BOLEH percaya, boleh ~tidak, bukan hanya orang, tapi rumah, hotel, bahkan kampus pun, bisa diruwat. Kampus Gadjah Mada misalnya, setelah mengalami ruwatan pada tahun 1987, barulah terbebas dari kecelakaan lalu lintas, yang dahulu sering terjadi di sekitarnya. Dan entah mengapa, dalam dua tahun terakhir, ruwatan semakin sering diadakan, khususnya di kalangan masyarakat Jawa. Sebenarnya, ruwatan diselenggarakan untuk anak-anak yang terlahir sebagai anak rawan bencana. Ke dalamnya termasuk anak tunggal (ontang-anting), dua bersaudara lelaki perempuan (kendhana-kendhini), kembar, empat bersaudara (saromba), dan lima bersaudara ~(pandawa) semua lelaki atau perempuan semua (pandhawi sarimpi). Mereka ini dianggap menanggung beban sukerta, alias kotor dan punya noda sejak lahir. Karena noda itu, anak-anak sukerta itu merupakan mangsa empuk Batara Kala --dewa berwujud raksasa yang bukan main galaknya. Untuk menangkalnya, mereka harus disucikan dengan upacara ruwatan -- tradisi yang sudah turun-temurun. Jika tidak, salah-salah bisa sial seumur hidup. Ruwatan biasanya diselenggarakan pagi hari dengan syarat dan prosesi khusus. Berbagai macam sajen harus disediakan. Lima jenis hasil bumi, tumpeng, tujuh jenis rujak, dan bermacam buah-buahan yang dipersembahkan kepada kebesaran Tuhan. Buat anak yang akan diruwat harus disediakan kain kafan enam meter. Itu saja belum cukup. Sebuah ruwatan yang sempurna harus diisi dengan wayang kulit. Ruwatan memang bermula pada salah satu epis~de cerita wayang: Murwakala, tentang Batara Kala. Syahdan tersebut kisah, jagat dewata dirisaukan oleh lahirnya sang batara yang satu ini. Dia lahir dari nafsu berahi Batara Guru -- raja para Dewa -- pada istrinya. Dewi Uma. Saat itu keduanya sedang melayang di atas samudera. mengendarai Lembu Andini. Karena itu pula, Uma menolak ajakan Batara Guru. Tapi nafsu sang dewa sudah mencapai puncak hingga spermanya jatuh ke laut, lalu menjelma jadi makhluk raksasa bernama Batara Kala, makhluk yang sebenarnya tidak dikehendaki para dewa. Kala pun tumbuh besar dan sakti mandraguna. Kahyangan gonjang-ganjing ketika Kala mencari bapaknya. Mula-mula Batara Guru enggan mengakuinya. Kala marah sekali. Semua dewa yang ingin mengusirnya dihajar sampai babak belur. Selain sakti. Kala punya selera makan dahsyat. Dia doyan daging manusia. Ini yang membuat Batara Guru dan segala dewa cemas. Karena gentar, dewa-dewa tak berani terang-terangan melarangnya. Maka Batara Guru menyusun siasat dengan membuat perjanjian. Kala dibolehkan turun ke bumi, dan diizinkan memangsa manusia, asalkan anak itu lahir suker~a, yakni enam golongan anak tersebut di atas. Maka, korban anak sukerta berjatuhan di muka bumi. Lagi-lagi Batara Guru gundah. Dia mengutus Batara Wisnu ke bumi, yang sekali waktu terlibat pertarungan sengit melawan Kala. Mengapa? Karena Wisnu mencoba melindungi anak ontang-anting yang diburu raksasa rakus ini. Ba~gusnya, seusai pertarungan Kala berjanji tidak akan melahap anak sukerta yang sudah diruwat. Ruwatan adalah upacara sakral, yang dipimpin oleh seorang dalang. Biasanya, dalang itu haruslah dalang pilihan. Sebelum meruwat dia harus puasa tujuh hari, dan dilarang bermain asmara dengan istri. Satu hal lagi, sebelum bertugas, sang dalang harus mandi air telaga bertabur bunga. Masih ada satu syarat yang sedikit aneh: sang dalang harus sudah punya menantu. Yang menyenangkan tentu saja, honornya cukup besar -- lebih besar dari honor untuk pertunjukan wayang kulit biasa. "Saya pernah diberi Rp 3 juta," ujar Kanjeng Raden Tumenggung Probohardjono, dalang dari Keraton Surakarta. Wajar jika biaya ruwatan menjadi sangat mahal. Tak jarang penyelenggara harus menyediakan minimal Rp 6 juta - Rp 7 juta. Sebenarnya, ruwatan bisa berlangsung tanpa menan~ggap~ wayang kulit. Boleh dengan membaca doa-doa saja. "Yang penting, tujuannya. Yakni mencari keselamatan," ujar H. Karkono Kamajaya Partokusumo, Ketua Lembaga Javanologi Yayasan Panunggalan, Yogyakarta. Tapi bagi keluarga kaya, ruwatan dijadikan peluang untuk menunjukkan status sosialnya. Keluarga Syamsuddin, misalnya, pernah mengeluarkan Rp 15 juta untuk meruwat sekaligus menikahkan putri tunggalnya Retno Lawiyani. Bagi Syamsuddin, yang seorang pengusaha sukses, uang sebegitu itu perkara gampang. Lain halnya dengan keluarga yang hidup pas-pasan. Lalu, Desember tahun lalu, manajemen Hotel Ambarrukmo, Yogyakarta, untuk pertama kali menawarkan paket ruwatan masal, sekaligus untuk 22 keluarga, masing-masing cuma dikenai biaya Rp 250 ribu. Dengan uang itu setiap keluarga boleh meruwat 10 orang. Kalau lebih, Ambarrukmo mengutip uang tambahan Rp 7.500 per kepala. Ringan. Langkah itu ditiru Lembaga Javanologi. Di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yogyakarta, September lalu 28 keluarga dengan 60 anak mengikuti upacara sakral itu. Biayanya bervariasi. Anak ontang-anting dikutip Rp 100 ribu, pandhawa alias lima anak dengan jenis kelamin sama dipungut Rp 200 ribu. Lalu, setiap anak masih dipungut Rp 5.000 untuk membeli kopohan -- kain kafan yang akan diguyur air sampai kuyup seusai memenonton wayang. Ternyata, paguyuban "Reno Budoyo", Surabaya, juga sudah mengadakan ruwatan masal pada tahun 1989, yang berlanjut pada bulan Mei tahun ini. Upacara yang pertama menyertakan 244 orang (termasuk WNI keturunan Cina), sedangkan yang kedua 378 orang. Ketika TEMPO menelusuri lebih jauh, tradisi ruwatan juga ditemukan di Jawa Barat -- semula disebut lokat -- Bali, dan Lombok. Dalam banyak hal, kelengkapan dan prosesinya juga sama. Tapi pernah terjadi di Bandung, sebuah ruwatan memerlukan 42 jenis sesajen. "Saya percaya, ruwatan adalah sesuatu yang sakral, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan," ujar Drs. Ehom Soehardjo, lulusan Gadjah Mada yang belum lama ini diruwat di Hotel Ambarrukmo. Ya, jika percaya, mengapa tidak? Priyono B. Sumbogo, Tri Jauhari, IDa Farida, Siti Nurbaiti, dan Zed Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini