Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengendalikan Inflasi Pasca-kenaikan Harga BBM

12 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adrian Panggabean*

Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak telah menaikkan ketidakpastian terhadap tingkat inflasi tahun 2012. Saya berpendapat kenaikan harga BBM, dengan asumsi kenaikan 22-33 persen, kemungkinan besar akan menyebabkan inflasi tahun 2012 naik sedikit di atas 6 persen—atau 50-60 basis point di atas batas target inflasi Bank Indonesia.

Ada tiga konsiderans yang mungkin menyebabkan inflasi tidak mencapai kisaran 7-8 persen. Pertama, struktur ekonomi dan pasar yang telah berubah serta peran dari inflasi inti. Menelaah detail perhitungan beberapa proyeksi inflasi, saya melihat banyak kalangan yang berasumsi bahwa 60-75 persen dari total tambahan inflasi disumbang oleh komponen tidak langsung dari kenaikan harga BBM (second round effects). Artinya, hanya 25-40 persen (dari total tambahan inflasi) yang berasal dari komponen first round effects.

Banyak orang mungkin lupa bahwa angka inflasi inti adalah alat prediksi yang cukup baik terhadap besaran potensi second round effects. Angka inflasi inti di Indonesia sebenarnya telah turun sangat rendah dalam 2-3 tahun terakhir. Angka inflasi inti pada Februari 2012, misalnya, adalah inflasi inti terendah dalam 23 bulan terakhir. Ini sebetulnya bisa memberi indikasi akan kecilnya potensi second round effects dari kenaikan harga BBM. Tapi, untuk lebih yakin, saya mencoba melakukan uji silang argumen.

Untuk sebuah ketidakpastian inflasi bisa menimbulkan efek negatif terhadap pengeluaran konsumsi, biasanya dibutuhkan laju inflasi yang jauh lebih tinggi dari guncangan yang besarnya "hanya" 2-3 persen. Beberapa proyeksi inflasi yang saya telaah mengindikasikan bahwa first round effects hanya memberi kontribusi tambahan sebesar 0,6-1,2 persen di atas benchmark inflasi Bank Indonesia.

Sebetulnya angka sebesar ini tidak cukup besar untuk membuat masyarakat melakukan penyesuaian konsumsi. Observasi ilmiah juga menunjukkan, bila perkiraan first round effects dari inflasi berada dalam kisaran rendah, kesenjangan antara "ekspektasi inflasi" dan "angka inflasi aktual" biasanya tidak berlangsung lama. Artinya, dalam tempo singkat masyarakat akan menyesuaikan ekspektasi inflasi mereka. Dalam bahasa awam, dalam tempo 1-2 bulan momentum inflasi akan turun dan kembali ke trajektori awalnya.

Jangan pula dilupakan bahwa struktur pasar sebenarnya sudah banyak berubah sejak 2005, dan ini mempengaruhi besaran potensi second round effects. Praktek kartel dan tata niaga yang merugikan, yang di zaman dulu menjadi gerbang bagi masuknya inflasi, sudah semakin sulit dipertahankan. Hal tersebut, ditambah persaingan yang lebih tajam, telah memunculkan alternatif produk—baik untuk keperluan konsumsi maupun sebagai input produksi. Akibatnya, pembeli mempunyai banyak pilihan produk sehingga tidaklah mudah buat produsen/penjual untuk menaikkan harga.

Dengan semakin cepatnya arus informasi harga (antara lain via pesan pendek atau SMS, pesan BlackBerry, dan Internet) akan makin sulit buat pengusaha membebankan kenaikan harga BBM kepada konsumen. Dalam struktur pasar yang seperti ini, semakin banyak pengusaha yang bersedia menurunkan margin keuntungannya demi mempertahankan tingkat permintaan konsumen terhadap barang dan jasa mereka.

Konjungtur bisnis global saat ini juga menguntungkan perekonomian Indonesia. Masih runyamnya perekonomian di wilayah Eropa dan Amerika Serikat serta melemahnya perekonomian Cina telah menciptakan lingkungan ekonomi eksternal yang bersifat deflasioner. Artinya, impuls deflasioner dari sisi eksternal akan membantu momentum inflasi untuk tidak beranjak jauh dari trajektori awalnya.

Argumen di atas menyisakan dua variabel lain, yang selama ini menjadi penyumbang terbesar terhadap second round effects: kurs rupiah dan harga pangan.

Mari kita lihat variabel kurs. Dulu, untuk bisa mengundang masuk dana-dana luar negeri, tingkat suku bunga diusahakan selalu lebih tinggi daripada inflasi. Sebab, dibutuhkan suku bunga riil yang positif untuk bisa menarik modal asing. Kurs biasanya mulai guncang pada saat asing, di bawah preteks "risiko investasi", melakukan aksi jual di pasar ekuitas dan obligasi. Aksi jual asing menyebabkan kedua pasar tersebut jatuh karena asinglah yang menguasai sebagian besar aset di pasar finansial. Jatuhnya pasar obligasi dan ekuitas kemudian memicu pelemahan kurs rupiah, yang pada gilirannya menaikkan inflasi karena naiknya biaya impor.

Tapi kita tahu, sejak krisis global 2008, situasi di pasar finansial sudah berubah. Pemain lokal di kedua pasar ini sudah mulai banyak dan umumnya percaya kepada fundamental emiten di bursa. Kepemilikan asing di pasar obligasi mencapai kurang-lebih 30 persen dari total—dan tingginya laju peningkatan kepemilikan asing terjadi sejak krisis global 2008.

Investor asing tidak punya pilihan lain untuk memarkir/menginvestasikan uangnya. Imbal hasil 4 persen di obligasi tenor pendek Indonesia adalah dua kali lipat lebih tinggi dari imbal hasil di surat perbendaharaan negara Amerika Serikat. Spread Indon terhadap T-Bill termasuk yang terendah dibanding negara-negara dengan rating serupa, yang artinya risiko berinvestasi di Indonesia lebih kecil dibanding negara-negara dengan rating serupa. Obligasi lokal pun diberi harga premium alias lebih mahal dibanding negara-negara dengan rating serupa. Ini semua mengindikasikan bahwa aksi beli asing selama ini di pasar obligasi Indonesia terjadi karena (i) persepsi risiko relatif baik dibanding peers kita dan (ii) imbal hasil dari investasi di pasar finansial Indonesia sangat menarik. Lalu apa hubungannya data-data ini dengan proyeksi inflasi?

Bila kita asumsikan tahun ini kita masih belum melihat pemulihan di zona euro dan Amerika Serikat, ada sedikit alasan buat investor asing untuk melakukan aksi jual besar-besaran di kedua pasar ini – sehingga rupiah melemah drastis, biaya impor meledak, dan inflasi meroket. Saat ini tidak banyak pilihan negara sebagai tujuan investasi. Yang mungkin terjadi hanyalah aksi jual asing karena upaya asing untuk menurunkan harga-harga aset finansial Indonesia (yang dianggap mahal).

Jadi aksi jual pada saat first round effects tengah bekerja hanyalah refleksi dari upaya asing menyeimbangkan harga dan/atau motif ambil untung. Artinya, kondisi tersebut (bila nanti terjadi) hanya bersifat temporer. Harga-harga aset finansial (di dalamnya termasuk kurs rupiah) akan cepat kembali ke trajektori awalnya. Implikasinya, peran kurs dalam second round effects akan relatif kecil bila dilihat dalam horizon investasi 6-12 bulan ke depan.

Peran kebijakan

Di balik analisis di atas tentu saja ada asumsi penting, yaitu peran dari kebijakan.

Inflasi adalah bentuk ketidakstabilan antara harga dan biaya, yang kemudian menyebabkan terjadinya peningkatan biaya, harga, dan seterusnya. Maka satu-satunya cara menghentikan naiknya harga pada saat second round effects sedang bekerja adalah dengan menutup insentif produsen untuk menaikkan biaya secara nominal. Dengan demikian, sangatlah penting untuk juga mengasumsikan akan adanya kebijakan tambahan, yang praktis tapi efektif, yang mampu meredam momentum kenaikan biaya sedemikian rupa sehingga kapasitas produksi yang tersedia akan tetap seimbang dengan permintaannya. Kontrol terhadap uang beredar saja tak cukup untuk menghentikan inflasi. Pengendalian tingkat upah nominal dan harga-harga umum perlu juga dilakukan.

Konsisten dengan premis di atas, dalam konteks pasar finansial, otoritas moneter diharapkan berperan aktif dalam memperkecil ruang spekulasi pada saat first round effects sedang bekerja. Keberhasilan otoritas moneter dalam mengendalikan pasar obligasi pada saat first round effects sedang terjadi akan sangat menentukan pola pergerakan inflasi di tahap berikutnya (alias besaran potensi second round effects).

Sebagai catatan, tidaklah salah jika ada yang berpendapat bahwa dalam jangka panjang, bila peran kurs terhadap inflasi hendak diperkecil, ketergantungan industri kita pada komponen impor harus diperkecil secara signifikan.

Akhirnya, second round effects juga akan sangat bergantung pada pola harga pangan dan produk-produk hulu yang mempengaruhi harga pangan. Di masa lalu, kegagalan dalam menghentikan transmisi kenaikan harga BBM ke sektor industri panganlah yang antara lain menyebabkan lonjakan inflasi pada saat second round effects bekerja. Bila pemerintah bisa mengendalikan harga pangan di saat implementasi kenaikan harga BBM, bisa diperkirakan potensi second round effects akan kecil.

Dengan semua pertimbangan dan asumsi ini, saya memperkirakan tambahan inflasi yang muncul akibat kenaikan harga BBM akan, maksimum, berada pada kisaran 2 persen di atas benchmark inflasi Bank Indonesia (yaitu 4,5 persen). Artinya, pascakenaikan harga BBM, inflasi tahun 2012 mungkin hanya mencapai sedikit di atas 6 persen.

* Pemerhati isu ekonomi dan keuangan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus