Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAHKAN bahasa pun mempunyai kehidupannya sendiri. Sekitar 30 persen dari 756 bahasa daerah di Indonesia terancam punah. Kabar tak sedap ini disimpulkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia saat meneliti "bahasa antik" itu di wilayah timur Indonesia. Dari temuan tim LIPI yang dikirim ke Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, dan beberapa pulau di Maluku, banyak bahasa daerah nyaris hilang.
Bahasa yang nyaris tenggelam ini didefinisikan sebagai bahasa yang digunakan oleh kurang dari satu juta penduduk. Sebagai perbandingan, penutur bahasa Jawa berjumlah 75,6 juta dan penutur bahasa Sunda 27 juta orang. Sekadar gambaran ekstrem: beberapa bahasa lokal di kawasan Nusa Tenggara Timur nyaris hilang, di antaranya bahasa Kafoa dan bahasa Beilel, lantaran penuturnya sedikit. Bahkan bahasa Beilel bisa dikatakan sudah lenyap karena penuturnya tinggal satu orang belaka!
Bahasa daerah yang langka ini wajib dipertahankan. Upaya pelestarian bisa dilakukan melalui rekaman, pencatatan, penulisan, serta penerbitan kamus dan pendidikan bahasa tersebut. Kewajiban mengajarkan bahasa lokal di sekolah-sekolah pemerintah bisa pula ditempuh demi niat luhur ini.
Penyebab kepunahan tentu beragam, misalnya populasi suku itu semakin sedikit akibat perkawinan silang, lalu keturunannya cenderung menggunakan bahasa berbeda. Populasi yang menurun bisa pula dipicu penyakit atau bencana alam, seperti terjadi di beberapa kawasan di Indonesia puluhan tahun silam. Perkembangan teknologi, melalui hadirnya televisi dan radio, dapat juga mengakibatkan para penggunanya memilih bahasa yang lebih populer. Sikap rendah diri menggunakan bahasa lokal karena bahasa daerah lain lebih dominan dan kian populer bisa pula menjadi pencetus. Urbanisasi juga memicu terjadinya adaptasi dengan bahasa yang lazim digunakan di kota setempat.
Proses penelantaran bahasa ini sebetulnya tak terhindarkan. Karena itulah upaya melestarikan bahasa yang nyaris punah ini harus dilakukan sesuai dengan amanat Undang-Undang tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Pada pasal 42 ketentuan itu disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, serta melindungi bahasa dan sastra daerah.
Bahasa hanya bisa hidup jika digunakan secara lisan dan tertulis. Karena itu, jika penuturnya tinggal segelintir, tim peneliti hendaknya mencatatnya ke dalam arsip, atau jika perlu menyusunnya menjadi kamus. Bahasa Latin—yang menjadi bahasa ibu dari berbagai bahasa di Eropa—meski tak lagi digunakan untuk penuturan sehari-hari, kecuali doa-doa di gereja, tetap penting sebagai rujukan sejarah kebudayaan Eropa.
Bahasa lokal di Indonesia tidaklah sebesar dan sepenting bahasa Latin, tapi eksistensinya tetap perlu dicatat dan dipelajari. Jika para peneliti berhasil menyusun kamus berdasarkan penuturan para pengguna bahasa lokal yang jumlahnya cuma segelintir itu, kelak tim peneliti bisa mempelajari tata bahasa (gramatika) hingga penulisan aksara guna melihat kaitannya dengan bahasa daerah lain dan juga dengan bahasa Indonesia.
Ironisnya, proses pengarsipan selama ini lebih sering dilakukan peneliti asing. Peneliti lokal agaknya tak tertarik atau bahkan malas mempelajari kekayaan budaya Indonesia. Karena itu, upaya merekam, meneliti, dan membukukan bahasa yang nyaris punah ini mengindikasikan bahwa anggapan buruk itu tak boleh digeneralisasi. Masih ada peneliti kita yang peduli dan serius mengatasi kian terpuruknya sejumlah bahasa lokal di tengah kemajuan zaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo