Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mengakhiri Hidup Lewat Media Sosial

Beberapa orang menyiarkan secara langsung aksi bunuh dirinya lewat media sosial. Depresi menjadi pemicunya.

10 April 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pahinggar Indrawan, warga Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, sempat membuat heboh lantaran menyiarkan aksi bunuh dirinya secara langsung lewat Facebook, pertengahan Maret lalu. Sebelum gantung diri, pria 50 tahun ini mengungkapkan kekecewaannya karena ditinggalkan istri yang sangat dicintainya. Sempat gamang, ia nekat gantung diri. ¡±Kalaupun gue berani melakukan hal yang sebenarnya gue enggak berani, mungkin gue akan siarin secara langsung atau buat kenang-kenangan istri gue," ujarnya.

Menyiarkan langsung bunuh diri lewat media sosial tak cuma terjadi di Indonesia. Di India, Rabu pekan lalu, setelah menenggak beberapa butir pil, M. Pratam melakukan siaran langsung di Facebook. Dengan penuh emosi, pemenangBigg Boss Kannada Musim 4--reality show yang ditayangkan salah satu stasiun televisi India--ini meluapkan kemarahannya atas gosip tentang karier dan kehidupan pribadinya.Pratam menganggap apa yang ia lakukan selalu disalahartikan oleh orang lain. "Saya tak tahan lagi. Ini akan menjadi video Facebook Live saya yang terakhir dan maaf jika saya telah menyakiti siapa saja," katanya, seperti dikutip Indian Express, Kamis pekan lalu.

Pratam tak hanya pamit dari Facebook, tapi juga dari dunia ini. Ia menenggak pil tersebut untuk mengakhiri hidup. Beruntung nyawa Pratam tertolong karena kawannya melarikan dia ke rumah sakit.

Percobaan bunuh diri Pratam itu mengingatkan publik India akan kejadian serupa pada Senin pekan lalu. Arjun Bharadwaj tewas setelah terjun dari lantai 19 sebuah hotel bintang lima di Mumbai. Bahkan, sebelum menjatuhkan diri, lewat Facebook Live, mahasiswa sekolah tinggi ekonomi itu memberikan tutorial cara bunuh diri. Pegawai hotel yang melihat Bharadwaj jatuh melarikan pria 24 tahun ini ke rumah sakit, tapi nyawanya tak tertolong.

Di Amerika Serikat, Katelyn Nicole Davis, 12 tahun, dari Georgia; dan Naika Venant, 14 tahun, dari Miami, juga menyiarkan tindakan gantung dirinya secara langsung. Katelyn, yang menjadi korban kekerasan fisik dan seksual, melakukan bunuh diri pada akhir tahun lalu. Sedangkan Naika, yang mengalami depresi, melakukan hal yang sama sebulan kemudian.

Dokter spesialis kesehatan jiwa Sylvia Detri Elvira mengatakan, meski para korban sama-sama menyiarkan langsung aksinya, latar belakang mereka memilih bunuh diri tak sama. Tapi, pada dasarnya, pilihan mengakhiri hidup biasanya diambil setelah mereka masuk ke kondisi depresi berat. "Mereka merasa sangat putus asa dan hidupnya tak berguna lagi sehingga memilih bunuh diri," ujarnya.

Sylvia mengatakan orang yang menyiarkan bunuh dirinya juga ingin melampiaskan insting keagresifannya. Pelaku bunuh diri ingin orang yang membuatnya depresi ikut menderita dan merasakan apa yang ia rasakan. "Semacam 'lu rasain apa yang gue rasain'," katanya.

Menurut dokter spesialis kesehatan jiwa Andri, fenomena menyiarkan bunuh diri di media sosial bisa terjadi akibat perkembangan teknologi. Dulu, orang yang melakukan bunuh diri biasanya meninggalkan pesan berupa surat, status di media sosial, atau benda untuk orang yang ditinggalkannya. "Namun, dengan kemajuan teknologi saat ini, orang jadi bisa meninggalkan pesan dengan caralive,"ujarnya.

Jika dilihat dari karakternya, menurut dokter spesialis kesehatan jiwa Guntara Hari, orang yang menyiarkan bunuh dirinya ada kemungkinan masuk kategori butuh perhatian. Pelaku bunuh diri ingin apa yang ia lakukan diperhatikan orang lain. "Bukan berniat bunuh diri untuk mati, tapi mereka meminta perhatian," tuturnya.

Bisa jadi, keinginan diperhatikan ini timbul karena keinginannya untuk bunuh diri belum bulat. Dengan menyiarkan secara langsung, mereka sedang menyiratkan mengharapkan orang lain akan membantu mencegah keinginannya itu. "Bisa dibilang orang tersebut minta perhatian atau minta tolong, istilahnyacrying for help," ucap Guntara.

Tapi pada dasarnya, kata Sylvia, niat bunuh diri muncul ketika sudah masuk kondisi depresi berat. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendeskripsikan depresi sebagai gangguan mental umum yang ditandai dengan kesedihan, kehilangan minat, perasaan bersalah atau rendah diri, susah tidur atau kehilangan nafsu makan, perasaan kelelahan, kehilangan minat beraktivitas, serta konsentrasi yang buruk. Disebut depresi jika perasaan, perilaku, dan pikiran ini terjadi minimal selama dua pekan. Nah, jika depresi tersebut sudah mencapai puncaknya, kemungkinan pilihan bunuh diri bisa muncul.

Menurut Sylvia, depresi bukan disebabkan oleh faktor tunggal. Ada tiga faktor yang berkaitan, yakni biologi, psikologi, dan psikososial. Masalah biologi bisa terjadi karena ketidakseimbangan neurotransmiter otak, misalnya karena saat bayi dalam kandungan ibu menderita depresi, atau saat lahir kekurangan oksigen atau hipoksia sehingga ada masalah dalam otak bayi. Sedangkan masalah psikologi biasanya terjadi karena kehilangan sesuatu yang dicintai, contohnya orang terkasih, jabatan, atau pangkat.

Adapun psikososial berhubungan dengan lingkungan sosial penderita, misalnya merasa tertekan karena dirisak, kehilangan pekerjaan, dipermalukan di depan umum, atau merasa tak diperhatikan. "Ketiga faktor ini jadi penyebab. Sampai sekarang orang tak bisa menentukan mana yang paling dominan," ujarnya.

Karena itu, jika ada anggota keluarga yang menunjukkan ciri-ciri depresi tadi, anggota keluarga yang lain mesti waspada. Terlebih jika sudah mulai tak mau mengurus dirinya sendiri, seperti tak mau makan dan tak mau keluar dari kamar.

Sylvia menyarankan cobalah menariknya dari depresi tersebut dengan mengalihkan perhatiannya pada hal lain, misalnya membicarakan hobi. "Jangan malah membicarakan hal yang membuatnya depresi, karena dia belum bisa menerimanya," katanya.

Tapi kalau sudah telanjur melakukan bunuh diri, apalagi secara live, menurut Andri, jangan ikut membantu menyebarkan video tersebut. Sebab, peninggalan itu bisa jadi akan mempengaruhi orang yang sudah memiliki keinginan untuk bunuh diri. "Mereka bisa terpicu untuk bunuh diri," ucap Andri.

Guntara mengatakan orang juga bisa mengikuti cara tersebut. Selain itu, orang yang menonton video orang lain melakukan bunuh diri bisa menganggap tindakan tersebut cara menyelesaikan masalah. "Jadi jangan ikut menyebarkan," katanya.

Nur Alfiyah, Ghoidah Rahmah, Muhammad Kurnianto (Tangerang)


Fakta Soal Depresi

Belum ada yang meneliti fenomena bunuh diri yang disiarkan langsung di media sosial. Depresi bisa menjadi pemicu orang melakukan bunuh diri.

- Secara global, lebih dari 300 juta orang dari segala usia menderita depresi.
- Lebih banyak perempuan yang menderita depresi dibanding laki-laki.
- Sekitar 800 ribu orang meninggal setiap tahun karena bunuh diri.
- Bunuh diri menjadi penyebab utama kedua kematian usia 15-29 tahun. Sumber: Badan Kesehatan Dunia (who)

Sylvia mengatakan orang yang menyiarkan bunuh dirinya juga ingin melampiaskan insting keagresifannya. Pelaku bunuh diri ingin orang yang membuatnya depresi ikut menderita dan merasakan apa yang ia rasakan. "Semacam 'lu rasain apa yang gue rasain'," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus