor apotek mudah dilihat. Jumlahnya yang hanya 2.211 di seluruh Indonesia, memang terlalu sedikit. Ini pun terkonsentrasi di kota-kota besar. Sementara itu, kemacetan di sektor distribusi lebih terselubung dan lebih sulit dilacak penyebabnya. "Padahal rantai distribusi sangat mempengaruhi harga," kata Dr. Budi Santoso, farmakolog Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Peneliti masalah kesehatan masyarakat ini menunjuk rendahnya tingkat konsumsi obat nasional kita -- hanya US$ 1,94 per kapita per tahun (angka rata-rata negara berkembang US$ 3,3). Santoso berpendapat bahwa angka itu tidak ada sangkut pautnya dengan tingkat kesehatan masyarakat kita. Konsumsi obat di puskesmas, yang distribusi obatnya langsung ditangani pemerintah, ternyata bisa lebih tinggi. "Karena itu, angka konsumsi obat yang US$ 1,94, menurut saya, hanya bisa dikaitkan dengan jumlah peredaran obat." Maksudnya, mungkin, rendahnya konsumsi obat, lebih banyak diakibatkan oleh parahnya sistem distribusi. Benarkah? Dewasa ini terdapat 1.200 perusahaan penyalur obat dengan status distributor. Berdasarkan ketetapan Ditjen POM, pabrik obat diharuskan menjual obatnya melalui distributor -- mereka tidak diizinkan menjual sendiri produknya. Mengapa? Rantai distrubusi dalam perdagangan obat dibuat dengan tujuan untuk melindungi industri obat dalam negeri. Kebijaksanaan itu ditetapkan tahun 1971, ketika industri farmasi internasional (PMA) mulai membuka cabang industrinya di Indonesia. Departemen Kesehatan menetapkan: distribusi obat harus melalui pengusaha nasional, yang tergabung dalam Pedagang Besar Farmasi (asosiasi distributor). "Yang kami takutkan, jangan sampai industri farmasi kita dikuasai pihak asing," kata Drs. Sunarto, Dirjen POM saat itu, kepada Gunung Sarjono dari TEMPO. Namun ternyata bahwa niat melindungi industri dalam negeri ini membangun rantai perdagangan obat yang panjang. Harga obat kemudian menjadi tidak berpatutan lagi. Tahun 1977, menteri perdagangan -- ketika itu Radius Prawiro berusaha mematahkan rantai ini. Antara lain dengan instruksi mengurangi jumlah distributor. Permintaan izin usaha di bidang ini juga ditutup. Tapi rantai perdagangan obat yang terlanjur kukuh itu sulit ditaklukkan. Ditjen POM yang dipimpin oleh Dr. Midian Sirait, pengganti Sunarto, tidak berani mengurangi jumlah distributor, karena khawatir penyaluran obat akan macet total. Sebaliknya, jumlah distributor bertambah terus, dan rantai pun jadi semakin panjang. "Status pedagang besar farmasi ini juga menjadi semakin tidak jelas," kata Slamet Soesilo, Dirjen POM yang sekarang. Hasil evaluasi Ditjen POM tahun lalu menunjukkan, ada yang berstatus distributor tunggal, ada yang distributor, ada subdistributor, malah ada yang tidak jelas statusnya. "Tersebarnya juga tidak merata dan tidak seimbang dengan apoteknya," tambah Dirjen. "Kalau mau dilihat idealnya, kami memang berharap bisa menjual obat langsung ke apotek," kata Dr. Frans Thsai, direktur kebijaksanaan farmasi pabrik obat Ciba-Geigy. "Tapi sistim distribusi yang sekarang kclihatannya sudah melekat betul, produk pabrik harus ke distributor, lalu ke subdistributor, baru ke apotek." Thsai membenarkan, kalau rantai ini dipotong, biaya dalam penyaluran obat bisa dikurangi, dan teoretis harga obat bisa turun. "Tapi saya kira tidak mudah, karena rantai ini menyangkut ratusan perusahaan, di mana ada ribuan orang bekerja." Namun dalam tata niaga obat yang baru, Menkes bertekad untuk meneliti kembali semua status distributor. Persyaratan untuk menjadi penyalur obat akan diperketat. Status subdistributor pun akan ditertibkan. Yang diharapkan, tumbuhnya distributor yang mempunyai cabang-cabang di daerah, hingga pola distribusi bisa digariskan di bawah satu kebijaksanaan perusahaan. Di samping itu, pabrik obat diperbolehkan campur tangan dalam penyaluran obat. Selain menunjuk distributor tunggal -- yang kini sudah banyak dilakukan -- pabrik obat juga dianjurkan membuka usaha patungan dengan pedagangan farmasi untuk menyalurkan produknya. "Kami sudah menjalankan sistem distribusi seperti yang diharapkan peraturan baru itu," kata Koesdianto, manajer pemasaran Merck. Dalam menyalurkan sebagian besar produknya, Merck menunjuk distributor PD Sudarpo menjadi penyalur tunggal. Sudarpo, yang juga menyalurkan obat-obat produksi Organon, Meiji, dan MD Farma termasuk distributor yang bonafide. Perusahaan ini mempunyai 14 cabang -- tersebar di Indonesia . "Selama ini, obat produksi kami yang dipasarkan Sudarpo, lancar sampai ke apotek," kata Koesdianto. "Kalau jumlah apotek ditambah, tanpa kesulitan, kami bisa menaikan omset."Jis, Liston P. Siregar, Bambang Aji (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum