Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANAK perempuan itu sudah berusia tiga tahun, tapi kemampuannya seperti bayi yang berusia bulanan. Saat digendong, lehernya belum bisa tegak, berkali-kali jatuh ke belakang. Kemampuan motoriknya juga sangat kurang. Ketika dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, memposisikannya seperti bayi yang sedang merangkak, bocah ini langsung tengkurap. Tangan dan kakinya terlalu lemah untuk menahan tubuh seberat 11 kilogram.
Sejak hampir setahun lalu, para dokter sudah berhasil mengetahui penyebab lambatnya pertumbuhan gadis mungil itu: hipotiroid kongenital atau bawaan. Hipo artinya kekurangan, sedangkan tiroid adalah organ endokrin di leher yang fungsinya mengeluarkan hormon tiroid (tiroksin). Hormon ini berperan penting untuk metabolisme, pertumbuhan, dan perkembangan otak. Kata kongenital menunjukkan bahwa dia sudah membawa kekurangan ini sejak lahir.
"Anak dengan hipotiroid semua kemampuannya melambat," kata Aman B. Pulungan, ahli endokrinologi anak di RSCM, Rabu pekan lalu. Perlambatan, misalnya, terjadi pada kerja usus, kerja ginjal, refleks mengunyah, dan berbagai kemampuan motorik lainnya. Bukan hanya fisik, otak pun tak berkembang sempurna. Hipotiroid menyebabkan anak-anak dengan keterbelakangan mental. Menurut Aman, kasus hipotiroid bawaan kian sering ditemukan. Saban pekan, ada saja pasien baru yang disorongkan kepadanya.
Untuk menambal kekurangan tiroid itu, pasien harus diberi levotiroksin. Obat yang harus diminum sepanjang hayat ini mampu menghindari perlambatan pertumbuhan fisik dan otak. Walhasil, anak bisa tumbuh normal. Namun ini ada syaratnya. Terapi pertama harus dilakukan sejak usia dini, setidaknya saat bayi berumur sebulan. "Deteksi dini sebelum bayi berumur sebulan penting, supaya bisa diterapi segera dan tidak terjadi gangguan kecerdasan serius," kata Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih.
Pada anak yang terlambat dideteksi, obat levotiroksin terkadang masih bisa memberikan perbaikan, misalnya dalam urusan motorik. Namun penurunan inteligensi tak lagi bisa dihindari.
Terlambatnya deteksi ini karena memang tak mudah mengetahui hipotiroid pada bayi yang baru lahir secara kasatmata. Apalagi hipotiroid bawaan tidak terkait dengan gaya hidup tertentu dari sang ibu atau karena faktor risiko kehamilan. Kelainan ini bisa muncul begitu saja secara sporadis.
Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah penyaringan (screening) pada semua bayi yang baru lahir. Ambil contoh darah dari tapak kaki, taruh di kertas saring, lalu dikirim ke laboratorium. Di Jakarta, menurut Aman, laboratorium di RSCM dan beberapa rumah sakit swasta sudah bisa mengolah sampel tersebut. Paling lambat dalam sepekan, hasilnya sudah didapat. Jika kadar tirotropin (thyroid stimulating hormone/TSH, yakni hormon yang berfungsi memelihara pertumbuhan dan perkembangan kelenjar tiroid) sang bayi di atas 20 mili-unit per liter, ia dinyatakan tidak lolos penyaringan dan menjadi terduga hipotiroid. Untuk memastikan, pengecekan ulang perlu dilakukan sekali lagi, termasuk pengecekan tiroksinnya.
Biayanya tidak mahal. Menurut Menteri, biaya pengecekan di rumah sakit pemerintah, seperti RSCM, Rp 25-30 ribu. Jika tidak sangat miskin, sebenarnya banyak orang tua yang bisa menanggungnya sendiri. Biaya berobat per bulan bagi anak yang positif hipotiroid pun tak terlalu mahal, hanya sekitar Rp 50 ribu.
Masalahnya, pengecekan ini belum tersosialisasi dengan baik. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia sedang mengupayakan screening menjadi program nasional. Proyek percontohannya dijalankan di sebelas provinsi (hingga 2011 baru berjalan delapan), dengan seribu contoh di setiap provinsi.
Dokter Diet Sadiah Rustama, ahli endokrinologi anak dari RS Hasan Sadikin, Bandung, yang sejak awal menggawangi proyek ini, mengatakan seribu tes per provinsi tersebut hanya stimulan. Yang penting, kata dia, membangun sistem dan infrastruktur sehingga siap jika suatu saat diberlakukan pengecekan secara nasional. Sejauh ini laboratorium yang ditunjuk untuk melakukan analisis baru dua, yakni di RSCM dan Hasan Sadikin.
Sampai saat ini, Diet dan kawan-kawan telah melakukan penyaringan kepada 212.512 bayi di delapan provinsi. Hasilnya, 64 bayi dinyatakan positif menderita hipotiroid bawaan. Angka kejadian ini tak jauh berbeda dengan angka kejadian rata-rata dunia, yakni 1 per 3.000 kelahiran hidup. Lantaran terdeteksi dan mendapatkan pengobatan sejak dini, 64 bayi tersebut dapat diselamatkan dari keterbelakangan mental alias idiot.
"Banyak orang yang kurang peduli karena kejadiannya 1 per 3.000 kelahiran. Tapi yang satu itu tetap anak manusia," kata Diet. Jika diproyeksikan ke angka kelahiran nasional, yakni 5 juta bayi per tahun, akan didapat angka yang spektakuler, yakni 1.600 bayi lahir dengan hipotiroid bawaan per tahun. Bila dibiarkan, secara kumulatif akan berdampak pada kualitas generasi mendatang. "Mau jadi bangsa apa kita?" kata Diet.
Lantaran besarnya efek yang mungkin muncul, Aman dan Diet terus menggiatkan koleganya di Ikatan Dokter Anak Indonesia, termasuk melakukan kunjungan ke daerah-daerah, untuk mengkampanyekan pentingnya pengecekan hipotiroid bawaan. Namun upaya itu mereka rasa kurang afdal tanpa dukungan penuh dari pemerintah. "Bu Menteri, atau Presiden, harus berani membuat gebrakan untuk melakukan screening hipotiroid ini secara nasional, kalau tidak mau banyak anak bangsa menjadi bodoh," kata Aman.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo