MENGAPA apotek kadang-kadang kelihatan begitu angker, sehingga banyak konsumen lari ke pasar gelap abat? Padahal, apotek acap tampak nyaman, terang benderang kalau malam, dengan pesawat televisi di tempat yang strategis, sofa yang yang empuk, dan mesin pengatur hawa. Pokoknya, semua dibuat sedemikian rupa, sehingga pengunjung bisa betah. Tapi supaya betah, biayanya mahal. Dan biaya itu ditimpakan kepada konsumen yang datang membeli obat. Kontan harga obat jadi mahal. Maka, apotek jadi kelihatan angker. Dan akibatnya, banyak orang kecil menghindar. Tak heran bila kios pedangang bahkan terlatih membaca resep dokter. Andai kata gejala ini dibiarkan berlanjut, maka eksistensi apotek akan terancam. Bukan tak mungkin kelak, pangsa pasarnya semakin menciut, hingga perannya sebagai lembaga yang sah dalam menyuplai obat juga akan berkurang. Dan sungguh memperhatinkan bila fungsi seorang apoteker sewaktu-waktu digantikan oleh pedangang biasa. Hal-hal seperti itulah yang kini dicoba dibendung oleh Menteri Kesehatan, dengan tatanan baru di bidang perapotekan. Tujuannya menyehatkan apotek, sebagai satu pos penting dari serangkaian pos yang terkait, dalam mata rantai distribusi obat. Sasarannya yang utama: memperbanyak jumlah apotek. Ini berarti, obat bisa tersebar lebih luas. Evaluasi Ditjen POM tahun lalu menunjukkan, 49% dari seluruh obat yang beredar sampai ke masyarakat melalui apotek. Tapi, ternyata, jumlah apotek di seluruh Indonesia tak sampai 2.500 buah. Jumlah ini dianggap sangat tidak memadai, untuk menyuplai obat bagi 170 juta penduduk. Mengapa apotek begitu sedikit? "Mungkin karena apotek disangka tambang uang," kata Prof. Samhoedi Reksohadiprodjo, guru besar farmakokimia, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dalam banyak hal, Prof. Samhoedi benar. Hingga kini sikap Departemen Kesehatan -- pihak yang berwenang mengeluarkan izin apotek -- masih serba mendua. Terkesan adanya keraguan untuk merumuskan, apakah apotek itu suatu badan usaha semata untuk mencari untung, atau terdapat seorang apoteker buka praktek. Kenyataan selama ini menunjukkan, Depkes condong pada konsep yang disebut pertama. Pada tahun 1961, keluar Peraturan Pemerintah (PP 26/1961) yang mengharuskan apotek berstatus PT atau CV. "Akibatnya, fungsi apotek ditentukan oleh pemilik modal dengan tujuan melulu mencari untung, kata Drs. Heru Wibowo. ahli kimia organik, pemilik Apotek Eka Prima, Surabaya. "Sedangkan apotekernya tak bisa menentukan policy." Lalu satus apotek berubah, ketika di tahun 1980 keluar pelaturan baru -- PP 25/1980, yang menetapkan, apotek tidak perlu berstatus PT atau CV. Pemodal yang ingin mendirikan apotek diharuskan bekerjasama dengan apoteker. Tapi peraturan itu toh tidak bisa menundudukkan apoteker pada jabatan yang menentukan. Sudah menjadi rahasia umum sekarang ini, banyak apoteker yang hanya dipinjam namanya untuk mendapatkan izin. "Modal yang dibutuhkan paling sedikit Rp 70 juta," kata seorang pemilik apotek di Medan "Belum lagi dana untuk mengurus izin dari tingkat daerah sampai pusat." "Pada tahap pertama seorang apoteker harus mcngajukan permohonan kepada Kanwil Depkes setempat " kata Heru Wibowo. Dalam permohonan ini apoteker diharuskan melampirkan Surat Izin Pengelolaan Apotek (SIPA). Dan masih harus dilengkapi dengan rencana lokasi di mana apotek akan didirikan "Termasuk di sini, gedung yang sudah mendapat izin untuk tempat usaha, minimal lima tahun," kata Heru lagi. Juga ditentukan jarak antara satu apotek dan lainnya tidak boleh kurang dari 500 meter. Berdasar permohonan ini, Kanwil setempat melakukan studi kelayakan. Bila semua persyaratan sudah terpenuhi, Kanwil Depkes setempat akan mengeluarkan rekomendasi. Barulah kemudian paket permohonan izin apotek dikirimkan ke Ditjen POM, Jakarta, yang berwenang mengeluarkan Surat Izin Apotek (SIA). Di sini semua persyaratan diteliti kembali. Menurut Heru, lamanya mengurus izin apotek di Jawa Timur, satu sampai dua tahun. Bagaimana urusan izin serupa di Sumatera Utara? "Bisa cepat, tergantung bagaimana pendekatan pada Kanwil dan pemda," kata Weslyn Siahaan, Ketua GP Farmasi Cabang Sumatera Utara. "Sebab, untuk menentukan lokasi, kan dipertimbangkan pula jumlah penduduk dan kerapatan praktek dokter." Berapa lama SIA dari Ditjen POM keluar, menurut Siahaan, juga relatif. "Kalau mau cepat, ya, tergantung pengusaha masing-masing." Berapa biayanya? "Manalah bisa kita tahu, karena tergantung pemohonnya." Pemberian izin yang "mahal" inilah yang akan dibenahi. Tapi dasar peraturan yang ada tidak berubah, hanya syarat-syaratnya diringankan. Dalam peraturan baru, Surat Izin Apotek akan dikeluarkan oleh Kanwil Depkes setempat -- tidak lagi Ditjen POM. Di samping itu, persyaratan gedung dan laboratorium yang mahal dihilangkan. Penentuan lokasi juga ditiadakan. Jarak antara satu apotek dan yang lainnya bebas. Birokrasi di lingkungan Depkes sendiri, konon, akan "dibersihkan" "Dalam peraturan ini, apoteker sesungguhnya diharapkan bisa membuka apotek, walaupun kecil," kata pejabat Depkes yang tak mau disebutkan namanya tadi. "Artinya, apotek akan menjadi tempat apoteker buka praktek." Targetnya, apotek-apotek kecil biar bisa tumbuh, dalam jumlah banyak. Kalau bisa sampai ke kecamatan-kecamatan. Menurut catatan Depkes, jumlah apoteker ada 10.000 orang, sebagian besar pegawai negeri. Kepada mereka dititipkan harapan, agar punya keberanian membuka apotek. Yang tentu tidak perlu dilengkapi sofa empuk dan AC. Setidaknya jejak Prof. Samhoedi bisa ditiru -- yang di samping menjadi dosen farmakokimia, ia juga membuka sebuah apotek di Sleman, Yogyakarta. Dengan kredit Rp 5 juta dari BRI, dan hasil menjual tanahnya seluas 1.100 m persegi, Samhoedi mendirikan Apotek Kentungan. "Buat hidup di masa pensiun, nanti." Kini apoteknya, yang mempekerjakan lima apoteker dan 14 karyawan itu, sudah berkembang dan pengunjungnya pun ramai. Dan tanpa AC.Jis., Slamet Subagyo (Yogyakarta), Herry Mohamad (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini