Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Direksi dalam Segepok Dakwaan

Mantan direksi Bank Mandiri diadili. Jaksa penuntut umum menjerat ketiga bankir itu dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

17 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Duduk di kursi terdakwa di Peng-adilan Negeri Jakarta Selat-an, Senin pekan lalu, Edward Cornelis William Neloe, I Waya-n Pugeg, dan M. Sholeh Tasr-ipan tampil necis sebagaimana lazimnya pa-ra bankir. Berkemeja putih plus dasi de-ngan setelan celana warna gelap.

Inilah sidang pertama yang mengadili mantan Direktur Utama Bank Mandiri dan dua teman sejawatnya. Mereka didakwa melakukan korupsi dalam kasus pemberian kredit Bank Mandiri senilai Rp 160 miliar kepada PT Cipta Graha Nusantara.

Jaksa penuntut umum Baringin Sianturi menjerat ketiga bankir itu dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korup-si. Pasal yang dipakai adalah perihal mem-perkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada karena jabatan atau keduduk-an, yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Ancaman ba-gi pelanggar pasal ini bisa penjara se-umur hidup dan denda Rp 1 miliar.

Jaksa Baringin menilai, ketiga dire-ksi melakukan sejumlah kesalahan dalam memberikan persetujuan dana talangan (bridging loan) kepada PT Cipta Graha Nu-santara, yang lantas memakainya- un--tuk membeli aset PT Tahta Me-dan. Ke-salahan direksi tersebut di antara-nya tidak prudent alias hati-hati, tak me--la--kukan penilaian atas kelayakan per-mo-honan kredit dengan proyek yang di-biayai, tidak mendasarkan persetuju-an mereka pada penilaian yang cermat, serta tak mengindahkan Ketentuan Pedom-an Pelaksanaan Kredit Bank Mandiri.

Dalam perihal tak melakukan penilai-an atas kelayakan permohonan kredit, misalnya, menurut jaksa, aset kredit PT Tahta Medan ternyata hanya di-beli Rp 97 miliar oleh PT Trimanun-ggal Man-diri Persada dari Badan Penye-hat-an Perbank-an Nasional (BPPN). ”J-adi, dana yang dibutuhkan untuk membeli-nya tak perlu sebesar Rp 160 miliar,” kata Ba-ringin.

Jaksa juga menuding ketiga bankir ini tak melakukan penilaian cermat lantar-an nota analisis kredit pada 23 Oktober 2003 dibuat hanya dalam waktu sehari oleh Analis Kredit Bank Mandiri. Padahal, menurut jaksa, pembuatan nota ana-lisis biasanya membutuhkan waktu seminggu sampai sebulan.

Adapun pelanggaran terhadap Keten-tuan Pedoman Pelaksanaan Kredit PT Bank Mandiri ialah dengan ditemukan-nya bukti bahwa PT Cipta Graha Nu-san-tara ternyata baru berdiri pada 23 April 2002 atau enam bulan sebelum peng-ajuan kredit. Padahal, menurut ke--tentuan Kredit Bank Mandiri, u-ntuk mendapatkan kredit, debitor harus mem-punyai neraca laba rugi tiga tahun terakhir dan neraca tahun yang sedang ber-jalan atau neraca pembukaan bagi per-usahaan baru berdiri.

Akibat pelanggaran itu, kata Baringi-n, negara dirugikan dan memang terbu-kti debitor tak bisa membayar angsuran po-koknya. Dalam catatan jaksa, sejak triwulan IV 2003 sampai triwulan II 2005, angsuran pokok yang seharusnya dibayar US$ 6.300.000. Kenyataannya, hingga 23 Juni 2005 baru dibayar US$ 150.000. ”Jadi, yang belum dibayar US$ 6.150.000 atau Rp 58,425 miliar.”

Dakwaan jaksa yang ditulis setebal 82 ha--laman itu mendapat tang-gap-an dari tim penasihat hukum Neloe dkk yang dipimpin pe-ngacara O.C. Kaligis. Tim Ka-ligis ini bahkan langsung menyampai-kan nota keberatan atas dakwaan tadi. Me-nurut Rocky Amondatu, salah satu anggota dari tim pengacara, nota itu telah disiapkan seminggu setelah pihaknya menerima salinan dakwaan jaksa.

Sejumlah keberatan yang disam--pai-kan tim pembela Neloe, pert-ama, masa-lah yang terkait dengan pertanggung----jawaban. Menurut Kaligis, sesuai dengan Ketentuan Perkreditan Bank Mandiri, kesalahan dan atau kelalaian da--ri pe--jabat atau bagian organisasi yang berad-a di bawah Neloe merupa-kan tang-gung jawab individu masing-ma-sing. ”Ka-rena mereka juga memiliki kewe-nang-an memutuskan,” kata Kaligis.

Kaligis lantas menunjuk Choirul A-n-war, Susana Indah Kris Indriati, dan Su-cipto, yang dalam dakwaan jaksa disebut pembuat nota analisis kredit, tapi tidak dimintai pertanggungjawaban. ”Ada diskriminasi. Padahal, tanpa nota analisa tidak bisa membuat keputusan pemberian kredit,” kata pengacara itu.

Kedua, soal penggunaan Undang-U-n-dang Tindak Pidana korupsi. Me-nurut Kaligis, yang seharusnya dipakai da-lam menyidangkan kasus ini adalah U-ndang-Undang Nomor 10/1998 te-ntang Perbank-an, yang di sana pun terdapat pasal yang mengatur pidana dan sanksi administratif jika terjadi kasus semacam ini. Menurut Kaligis, dipa-kainya UU N-omor 10/1998 itu sesuai de-ngan Pasal 63 ayat 2 KUHP, pasal yang menjadi dasar prinsip lex specialis derogat legi generali, hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum.

Jaksa, menurut Kaligis, juga telah me-lakukan praktek kriminalisasi perbankan, karena kasus ini sebenarnya merupakan perdata. ”Selain itu, dakwaan jaksa juga tidak cermat dan tidak lengkap karena tak ada unsur kerugian ne-gara dalam kasus ini,” kata Kaligis. Tak adanya kerugian, menurut dia, ka-rena masa jatuh tempo pengucuran kredit ini baru pada September 2007.

Pakar hukum pidana Univers-itas In--do--nesia, Rudy Satriyo Mukantardj-o, agak-nya juga melihat dakwaan jak-s-a ba-nyak yang bolong. Tentang per-tang-gung---jawaban pidana, misalnya, menurut Ru-dy, pada Bank Mandiri tentu ada level di bawah direksi yang secara teknis bertanggung jawab. ”Itulah yang pertama kali harus diminta pertanggungjawab-an pidana.” Rudy juga menilai penggunaan Undang-Undang Korupsi dalam kasus ini tidak tepat. ”Seharusnya memakai Undang-Undang Perbankan,” katanya.

Tidak demikian pendapat Koordinator Indonesia Corruption Watch, Teten Masduki. Dia tak sepaham dengan pandang-an Rudy. Menurut Teten, Neloe dan dua terdakwa lainnya tak bisa menghindar dari pertanggungjawaban dalam kasus ini karena telah melakukan intervensi. Dalam dakwaan jaksa, kata Teten, Neloe memerintahkan agar kredit ini diproses meski analisis kredit belum selesai. ”Itu kan bentuk intervensi,” kata Teten.

Kasus ini juga tidak bisa dilihat semata-mata sebagai soal kerugian negara dalam arti fisik. Menurut Teten, ada unsur kredit macet di sana sehingga diperlukan penjadwalan utang kembali. ”Kalau kredit itu tidak macet, uang itu bisa dimanfaatkan untuk mengge-rakkan perekonomian,” kata dia. Teten lalu mengingatkan penyimpangan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia beberapa tahun silam yang akhirnya ditanggung rakyat hingga kini.

Baringin sendiri tampaknya tenang-tenang saja dengan beragam argumen hukum yang dilancarkan pengacara Neloe. Menurut keyakinan jaksa, yang dilakukan Neloe jelas korupsi. ”Yang saya dakwakan tidak diatur dalam UU Perbankan,” katanya. Ia juga menegaskan, dalam kasus ini tak perlu ada kerugian negara dalam pengertian konkret. Saat direksi menyetujui fasilitas kredit yang bertentangan dengan ketentuan perkreditan atau prinsip kehati-hatian, kata Baringin, itu sudah dapat merugikan keuangan negara.

Abdul Manan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus