Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Agar industri segar bugar

Paket deregulasi Dep. kesehatan akan memperpendek rantai distribusi tata niaga obat. tujuannya agar terjadi pasar obat yang sehat. diperkirakan sebagian pabrik obat yang tak bisa merger, terancam tutup.

25 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR di mana-mana di seluruh dunia, industri farmasi itu kecil, tapi labanya besar. Ia juga sangat inovatif, tapi juga mengatur dan menata dirinya sendiri dengan ketat. Hal yang sama juga bisa ditemukan di Indonesia, baik pada industri farmasi PMA maupun PMDN. Sekarang, paket deregulasi yang digodok oleh Departemen Kesehatan akan melonggarkan tatanan yang ketat itu. Memang, sasaran utamanya adalah memperpendek mata rantai tata niaga obat, namun gebrakan tersebut diperkirakan bisa ikut mengguncang sektor produksi -- meliputi sekitar 300 pabrik obat yang ada di negeri ini. Tata niaga yang dilonggarkan berarti mengendurkan proteksi, juga berbagai ketentuan lain yang mengikat, dan pada tahap akhir membiarkan mekanisme pasar bekerja. Semacam deregulasi, begitulah. Dengan demikian, barulah kelak barangkali, industri dan perdagangan obat akan tumbuh lebih sehat. Pakar ekonomi di Departemen Perdagangan, Dr. Priyono Tjiptoheryanto, mengatakan bahwa ketentuan deregulasi itu kelak akan masuk paket deregulasi bidang industri. "Tujuannya, sudah diketahui umum, agar terjadi pasar obat yang sehat, sehingga harga yang terjadi terkategori wajar," kata ahli itu. Dr. Ascobat Gani -- seorang ahli ekonomi kesehatan -- membenarkan bahwa tingginya harga obat sangat dipengaruhi oleh produksi dan perdagangan obat yang tidak sehat. Secara teoretis, suplai yang tidak mampu memenuhi permintaan akan menaikkan harga obat. Ini pun dipertajam oleh faktor lain, yakni adanya persaingan tidak sehat di sektor produksi, akibat terlalu banyaknya variasi obat -- 12.606 merk. "Tapi obat tidak bisa dikategorikan sebagai komoditi biasa," kata Drs. Dorodjatun, Direktur Utama Bio Farma Bandung -- dulu direktur industri obat BUMN, Kimia Farma. "Susahnya di situ," sambungnya pula. Mengapa? Soalnya, industri obat sangat peka terhadap hukum-hukum ekonomi, tapi juga mempunyai nilai strategis. Karena obat adalah juru selamat si sakit, kepentingan masyarakat harus dilindungi oleh regulasi. Maka, dalam paket deregulasi yang akan dikeluarkan, peran pemerintah masih sangat besar. "Untuk mencapai keadaan ini, sektor produksi harus ditata agar sehat dalam arti perusahaan dan arti teknologi," kata Dorodjatun lagi. "Sekarang banyak pabrik belum sehat," komentar Ascobat Gani. Mutu produknya rendah. Untuk menutupi produk yang buruk itu, terpaksa dilancarkan promosi berlebihan. Tak heran bila beban promosi akhirnya ditimpakan pada konsumen. Dirjen POM Drs. Slamet Soesilo membenarkan, tata niaga obat yang akan diluncurkan Menteri Kesehatan bertujuan membenahi lalu lintas perdagangan obat yaag semrawut. Sementara itu, sektor industri pasti terkena penataan kembali. Nantinya semua industri obat harus memenuhi persyaratan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik). "Yang tidak bisa terpaksa ditutup," kata Dirjen tegas. CPOB yang disusun berdasarkan standar WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia) pada dasarnya merupakan standar mutu bagi pabrik obat. "Ada persyaratan, misalnya, tentang tingkat kontaminasi lokasi pembuatan obat," kata Soesilo. Juga ada persyaratan tahap-tahap organisasi dalam perusahaan, hanya untuk mengontrol akurasi timbangan senyawa aktif. Dan yang berat, persyaratan tentang mesin pembuatan tablet, pengisian kapsul, dan sebagainya. "Ini membuat investasi buah pabrik obat mau tidak mau menjadi besar". Sejauh ini, perizinan mendirika pabrik obat memang tidak terkontrol. Saat ini tercatat 295 industri, anggota GP Farmasi," kata Drs. Eddy Lembong, Ketua Gabungan Pengusaha Farmasi. "Sebanyak 40 adalah PMA atau joint venture, 40 lagi PMDN yang setara dengan PMA, termasuk UMN, dan selebihnya industri golongan menengah ke bawah." Maka, di atas kertas, hanya 80 pabrik (PMA dan PMDN) yang efisien dan bisa dijamin mutunya. Menurut sumber TEMPO di GP Farmasi, sisanya, sekitar 200 pabrik terkategori pabrik gurem. "Sekitar 40% dari kelompok pabrik ini berada dalam keadaan pingsan." Kelompok inilah yang melemahkan omset pabrik PMDN. Hasil penelitian Ditjen POM menunjukkan, omset 40 pabrik PA (yang memproduksi hanya 2.000 merk obat) di tahun 1986 mencapai Rp 330 milyar. Sementara itu, omset total kelompok PMDN yang meliputi 55 pabrik (memproduksi 10.447 merk) hanya Rp 347 milyar. Kuat dugaan, pabrik gurem akan mengalami guncangan berat. Sebagian besar, bila tak bisa merger, terpaksa tutup. Dampaknya bisa positif. Obat tidak bermutu akan hilang dari peredaran, dan 12.606 merk akan bisa dikurangi. Dari sini, persaingan dan promosi yang tidak sehat berangsur-angsur hilang -- begitulah diharapkan -- lalu dokter pun tidak lagi terlalu diiming-iming upeti promosi obat. "Kalau pabriknya bonafide, produknya bisa diharapkan bermutu juga," kata Slamet Soesilo. "Bagi Ditjen POM, tidak sulit mengontrol produk baru yang didaftarkan." Ia, dalam hal ini, menunjuk peraturan baru yang akan dikeluarkan Menkes -- khususnya tentang penyederhanaan registrasi obat. Penyederhanaan ini, menurut dr. Kartono Mohamad dari jurnal kedokteran Medika, secara tidak langsung akan mempengaruhi harga obat. Sekarang, izin pengedaran satu jenis obat harus ditunggu lama. Di samping itu, setiap merk harus menjalani pendaftaran ulang setiap dua tahun. "Kalau obatnya toh akhirnya keluar, harganya adalah hasil perhitungan yang menjadi tidak efisien," kata Kartono lagi. "Bila jumlah obat menurun akibat proses penyehatan, obat-obat baru yang terjamin mutunya harus dikeluarkan sebagai kompensasinya," kata Soesilo. "Di sini perlunya kemudahan registrasi." Dalam mengisi obat-obat pengganti ini, pemerintah sekaligus memompakan obat generik yang murah. "Jadi, kalau dilihat dari usaha menyiasati harga obat, turunnya harga tidak hanya karena keseimbangan pasar, tapi juga karena meningkatnya pangsa obat murah." Mudah-mudahan.Jis, Sugrahetty Dyan, Ardian (Jakarta), I Made Suarjana (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum