Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBIJAKAN Menteri Pertanian Amran Sulaiman membuka keran impor jeroan sapi tidak konsisten. Langkah itu terkesan plinplan karena akhir tahun lalu Amran melarang impor jeroan dengan alasan produk tersebut merupakan makanan hewan. Berbalik 180 derajat, dia kini mengatakan keran impor dibuka karena jeroan itu kebutuhan rakyat.
Kejanggalan lain, Kementerian Pertanian menyebutkan impor jeroan dilakukan untuk membantu menurunkan harga daging sapi. Langkah itu pun tak mencapai sasaran. Harga daging sapi masih bertengger di sekitar Rp 120 ribu per kilogram. Soalnya, jeroan—paru, hati, dan jantung—jelas berbeda dengan daging, sehingga masuknya jeroan impor tidak mempengaruhi harga daging sapi dalam negeri.
Porsi impor jeroan tak lebih dari 10 persen dibanding impor daging sapi beku. Tentu saja jumlah sekecil itu tidak mampu mempengaruhi harga daging sapi di pasar. Solusi untuk menekan lonjakan harga daging sapi sesungguhnya sudah dilakukan Kementerian Pertanian, yakni menambah pasokan dengan impor daging beku. Kementerian membagikan kuota impor 60 ribu ton daging sapi beku kepada sejumlah perusahaan sepanjang Mei dan Juni lalu. Tapi kebijakan itu gagal menurunkan harga.
Semestinya Kementerian belajar dari kegagalan itu dan membuat langkah perbaikan. Sayangnya, Kementerian justru menerapkan kebijakan serupa untuk jeroan. Serupa tapi tak sama dengan daging sapi, Amran memprioritaskan kuota impor jeroan untuk empat perusahaan. Di antaranya PT Indoguna Utama dan PT Sumber Agro Semesta—yang tergabung dalam Artha Graha Networking milik pengusaha Tomy Winata. Bahkan Amran sudah meminta empat perusahaan itu menggelar operasi pasar pada Ramadan lalu.
Pemberian kuota impor jeroan ini mengandung sejumlah keanehan. Pertama, empat perusahaan itu seperti bisa "mengendus aturan sebelum dikeluarkan" dengan mengajukan izin sebelum Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2016—yang mengatur impor jeroan—diterbitkan. Kedua, ternyata tak cuma jeroan, empat perusahaan ini diberi tambahan kuota impor daging beku. Indoguna, misalnya, memperoleh kuota impor 15 ribu ton jeroan dan daging beku.
Bila kuota impor jeroan dan daging sapi diberikan atas dasar "balas jasa" terhadap operasi pasar yang dilakukan empat perusahaan itu, dan bukan atas dasar tender, artinya Kementerian tidak memberi kesempatan yang sama kepada pelaku usaha. Perlakuan "istimewa" yang berpotensi mendatangkan masalah ini harus dijelaskan kepada publik.
Penjelasan Kementerian Pertanian perlu karena rekam jejak Indoguna cukup memprihatinkan. Perusahaan ini pernah tersangkut kasus impor daging sapi yang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi. Perkara ini menyeret Luthfi Hasan Ishaaq—ketika itu Presiden Partai Keadilan Sejahtera.
Semestinya Kementerian belajar dari masa lalu: bagi-bagi kuota impor bukan obat mujarab untuk menghalau persoalan. Sejumlah studi empirik bahkan menyimpulkan pembagian kuota impor hanya menambah pundi-pundi beberapa perusahaan yang mengantongi lisensi. Sebaliknya, konsumen selalu menjadi korban.
Yang paling diuntungkan adalah pemburu rente, segelintir orang yang memiliki akses terhadap informasi dan kekuasaan. Padahal kebijakan pemerintah seharusnya berpihak kepada masyarakat banyak.
Kalaupun tetap menerapkan kuota impor, harus ada lelang dengan persyaratan ketat. Kementerian Pertanian mesti transparan agar urusan jeroan dan daging itu tidak kembali menjadi kasus yang mencoreng wajah pemerintah seperti di masa lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo