BEBERAPA waktu yang lalu seorang pejabat dari Indonesia, dalam suatu rombongan peneliti yang datang ke Malaysia, bertanya kepada saya: "Di mana rumah sakit korban lelaki, Pak?" Belum sempat saya jawab, temannya yang duduk di sebelahnya langsung menyambung dengan lancar: "Ah, masa tidak tahu. Tidak jauh dari sini. Rumah sakit itu hanya untuk istri pasukan bergayut saja. Istri askar tak berguna dan istri pasukan basah kuyup tidak boleh ke sana." Lalu mereka tertawa terkekeh-kekeh. Seorang pegawai Malaysia, pengantar mereka, tersenyum-senyum masam. Atas pertanyaan saya, mereka mengatakan dengan yakin bahwa istilah rumah sakit korban lelaki, pasukan bergayut, askar tak berguna dan pasukan basah kuyup memang ada di Malaysia. Dalam bahasa Indonesianya: rumah sakit bersalin, pasukan payung, veteran, dan marinir. Saya katakan kepada mereka, pihak Malaysia pernah membantah hal itu. "Macam mana pula ibu-ibu yang hamil dan hendak bersalin dikatakan korban perbuatan laki-laki. Itu tidak sopan!" jawab seorang pegawai tinggi Kementerian Kesehatan Malaysia kepada saya. Secara resmi bantahan telah dikeluarkan oleh Ketua Pengarah (Dirjen) Penyiaran Malaysia, Radio Televisyen Malaysia, yang menyatakan istilah itu tidak pernah digunakan untuk rumah sakit bersalin atau klinik bidan. Sebelum itu Ketua Pengarah Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, dalam wawancara melalui Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia TVRI, Agustus 1976, membantah pula adanya istilah pasukan bergayut. "Pasukan bergayut adalah monyet," ia menegaskan. Menurut keterangan yang, penulis peroleh, pasukan payung disebut di Malaysia dengan pasukan terjun payung. Dan yang dimaksud dangan pasukan basah kuyup di Malaysia disebut merin (kadang-kadang marin), dari istilah Inggris marine. Di Indonesia dipakai marinir, dari istilah Belanda marinier, sebagai pengganti istilah Korps Komando (KKO). Istilah laskar tak berguna juga tidak ada. Yang ada veteran. Jadi sama dengan di Indonesia. Rupanya sampai sekarang, di Indonesia, istilah-istilah macam itu masih sering dijadikan bahan olok-olok - di kalangan pejabat, dosen, mahasiswa, pengusaha, dan sebagainya. Bahkan bila sudah asyik muncul secara spontan produksi kilat melalui proses pembentukan secara analogi - seperti pasukan basah kuyup yang dibentuk menurut pola pasukan bergayut. Kabarnya, dari istiah olok-olok hentak-hentak bumi (langkah tegap) dibentuk pula setubuh bumi (tiarap) dan seterika bumi (mesin giling jalan). Masya Allah. Mahasiswa Malaysia yang belajar di Indonesia, dan tamu-tamu dari Malaysia, sering mendongkol ketika kepada mereka ditanyakan atau dipersendakan istilah-istilah yang dianggap lucu tersebut. api Jika pihak Malaysia membantah, siapa gerangan yang membuat dan melemparkannya ke tengah masyarakat Indonesia? Bila, dan untuk maksud apa? Banyak yang berpendapat, pembentukan dan pelancaran istilah-istilah tersebut dilakukan pihak kita pada saat hebat-hebatnya konfrontasi dengan Malaysia, yang oleh pimpinan negara dianggap sebagai musuh. Jadi pengganyangan dan sudut sosial budaya, dalam hal ini bahasa, dianggap bagian dari kegiatan perang urat saraf. Tujuannya menumbuhkan anggapan remeh terhadap lawan. Para ahli strategi tentu lebih memahami hal ini. Lalu bagaimana sekarang, setelah 17 tahun lebih konfrontasi berakhir? Masihkah akan kita biarkan saja, walau dengan alasan sekadar bergurau? Tidakkah gurau ini, seperti kata orang tua-tua, gurau kuda? Sang kuda tetap saja merasa bergurau dengan menyepak-nyepak, sedangkan orang lain sudah bengkak-bengkak karenanya. Tidakkah pula hal ini akan terus mengingatkan kedua pihak kepada permusuhan yang pernah terjadi? Tidakkah akan menjadi penyumbing (bukan penyumbang) perhubungan baik kedua bangsa? Syukurlah jika tidak. Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kuala Lumpur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini