DI AS, pelayanan kesehatan acap kali buruk dan mahal, di Inggris sama saja, cuma lebih murah. Mengapa? Selain tidak efisien dan tidak tanggap atas kebutuhan masyarakat, di AS misalnya, besarnya peran swasta di sektor itu juga telah menimbulkan inefisiensi. Dan ini artinya mahal. Anehnya, dengan program pelayanan kesehatan nasional yang baru rencananya akan diluncurkan awal tahun ini -- Inggris berusaha mengikuti jejak AS. Rumah sakit akan diberi peluang untuk lebih leluasa bergerak, jadi lebih getol mencari dan melayani pasien Sementara itu, dokter dilimpahi kontrol lebih besar untuk menentukan obat, rumah sakit, dan laboratorium yang cocok buat pasiennya. Singkat kata, konsep itu membolehkan uang mengejar pasien. Kondisi di Inggris jauh berbeda dengan Indonesia, namun dalam satu hal sama: ada kebutuhan untuk menekan biaya kesehatan. Karena kondisinya berbeda, strategi yang dianut juga tentu tidak sama. Pada prioritas pertama, Departemen .. . Kesehatan berusaha menurunkan harga obat -- upaya ini memang sudah digodok lama. Lalu dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR, 2 Februari lalu, Menteri Kesehatan Dr. Adhyatma sudah pula mencetuskan konsep deregulasi dan reregulasi di bidang penyediaan dan perdagangan obat. Namun, paket peraturan yang meliputi dua Surat Keputusan Menteri Kesehatan dan tiga Peraturan Menteri Kesehatan itu ternyata tidak terbatas soal obat. Paket itu mencakup pengaturan menyeluruh, "Karena besarnya dampak yang kita harapkan," kata Adhyatma. Jadi, memerlukan dukungan dari semua pihak, terutama dari dokter, apoteker, dan pedagang farmasi. Paket deregulasi dan reregulasi itu meliputi: pengaturan di bidang perdagangan obat (sistem distribusi), perizinan apotek dan hak apoteker menjual obat keras tertentu, pengaturan registrasi obat, dan kewajiban dokter di rumah sakit pemerintah untuk menuliskan resep obat generik. Paket ini masih ditunjang beberapa program Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) tentang industri farmasi. Tapi dari semua konsep yang baru itu, hanya peraturan bahwa dokter harus meresepkan obat generik, nah itulah yang sudah dikeluarkan. Toh, "Semuanya berpangkal pada dua hal," kata Direktur Jenderal POM Drs. Slamet Soesilo. Pertama, penataan lalu lintas perdagangan obat, agar pembiayaannya efektif. Kedua, memacu pemakaian obat murah -- yang dimaksud obat generik dengan risiko sekecil-kecilnya. Dari pengaturan tersebut, diharapkan obat bisa lebih banyak diserap ke masyarakat. Sekarang ini, volume yang terserap itu relatif kecil. "Kalau diperkirakan, kira-kira hanya 50% dari kebutuhan yang sebenarnya," ucap Dirjen. Ini terbukti dari hasil evaluasi Ditjen POM, yang menunjukkan bahwa pasar obat menurun terus sejak tahun 1982. Sementara itu, jumlah sarana pelayanan kesehatan meningkat. "Obat kan bagian dari pelayanan kesehatan, jadi seharusnya meningkat juga." Mengapa justru menurun? Hasil penelitian Ditjen POM bersama Ikatan Dokter Indonesia dan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia menunjukkan kecilnya volume obat itu bersumber pada tingginya harga obat yang tidak terjangkau masyarakat. "Karena itu, masalah yang harus diatasi adalah bagaimana memperbesar jumlah penggunaan obat, sekaligus menurunkan harganya," kata Dirjen yang sarjana farmasi lulusan ITB itu. Dan ini bisa dilaksanakan kalau tata niaga obat bisa diatur, hingga memperbesar volume obat. Dengan begitu, laba bisa meningkat dari besarnya omset, bukan dari harga yang mahal. Untuk mencapai sasaran itu, permohonan izin mendirikan apotek akan dipermudah. Sasarannya, jumlah apotek akan jadi lebih banyak. Selain itu, apoteker dibolehkan menjual beberapa jenis obat keras, tanpa resep dokter. Tujuannya sama, memperbesar penjualan obat. "Obat-obat yang dialihkan ini sudah kami teliti, cukup aman," kata Soesilo. "Di beberapa negara, obat-obat ini memang sudah dijual tanpa resep dokter." Reregulasi distribusi obat, menurut Soesilo, perlu karena selain melancarkan arus obat juga pada gilirannya bisa menekan harga obat. "Sekarang ini banyak perusahaan distribusi yang berjalan tidak efektif." Rantai pengadaan obat ini tidak efisien dan juga tidak murah. "Di suatu daerah misalnya, ada lima distributor, sementara apoteknya cuma dua," kata Soesilo. Terjadilah persaingan tidak sehat, karena promosinya berlebihan. "Biaya promosi ini akhirnya ditimpakan pada konsumen". Selain distributor, banyak juga industri farmasi yang tidak efektif. Untuk merapikannya, perlu standar industri farmasi. "Standar ini digariskan HO (Oranisasi Kesehatan Sedunia), dan kita kebetulan diminta menyusunnya, untuk lingkungan ASEAN," kata Soesilo. Persyaratan mutu bagi pabrik obat ini dikenal sebagai Good Manfacturing Practice atau Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). "Nantinya, pabrik yang tidak bisa memenuhi standar CPOB akan terpaksa ditutup atau dialihkan memproduksi obat bebas seperti balsem dan salep," ujar Dirjen. Standar CPOB ini akan berlaku efektif mulai tahun depan. Satu dampaknya yang hampir pasti: jumlah pabrik obat akan berkurang. Otomatis, obat-obat bermutu rendah juga akan hilang dari pasar. Merk obat yang sekitar 12.000 akan berkurang secara bertahap, dan diharapkan tentu obat yang biaya produksinya tak jelas itu akan lenyap. Dalam upaya menanggulangi kemungkinan berkurangnya jenis obat, Menteri Kesehatan mempermudah pendaftaran obat baru, yang tetap diawasi kualitas dan tingkat kebutuhannya. Birokrasi untuk izin akan disederhanakan, hingga bisa dijawab dalam 28 hari. "Selain itu, saya juga akan memacu obat generik yang relatif lebih murah, untuk mengisi kekurangan itu," kata Soesilo. Obat jenis ini diharapkan mampu menjadi dominan dalam mengisi kebutuhan konsumen, hingga dengan demikian bisa mengimbangi jumlah obat paten yang relatif lebih mahal. Sekarang obat generik, menurut Soesilo, hanya sekitar 10% dari seluruh jumlah obat yang beredar. Menteri Kesehatan -- melalui peraturan-sudah mulai menggalakkan pemakaian obat generik di rumah sakit pemerintah. Ketua IDI dr. Azrul Azwar menyambut baik strategi pemerintah itu. "Kalau pemerintah menyediakan obat generik dalam jumlah cukup, saya pikir teman-teman saya akan dengan senang hati memilih obat itu," katanya. Azrul juga menyatakan, IDI akan membantu pertumbuhan apotek, lewat kerja sama antara dokter dan apoteker. Misalnya, praktek bersama. Sementara itu, ketua Gabungan Pengusah Farmasi Drs. Eddy Lembong cenderung menunggu. "GP Farmasi belum tahu persis 6agaimana peraturan yang lengkap tentang deregulasi di bidang farmasi itu," katanya. Namun, dia mengakui bahwa penerapan standar di sektor produksi dan distribusi bisa menimbulkan kesulitan teknis dan ekonomis bagi usaha-usaha kecil. "Tapi kami akan mengusahakan agar tercipta kondisi yang memungkinkan proses merger," katanya.Jim Supangkat, Sri Pudyastuti, Gunung Sarjono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini