Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mimpi Buruk Otomatisasi Industri

Penggunaan robot dan mesin dalam industri dianggap lebih efisien dan mampu memperkecil risiko kesalahan yang dibuat manusia. Tak semua pekerjaan dapat dilakukan mesin.

10 April 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBAGAI jenis robot dan mesin otomatis terlihat memenuhi ruangan pabrik PT Ichii Industries Indonesia di kawasan Karawang International Industrial City, Jawa Barat. Tak banyak manusia berlalu-lalang di sana. Pabrik seluas sekitar 3 hektare itu memang hanya mempekerjakan 50 karyawan. Mesin yang mampu memproduksi suku cadang kendaraan bermotor hingga 8.500 unit per tahun itu telah mengambil alih peran manusia.

Junanto Sani Saputra, Managing Director PT Ichii Industries Indonesia, mengatakan hampir 90 persen proses produksi onderdil dikerjakan robot. Tapi, menurut dia, tenaga manusia tetap dibutuhkan. "Sesuai dengan meningkatnya jumlah pesanan dari konsumen, kami akan makin banyak membutuhkan tenaga kerja," ujar Junanto, awal Februari lalu.

Robot juga menjadi tulang punggung PT Astra Daihatsu Motor (ADM) dalam proses produksi. Ada sekitar 300 robot hidrolik bikinan Jepang yang membuat proses produksi berlangsung cepat dan efisien. Saat Tempo berkunjung ke pabriknya, terlihat komponen mobil berpindah dengan lancar menggunakan lengan-lengan elektronik. Dalam setahun, jumlah kendaraan yang diproduksi di fasilitas ini mencapai 200 ribu unit.

Otomatisasi produksi di pabrik yang terletak di Karawang itu mencapai 42 persen atau naik dua kali lipat dibandingkan dengan ketika fasilitas ini didirikan pada 2012. Sisanya dilakukan oleh 2.456 tenaga kerja. "Bila tidak menggunakan robot, proses pembuatannya memerlukan lahan yang lebih luas," kata Kepala Inspeksi Kualitas ADM Frederik Kristianto.

Selain masalah efisiensi ruang produksi, penggunaan robot berdampak besar pada tingkat akurasi dan presisi dalam proses pembuatan mobil. Menurut juru bicara ADM, Agus Nardianto, kombinasi manusia dan mesin bisa meminimalkan kesalahan dalam proses produksi. "Kami harus mengecek berulang kali dalam setiap prosesnya," ujar Agus.

Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) bahkan bersiap mengganti para penyortir lembaran uang dengan mesin. Kepala Divisi Produksi Perum Peruri Suhada Bahariawan menyatakan penggantian itu untuk memperkecil kesalahan produksi. Pada saat ini Perum Peruri, yang mencetak uang kertas dan logam, mempekerjakan 2.364 pegawai.

Dalam sebulan, Perum Peruri mencetak 500 juta bilyet uang kertas. Setiap bilyet berisi 45 lembar uang yang langsung melewati mesin pemotong. Setiap lembar uang yang selesai diproduksi akan melewati pemeriksaan yang dilakukan 170 orang. Pemeriksaan secara manual ini dilakukan hingga dua kali. "Satu orang bisa memeriksa rata-rata 7.000 lembar uang," kata Suhada.

Kesalahan dalam pemeriksaan itu kerap terjadi. Menurut Direktur Utama Perum Peruri Prasetio, kesalahan produksi uang kertas edisi 2016 mencapai 4 persen. Adapun kesalahan produksi uang logam berkisar 0,15 persen. Peruri berusaha menekan tingkat kecacatan uang akibat salah cetak, potong, dan perhitungan. "Kesalahan produksi tidak boleh lebih dari 3 persen," ujarnya di Perum Peruri, Karawang, pertengahan Januari lalu.

Perkembangan teknologi membuat mesin mampu bekerja lebih efektif dibanding manusia. Tingkat kesalahan dalam proses produksi juga bisa ditekan. Peran manusia perlahan berkurang sebagai tenaga kerja dan lebih banyak menjadi pengawas mesin. Mesin berpeluang besar menggantikan pekerjaan manusia yang bersifat pengulangan dengan lebih cepat.

Otomatisasi dan penggunaan robot sudah menjamur secara global. Bukan hanya buruh, mesin juga menjadi pesaing para pekerja dengan latar belakang pendidikan tinggi. Di India, misalnya, menurut studi Horses for Sources, seperti ditulis situs Moneycontrol pada Februari lalu, otomatisasi teknologi informasi bisa membuat sekitar 640 ribu pekerja, termasuk para ahli teknologi informasi, kehilangan pekerjaan pada 2021.

Laporan studi yang dilansir University of Oxford dan lembaga konsultan bisnis Deloitte tahun lalu menyebutkan 77 persen pekerjaan manusia yang bersifat repetitif bisa digantikan oleh mesin. Di Inggris, seperti ditulis The Guardian, proses otomatisasi di sektor layanan publik bisa membuat lebih dari 850 ribu orang kehilangan pekerjaan pada 2030.

Namun Deloitte juga menyatakan perkembangan teknologi mesin membuka peluang pekerjaan baru lebih banyak. Mesin dan robot hanya mengambil alih pekerjaan berat yang sulit dilakukan manusia. Pekerjaan yang memerlukan "sentuhan manusiawi", seperti di bidang pendidikan, kesehatan, dan perawatan, justru meningkat.

Menurut Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ali Ghufron Mukti, perkembangan teknologi membuat otomatisasi dalam proses produksi tak terelakkan. Kondisi tersebut yang membuat sejumlah pekerjaan manusia diambil alih oleh mesin.

Namun, kata Ghufron, teknologi dan mesin sifatnya hanya membantu. Tidak semua pekerjaan manusia lantas bisa diambil alih mesin. "Profesi perawat, terutama untuk orang lanjut usia, hanya bisa dilakukan manusia," tutur Ghufron di kantornya, Selasa pekan lalu. "Tidak mungkin pekerjaan yang memerlukan interaksi personal itu dapat dilakukan oleh mesin."

Bidang pekerjaan teknik yang sarat penerapan teknologi juga tak bisa lepas dari sentuhan manusia. Ghufron memberi contoh Indonesia yang tengah menggenjot pembangunan infrastruktur membutuhkan pekerja dari 15 disiplin studi berbeda. Berbagai bidang ilmu tersebut tidak bisa serta-merta digantikan oleh mesin.

Ancaman terbesar justru terletak pada ketidaksesuaian program studi yang dibuka perguruan tinggi dengan kebutuhan prioritas pembangunan. Indonesia saat ini kesulitan memenuhi permintaan tenaga teknik karena minimnya lulusan berkualitas. Selama ini program studi yang didirikan hanya meniru atau terkait dengan bisnis. "Karena keterbatasan sumber daya, kita harus menerima insinyur asing yang datang bersama investor yang membawa industri dan teknologinya," ucap Ghufron.

Program studi sosial dan hukum masih menjadi pilihan favorit mahasiswa di Indonesia. Secara nasional, menurut data Direktorat Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pada 2016, jumlah mahasiswa yang menekuni bidang studi ini mencapai 50,7 persen. Angka tersebut jauh di atas bidang studi teknik, yang hanya 16,1 persen. Sedangkan kebutuhan sarjana teknik terus meningkat.

Mengenai pesatnya perkembangan teknologi, Wakil Ketua II Sekolah Tinggi Teknik Perusahaan Listrik Negara Djoko Paryoto mengatakan lembaga pendidikan harus mampu menyesuaikan diri terhadap konsekuensi yang menyertainya dengan berfokus pada keunggulan sistem kampus masing-masing. "Perkembangan teknologi adalah tantangan yang harus dihadapi," katanya.

Gabriel Wahyu Titiyoga (jakarta), Hisyam Luthfiana (karawang)


Perkembangan teknologi membuat mesin mampu bekerja lebih efektif dibanding manusia. Tingkat kesalahan dalam proses produksi juga bisa ditekan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus