SEBAGAI Kepala Divisi IV Usaha Transfusi Darah PMI, Dokter H. Masri Rustam, tentu tahu persis AIDS bisa ditularkan lewat transfusi darah. Namun, ia sempat tersentak juga ketika medio Maret lalu menerima pemberitahuan dari pihak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pemberitahuan itu menyebutkan adanya seorang pasien bernama Juliati (bukan nama sebenarnya) yang meninggal akibat AIDS. Dan virus penyakit yang sangat menakutkan itu diduga berasal dari darah yang diterima lewat PMI. Bagi Dokter Masri, ini jelas sebuah cerita baru. Sebab, selama ini, para pejabat di bidan kesehatan umumnya menyatakan bahwa Indonesia masih merupakan negara bebas AIDS (Acquired Immne Deficiency Syndrome). Karena pemberitahuan dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu bersifat serius, Masri pun merasa perlu menanggapinya secara serius pula. Tanpa menunggu lama-lama, ia menyampaikan pemberitahuan itu ke alamat Dokter Suyani, Kepala Lembaga Tranfusi Darah Budhyarto, PMI Jakarta. Lembaga inilah, memang, yang mengelola dan bertanggung jawab atas penyediaan darah di DKI Jakarta. Masri sekaligus meminta agar Dokter Suyani meneliti pendonor mana yang darahnya ditransfusikan kepada pasien yang meninggal itu. Ini tak terlalu sulit dilakukan. Dalam beberapa hari, nama-nama pendonor -- yang kemungkinan mengidap virus HTLV III - bisa diketahui. "Jumlahnya sekitar 40 orang, tutur Masri. Dari satu di antara ke-40 orang itulah diduga -- harap dicatat: baru diduga -- virus berbahaya tadi berasal. Kini, sedang dicari cara terbaik untuk melakukan penelitian terhadap sejumlah donor tersebut. Antara lain, bila mereka kembali ke PMI untuk menjadi donor, darahnya akan langsung diteliti apakah mengandung virus HTLV III atau tidak. Kemungkinan mereka balik ke PMI memang sangat besar. Sebab, menurut Dokter Suyani, mereka umumnya donor tetap yang sudah menyumbangkan darah setidaknya 10 kali. Sayangnya, sampai pekan ini, donatir darah yang diharapkan itu belum ada yang kembali. Dengan kata lain, dugaan bahwa AIDS tersebar lewat transfusi darah masih belum bisa dipastikan. Dokter Suyani malah mengingatkan bahwa transfusi darah bukan satu-satunya "pintu" penularan. Bukan tidak mungkin, katanya, virus berbahaya yang menyerang pasien di atas berasal dari jarum suntik saat ia mendapat pengobatan di rumah sakit. Atau ditulari oleh orang lain, tanpa perantaraan transfusi darah. "Kita harus meneliti dulu kasus ini secara mendalam, dan dari berbagai segi," katanya kepada TEMPO. Di Indonesia, darah yang diberikan kepada pasien berdasar pemeriksaan, sudah dinyatakan bebas dari penyakit hepatitis B dan penyakit kotor. Tapi, bebas AIDS -- karena ini penyakit baru -- masih belum. Tapi peralatan untuk mendeteksi AIDS bukannya tak ada. Di Jakarta, alat tersebut sekurangnya sudah dimiliki Rumah Sakit Cipto dan pihak Litbang Departemen Kesehatan, sejak Agustus tahun lalu. Media tes tersebut, yang disebut reagensia baru lima bulan sebelumnya (Maret) diizinkan beredar oleh FDA otoritas obat dan makanan di AS. Reagensia dalam rangkaian pemeriksaan laboratorium mampu mendeteksi kehadiran antigen virus HTLV III. Dengan adanya antigen (racun) kehadiran virus bisa disimpulkan dengan mengamati semacam grafik. Peralatan model lain bikinan Prancis, dikenal sebagai elavia. Yang dideteksi elavia adalah antibodi khas yang terdapat dalam darah. Antibodi ini muncul kalau penderita memang mengidap AIDS. Celakanya, untuk melakukan pengetesan seluruh stok darah tergolong mahal. PMI jelas belum mampu membiayainya. Menurut Dokter Masri, peralatan laboratorium yang paling murah, harganya mencapai Rp 20 juta per buah. Bila semua Cabang PMI di seluruh Indonesia yang berjumlah 104 mesti dilengkapi dengan peralatan tersebut, berarti harus tersedia anggaran Rp 2 milyar. Belum lagi biaya pengoperasiannya, yang untuk setiap sampel darah diperlukan Rp 10 ribuan. Bila dalam setahun tercatat ada 450 ribu donor, berarti diperlukan dana sebesar Rp 4,5 milyar "Siapa yang akan membiayai?" kata Masri. Untuk pengeluaran rutin saja, selama ini Masri sudah merasa kewalahan. Apalagi mulai tahun anggaran 1986/1987 ini bantuan dari Departemen Kesehatan, yang biasanya sebesar Rp 200 juta, anjlok menjadi Rp 50 juta saja. "Ini karena anggaran Departemen Kesehatan menciut," tutur Masri. Tapi, pada pertengahan April ini Masri akan menghadiri sidang WHO di Jenewa, yang akan membicarakan masalah pencegahan AIDS melalui transfusi darah. Siapa tahu, dari sana ada masukan baru tentang cara pencegahan yang murah dan cepat. Sebuah sumber di PMI DKI Jakarta mengungkapkan, bila dipandang perlu dan mendesak, bisa saja biaya pemeriksaan darah, untuk mendeteksi AIDS dibebankan kepada keluarga pasien. "Untuk keluarga yang mampu mungkin tak menjadi soal.-Tapi, bagaimana ya, bagi keluarga yang ekonommya pas-pasan?" kata sumber itu. Dari pemerintah sendiri, dalam hal ini Departemen Kesehatan, agaknya sulit bisa diharap ada bantuan dana yang cukup. Terlebih dalam situasi perekonomian yang sulit dewasa ini. "Dana yang ada, lebih baik 'kan untuk memberantas penyakit menular seperti diare, yang sudah jelas menimbulkan angka kematian yang tinggi," kata dr. M. Adhyatma, M.P.H., Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Permukiman. Dokter Masri tampaknya belum begitu antusias menghadang berkembangnya AIDS. "Di AS saja, kematian karena AIED masih jauh lebih kecil dibanding kematian akibat disambar petir," katanya. Kematian akibat sambaran petir adalah 1 berbanding 600 ribu penduduk, sedangkan akibat AIDS, 1 berbanding sejuta orang. Surasono Laporan Ahmed Soeriawidjaja & Gatot Triyanto (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini