Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama Sukiyat mulai disebut-sebut ketika Wali Kota Solo Joko Widodo mengenalkan mobil Esemka. Sukiyat diperkenalkan sebagai pemilik Kiat Motor yang menjadi partner sekolah kejuruan di Solo dalam memproduksi "mobil nasional" itu. Itulah kenapa, saat keluar pada Januari lalu, mobil berjenis sport utility vehicle (SUV) itu dinamai Kiat Esemka. Sukiyat amat bersemangat dan bangga bisa menularkan keterampilan membuat mobil kepada anak-anak muda.
Belakangan, ketika Esemka akan dibawa ke Jakarta untuk diuji emisi, nama Kiat dihilangkan. Semangatnya pun turun drastis. "Kalau tidak ada saya, enggak bakal ada mobil Esemka," katanya saat itu. Dia makin mutung karena kerap dimarahi dan diancam oleh orang-orang di pemerintahan daerah. Dari sinilah kemudian cerita mengenai banyaknya komponen mobil Esemka yang diambil dari mobil lain muncul.
Benarkah mobil ini hanya rakitan dari elemen lain, bukan dibuat sendiri oleh anak SMK? Untuk mengetahui ada apa sebenarnya di balik percekcokan ini, Istiqomatul Hayati, Ukky Primartyanto, dan juru foto Andry Prasetyo dari Tempo menemuinya di bengkelnya, Kiat Motor, di Jalan Yogya-Solo Ngaran, Klaten, Jawa Tengah, pada Selasa pekan lalu.
Kapan Anda mulai terlibat dalam Esemka?
Pada 2002. Waktu itu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Trucuk, Klaten, mau bangkrut. Lalu kepala sekolah dan guru-gurunya datang ke tempat saya minta saran. Saya mengusulkan agar SMK jurusan pertanian itu membuka jurusan otomotif sebagai penarik minat calon siswa. Saya membantu dengan memberikan bodi mobil Kijang agar dibongkar anak-anak. Murid jurusan otomotif bisa praktek di bengkel saya di Trucuk.
Sampai kapan hal itu berlangsung?
Setelah itu ganti kepala sekolah dan saya jadi Ketua Komite Sekolah pada 2007. Anak-anak SMK saya suruh membuat miniatur mobil Hardtop (Toyota). Setelah itu berlanjut hingga ada usul membuat mobil. Awalnya mau bikin mobil Colt (Mitsubishi), atau double cabin. Lalu Joko Sutrisno (mantan Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) datang dan meminta saya membuat model SUV.
Anda menerima usul itu?
Ya, karena sudah banyak yang membuat double cabin. Nanti tidak laku. Akhirnya saya membuat Land Cruiser dengan sasis dari (Toyota) Crown pada awal 2009. Itu pun tidak memuaskan karena dianggap mirip Toyota. Jadi saya diminta membuat mobil yang tidak ada di jalan. Saya ini seperti menerjemahkan keinginan orang gila atau mabuk.
Komponen di mobil itu betul-betul bikin sendiri?
Saya hanya membuat body. Sasisnya pakai Crown, sedangkan gardan depan, belakang, dan komponen lainnya mengambil dari berbagai mobil.
Mesinnya bagaimana?
Mesinnya buatan mana, saya tidak tahu. Karena mesin dibawa ke sini dari SMK Warga (Solo).
Wah, itu namanya merakit, dong, bukan membuat mobil baru.
Menurut saya, tidak jadi masalah. Sebab, membuat mobil tidak harus dari nol. Kalau semua komponen harus bikin sendiri, kita juga harus buat pabrik ban, dong.
Lalu masalahnya di mana?
Kita harus bicara fakta, pendidikan harus jujur. Orang usaha juga harus jujur. Yang dibuat adalah body, komponen lainnya beli. Handle pintu, spion, kaca dibeli. Saya dapat uang dari pemerintah, lalu saya belanja.
Di mana belanja komponen mobil?
Di sekitar Solo, Yogyakarta, Jakarta, Surabaya.
Apa saja yang dibeli?
Gardan depan, gardan belakang, per, shock breaker, dan lain-lain. Ada ratusan jenis. Saya tidak hafal. Dari berbagai merek yang ada di pasar. Pelatnya beli di toko besi. Dipukul secara manual.
Lalu, kalau Esemka jadi dibuat massal, cara ini juga yang akan dilakukan?
Ini tidak seperti pabrik beneran. Masak, anak SMK buat mobil? Pabriknya di mana? Enggak ada. Saya tidak melecehkan SMK. Masalahnya, kita belum mampu ke sana. Ini baru langkah awal.
Jadi, komponen yang dibeli itu lalu dirakit anak SMK?
Yang merakit bukan anak SMK, tapi karyawan saya. Anak SMK hanya membuat miniatur Hardtop. Yang warna hitam (mobil Esemka SUV yang dipakai Joko Widodo) bikinnya di bengkel saya. Kalau yang putih, saya tidak tahu.
Anda dibayar untuk menularkan ilmu ini?
Saya dibayar jasa dari anggaran Kementerian Pendidikan. Untuk membuat satu mobil Rp 350 juta.
Katanya, anak-anak SMK itu harus membayar Rp 4,5 juta untuk magang di sini?
Gratis. Demi Allah, saya tidak menarik bayaran dari anak-anak. Itu uang buat mereka tinggal di sini, makan di sini, selama tiga sampai enam bulan.
Mulai kapan merasa disingkirkan?
Saya tidak merasa disingkirkan. Justru saya berterima kasih karena bisa konsentrasi mengantarkan anak SMK Trucuk belajar otomotif. Saya ikut kirab pakai baju Jawa dalam peringatan hari jadi Solo pada 18 Februari. Di perjalanan, saya ditelepon Joko Sutrisno, suruh melepas nama Kiat. Dia bilang ke saya, "Mau apa kau? Jadi industri atau mitra yang benar?"
Tahu alasan Pak Joko Sutrisno minta Anda mencopot nama Kiat?
Tidak tahu. Saat itu Joko Sutrisno marah besar. Saya tidak mengejar alasannya. Setelah itu saya tidak memikirkannya lagi.
Ada kontrak tertulis dalam pembuatan mobil Esemka?
Tidak ada. Saya hanya ingin mentransfer ilmu. Saya tidak memikirkan business plan, tidak punya tujuan apa-apa. Saya sudah tua.
Kabarnya, Anda menyewa pengacara untuk mempermasalahkannya?
Saya ini pusing tidak tahu kenapa dimarahi. Lama-lama saya minta mobilnya dibedah. Mana yang dibeli, mana buatan Kiat. Saya hanya menuntut hak dan dibuktikan. Mobil itu sejak awal namanya Kiat Esemka. Kalau terus dipermasalahkan, mari dibuka di meja hijau.
Siapa yang memarahi?
Tanya rumput yang bergoyang.
Seperti apa ancaman itu?
Ada yang kirim pesan pendek tapi nomornya tidak dikenal. Ada yang lewat telepon. Bentuk ancamannya ada yang sudah menyangkut nyawa saya.
Apakah orang Pemerintah Kota Solo yang mengancam?
Mungkin. Tapi saya tidak tahu orangnya. Kalau tahu, saya datangi.
Apakah keretakan ini karena Anda ingin mengambil keuntungan dari keberhasilan Esemka?
Saya punya pabrik sendiri, Kiat Motor. Harta saya tujuh turunan tidak habis. Saya hidup tanpa kerja dan mengandalkan bunga bank sudah cukup. Kalaupun punya istri 10 juga masih sanggup membiayai.
Anda sudah membicarakan hal ini dengan Joko Widodo?
Minggu kemarin (29 Februari 2012), ketemu Jokowi dan wakilnya, F.X. Hadi Rudyatmo, di rumah dinas Wakil Wali Kota. Saat itu saya bilang saya jangan disalah-salahkan terus, saya sudah tua. Saya sudah melakukan seperti apa yang diminta.
Berarti sudah rekonsiliasi?
Saya tidak ada masalah dengan Jokowi-Rudy.
Pertemuan kemarin untuk apa?
Bertiga satu tujuan: mobil nasional. Kita bikin lapangan kerja untuk anak bangsa.
Kabarnya, Jokowi dan Solo Techno Park sanggup membuat 300 mobil dalam satu bulan?
Berarti satu hari harus 10 unit. Membikin ini kan ada proses dulu. Tidak seperti buat kursi dan mebel (Jokowi berlatar belakang pengusaha mebel). Bikin mobil sebulan 300 itu lha mana pabriknya?
Jadi sekarang masih mau mengajar anak-anak SMK Solo?
Enggak. Tapi saya masih tetap dengan SMK Trucuk, karena saya ketua komite. Untuk sekolah lain, saya takut.
Untuk menanggapi sejumlah komentar miring Sukiyat tentang mobil Esemka, kami menghubungi Wali Kota Solo Joko Widodo dan bekas Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Joko Sutrisno.
#Tentang komponen Esemka yang dicomot dari mobil lain.
Jokowi: Lihat saja onderdilnya satu per satu ke PT SMK, mumpung mobilnya sedang dibongkar. Lihat blok mesinnya, pistonnya, ring pistonnya, serta sasisnya. Tidak ada onderdil yang dicomot dari kendaraan lain. Sebenarnya, sejak awal kami juga sudah bilang, memang ada beberapa bagian yang masih diimpor, terutama di bagian injeksi dan komponen elektrik. Kandungan lokalnya baru 80 persen. Kalaupun Anda menemukan ada onderdil yang dari Cina, itu memang dari sana (impor).
Joko Sutrisno: Siswa SMK benar-benar membuat sendiri mesinnya, antara lain engine piston, engine block, dan engine head cover. Kami juga menggandeng perusahaan lokal untuk komponen mesin, seperti PT Pindad.
#Soal bukan pelajar SMK yang merakit Esemka, tapi karyawan Sukiyat.
Jokowi: Sekolah yang mengembangkan Esemka itu ada banyak di berbagai daerah. Untuk Esemka yang ada di Solo, perakitan dilakukan oleh para pelajar. Untuk daerah lain, saya tidak tahu.
#Tentang pencabutan nama Kiat dari Esemka.
Joko Sutrisno: Sejak awal, sebelum melibatkan Kiat Motor, SMK sudah membuat logo mobil berupa roda bergerigi dengan nama Esemka Rajawali. Oleh Sukiyat, logo itu diubah dengan tulisan Kiat Esemka. Saya heran, mereka itu sudah kami angkat tapi lupa diri. Dan anak SMK itu datang ke bengkelnya dikenai biaya amat mahal, Rp 4,5 juta.
#Soal memarahi dan mengancam Sukiyat.
Joko Sutrisno: Saya tidak marah-marah. Buat apa marah-marah? Saya juga tidak mengancam Sukiyat.
Istiqomatul Hayati, Ahmad Rafiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo