OBAT generik nyaris tidak berperan dalam pelayanan kesehatan di negeri ini. Perlu disesalkan, memang. Kalau saja obat tersebut populer di kalangan dokter maupun masyarakat, barangkali harga obat tidak akan melambung tinggi seperti yang terjadi selama ini. Soalnya obat generik yang murah akan lebih banyak dipakai ketimbang obat paten yang mahal, yang sampai sekarang menguasai pasar. Karena itu, dalam menyiasati tingginya harga obat, Menteri Kesehatan Dr. Adhyatma, M.P.H. tidak cuma menata kembali lalu lintas perdagangan obat. Ia juga berusaha memperbesar peran obat generik. Langkahnya yang pertama, memacu penggunaan obat murah ini di semua instansi kesehatan pemerintah. Tentu saja dengan tetap memperhatikan DOEN atau Daftar Obat Esensial Nasional, yang tidak semuanya obat generik. Dua pekan lalu keluar peraturan Menteri Kesehatan tentang kewajiban ini, yakni Permenkes 085/I/1989, bertanggal 28 Januari 1989. Apa sebenarnya obat generik? "Obat ini dipasarkan dengan nama umum," kata farmakolog terkemuka Prof. Iwan Darmansyah. Nama umum itu diberikan ketika obat itu ditemukan. Contohnya: obat panas asetosal dan antibiotik ampisilin. Tapi berbagai pabrik kemudian membuat varian obat asli ini -- kemudian disebut obat paten -- dengan, misalnya, menambahkan vitamin. Dari asetosal, muncul Aspirin atau Cafenol dari Ampisilin, dihasilkan Penbritin, Ampifen, dan Ultrapen. Mengapa obat generik lebih murah? "Harganya lebih rendah, karena hak paten obat generik pada umumnya sudah lewat masa berlakunya," jawab Iwan. Karena itu, produknya di pasar tidak lagi dibebani pembayaran hak paten. Hanya saja, obat generik jarang diresepkan dokter. Sebabnya mungkin saja para dokter. Sebabnya mungkin saja para dokter menerima komisi dari pabrik-pabrik obat, yang umumnya membuat abat paten. Namun, sejumlah farmakolog berdalih, obat generik umumnya mempunyai bioavilibility (daya obat) yang lebih rendah daripada obat paten. Sebuah obat paten, misalnya, bisa lebih cepat dan efektif diserap di dalam lambung daripada obat generik. Iwan Darmasyah membenarkan kemungkinan itu. Nanmun, ia tidak setuju kalau semua obat generik dianggap begitu. "Buruknya suatu obat, apakah obat generik atau obat paten, harus dilihat dari pabrik obatnya." Karena itu, yang terjadi malah kebalikannya: banyak obat paten yang ternyata lebih buruk dari generiknya. Pemimpin redaksi jurnal kedokteran Medika, dr. Kartono Mohamad, sependapat dengan Iwan. "Banyak obat yang memang buruk mutunya karena dibuat secara amatiran," katanya. Sekarang ini, misalnya, ada pengusaha real estate yang membuka pabrik obat sebagai kegiatan sampingan. Celakanya, menurut Kartono, pabrik-pabrik semacam ini justru yang paling berani mempromosisikan produknya, termasuk menyuap dan memberi komisi kepada para dokter. Di sisi lain, tutur Kartono, obat generik kalah karena tidak pernah dipromosikan. "Di beberapa negara maju, obat generik mampu bersaing karena promosinya yang ditunjang pemerintah sama gencarnya dengan promosi obat paten." Siasat ini diperhitungkan juga oleh Menteri Kesehatan. Di masa mendatang, pemerintah akan menurunkan rekomendasi bagi obat generik yang terjamin mutunya. Rekomendasi itu berupa pencantuman simbol khusus pada kemasan obat maupun obatnya. Di lingkungan instansi pemerintah, obat generik bukan cuma dipromosikan. Permenkes 085/I/1989 tegas menyebutkan obat generik wajib digunakan di semua rumah sakit pemerintah dan puskesmas. Kewajiban ini meliput beberapa sektor, seperti pembelian obat dalam partai besar oleh rumah sakit, juga penyediaan obat di apotek rumah sakit. Dan akhirnya, dokter rumah sakit juga menuliskan resep obat generik. Semua rumah sakit juga harus mengisi formularium (daftar pengadaan dan pemakaian obat) untuk kepentinganl pengecekan. Pelangaran dalam bentuk apa pun akan diberi sanksi disiplin. Masa transisi untuk melaksanakan peraturan ini hanya enam bulan. Cuma dalam kasus khusus dokter di rumah sakit pemerintah boleh memesan obat paten di apotek swasta. Ini pun dengan izin dari Komite Farmasi dan Terapi, yang harus dibentuk di setiap rumah sakit. Menurut Kartono, kebiasaan dokter menulis resep obat generik di rumah sakit pemerintah perlahan-lahan bisa menular ke praktek swasta. Seperti diketahui, karena terlalu banyaknya merk obat, dokter sering cuma mcegingat beberapa merk, ketika menulis resep. Biasanya, yang teringat adalah merk obat yang promosinya gencar. "Dengan adanya kebiasaan baru, promosi obat itu bisa tersaingi di memori dokter." Mengharuskan penggunaannya di sektor pemerintah bukan satu-satunya strategi untuk memacu obat generik. Dalam tata niaga obat yang baru, Menteri Adhyatma juga membuka sektor produksi obat generik, yang sebagian besar diproduksi dua BUMN: Kimia Farma dan Indofarma. Kini semua pabrik obat PMDN diperbolehkan berpacu membuat obat generik dan berlomba memasukkannya ke instansi pemerintah, yang menyerap hampir 25% obat yang beredar. Dengan sodokan dari dua arah, peredaran obat generik diharapkan akan lebih mampu meramaikan lalu lintas obat. Dan tentu, membetot harganya ke bawah.Jis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini