Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mencari resep bakul jamu

Mengetengahkan berbagai hasil penelitian dan manfaat obat tradisional, juga penemuan zat yang bersifat racun yang terdapat dalam jamu gendong. museum jamu nyonya meneer. (ksh)

11 Februari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGALAMAN empiris dengan jamu-jamuan, yang mungkin sudah berusia ratusan tahun, semakin memperoleh pembenaran ilmiah sekarang ini. Dalam simposium obat tradisional di Bandung, 30-31 Januari - yang diikuti ilmuwan dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga negara Wahyo, sarjana Farmasi dari Universitas Airlangga, Surabaya, misalnya, menunjukkan bahwa perasan buah pare ternyata blsa digunakan untuk menekan tingkat kesuburan laki-laki. Melalui percobaan, Wahyo menemukan bahwa baik sperma tikus putih maupun kelinci, "terhambat pembentukannya" setelah dicekoki perasan pare. Mobilitas (gerakan) spermatozoa juga turun sampai 80%. Dari tikus betina yang dijadikan percobaan, terlihat bahwa produksi susu binatang itu memang tambah banyak setelah mmum rebusan itu. Begitu pula landeuleum, yang banyak dipakai orang untuk obat wasir, menurut B. Dzulkarnain dan kawankawan dari Pusat Penelitian Farmasi Departemen Kesehatan, ternyata " dapat menyembuhkan wasir dan tidak ada efek sampingnya." Bahwa obat tradisional bermanfaat dan dipergunakan di negara seperti India dan RRC, bukan barang baru. Karena obat-obatan modern mahal dan sukar menjangkau masyarakat yang lebih luas di negara-negara berkembang, Badan Kesehatan Dunia (WHO) malah sejak pertengahan 1970-an menyerukan untuk memanfaatkan obat-obatan tradisional. Di Indonesia sendiri sudah banyak seminar dilangsungkan untuk menyambut seruan WHO itu. Tetapi yang berlangsung di Bandung akhir Januari itu kelihatannya cukup berbobot. Hampir semua perguruan tinggi besar, seperti ITB, IPB, UGM, UI, dan Unair, ambil bagian. Wakil-wakil lembaga pemerintah, seperti LIPI, Departemen Kesehatan, dan Batan, juga turut hadir. Seluruh peserta berjumlah 400 orang, ditambah enam peninjau dari Australia, Malaysia, dan Korea Selatan. Simposium itu sendiri dibarengi dengan sebuah pameran obat tradisional hasil racikan 25 peserta. Menteri Kesehatan Suwardjono Surjaningrat, yang membuka simposium dua hari itu, tampak bergairah mengelilingi ruangan pameran di kampus Universitas Padjadjaran, Bandung. "Kelemahan kita selama ini yakni penelitian dilakukan secara terpisah-pisah," kata Suwardjono kepada TEMPO. Melalui simposium di Bandung ini, dia mengharapkan agar kegiatan meningkatkan obat tradisional itu disatukan. Sehingga terbuka suatu kemungkinan untuk menjelaskan kepada ma syarakat, kandungan apa yang berkhasiat dari suatu jamu. Selama ini, di antara para pengusaha jamu memang tumbuh sikap menutup diri. Takut kalau rahasia ramuan mereka ditiru. Sikap seperti itu mendapat kritik dari seorang pembicara dalam simposium. "Kalau saling merahasiakan, apanya yang mau diteliti?" keluh Prof. Sasongko Adisewoyo, dari Universitas Padjadjaran. Padahal, sebagaimana dikatakan Midian Sirait, direktur jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, "Dalam upaya untuk mencapai kemandirian di bidang obat-obatan, pemerintah akan mengupayakan semaksimal mungkin kekayaan alam Indonesia, baik flora, fauna, maupun kandungan mineralnya." Dalam simposium ini, Departemen Kesehatan secara terbuka mengakui bahwa sekalipun sudah ada sekitar 13.000 dokter, 6.000 puskesmas, dan 1.000 rumah sakit, masyarakat ternyata tidak menggunakan sepenuhnya. "Mereka masih tetap mengunjungi pelaku-pelaku pengobatan tradisional. Dan fakta menunjukkan bahwa pengobatan ini dapat menghasilkan kesembuhan bagi yang diobati," kata Prof. Dr. Kusumanto Setyonegoro, kepala direktorat kesehatan jiwa Departemen Kesehatan, dalam makalahnya. Untuk masuk dalam pelayanan kedokteran, obat tradisional kelihatannya masih jauh. Sebuah hasil keputusan dalam simposium itu menyebutkan bahwa dokter belum mungkin menuliskan resep obat tradisional. Sebab, obat tradisional tidak disertai persyaratan medisfarmakologis. Tetapi J. Sidhajatra, dokter lulusan Universitas Airlangga yang bekerja di Bagian Telinga, Hidung, dan Tenggorokan RS Fatmawati, Jakarta, dalam simposium di Bandung itu mengutarakan pengalaman yang menarik. Selama dua tahun (1978-1979), di tempat praktek pribadinya dia telah member ikan ramuan tradisional untuk 63 pasien yang punya keluhan serupa: sering sakit tenggorokan disertai gejala panas, sakit menelan, dan batuk pilek dengan frekuensi sakit rata-rata sebulan lebih dari sekali. Dan yang lebih menarik, kalaupun penderita disertai amandel yang menurut kelaziman dianjurkan supaya di operasi, ternyata menurut Sidhajatra daging benjol di leher itu tak perlu disingkirkan. Sebab, katanya, itu bagian dari jaringan Lymfe yang berfungsi manangkis infeksi. Sidhajatra, dokter yang dikenal banyak orang sebagai pengikut "ahli bandul" Pater loogman dari Purworejo, Jawa Tengah, memberikan ramuan itu hanya meneruskan pengetahuan cara ahli jamu saja. Effionora dan kawan-kawan dan Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Jakarta, mengetengahkan senggugu atau yang dikenal sebagai tinjau di Lampung sebagai obat sakit perut. Tanaman ini memang dipergunakan masyarakat untuk sakit perut dan kembung. Sementara R. Sumastuti dan dua rekannya, Sudarto dan Samekto Wibowo, dari Fakultas Kedokteran Gajah Mada, Yogyakarta, meneliti daun lombok besar untuk sakit perut. Buat daerah Yogyakarta, daun itu memang banyak dipakai untuk obat akit perut. Ternyata, penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa daun lombok besar itu bisa meredakan sakit yang diakibatkan regangan usus. Simposium Bandung itu ternyata tidak hanya kaya dengan pembuktian-pembuktian ilmah tadi. Tetapi juga dilengkapi dengan penemuan-penemuan yang memojokkan ohat-obat tradisional itu sendiri. Sidik, seorang dokter dari Universitas Padjadjaran, pada tahun 1979 menemukan metampiron dan asetosal dalam obat tradisional yang ditelitinya. Dia juga memergoki strikhnin (obat perangsang) dalam jamu kuat. Sedangkan penemuan paling akhir datang darl tangan Supriyatna bersama Istrinya, Glorida. Dari penelitian terhadap 10 macam jamu gendong, tiga bulan yang lalu, mereka menemukan bakteri koli (penyebab diare). Dan yang paling mencemaskan, mereka menemukan pula timah hitam dan arsenik. Kedua-duanya bersifat racun. Berbagai hasil penelitian dalam Simposium Bandung itu tentu jadi bahan berharga buat Departemen Kesehatan sebagaimana dikatakan Djoko Hargono, direktur pengawasan obat tradisional Departemen Kesehatan. Jalan untuk memperpanjang daftar fitoterapi - jenis tanaman yang sudah jelas kandungan kimianya - bertambah dekat, sehingga para dokter bisa menggunakannya. Selama ini, menurut Ponis Tarigan dari USU, baru 30 macam tanaman yang diketahui dengan jelas kandungan kimianya. Belum banyak tanaman yang masuk kategori ini, sehingga sampai sekarang belum banyak dari tanaman yang masuk daftar itu dibuat sebagai obat dengan kemasan modern oleh pabrik farmasi disini. Kejibeling, misalnya, adalah tanaman tradisional untuk memperlancar air seni yang sudah dihasilkan Kimia Iarma dengan merek Batugin. Kurkuma untuk penyakit liver. Dan tak lama lagi sebuah perusahaan farmasi akan mengedarkan kapsul temu lawak dan kunyit yang disebutkan mengandung kurkuminoid. Zat ini berguna untuk menyembuhkan radang dan bisa menurunkan kadar kolesterol dalam darah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus