Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bila dokter bukan pegawai negeri

Rumah sakit harus mampu menjadi badan swadana. perlu manajemen yang canggih. ada beberapa kekhawatiran bila dokter bukan pegawai negeri. antara lain hijrah dokter ke swasta. perlu pemecahan.

6 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH Daerah Purwokerto berniat membangun ~sebuah rumah sakit yang representatif dan lumayan mo~dern. Tetapi, setelah pembangunan berlangsung setengah jalan, ternyata tidak cukup dana untuk menyelesaikannya. Pemerintah provinsi pun tidak sanggup menolong, demikian pula pemerintah pusat. Maka, dicarikanlah bantuan dari luar negeri agar niat yang sudah setengah jalan itu tidak terbengkalai. Nasib baik buat Pemda Purwokerto, tetapi tentu saja pengalaman semacam itu tidak baik ditiru daerah lain. Pemerintah memang tidak mempunyai cukup dana untuk membangun rumah sakit, meski kebutuhan makin meningkat. Rumah sakit adalah institusi padat modal, padat karya, padat teknologi, dan harus selalu siap menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi kedokteran. Jumlah yang dapat ditolong pun terbatas, sebesar jumlah tempat tidur dan fasilitas medis yang dimiliknya. Maka, dapat dimengerti jika pemerintah mengandung niat mengundang investor asing dan domestik untuk membangun rumah sakit. Bahkan rumah sakit pemerintah sendiri sudah dinyatakan harus mampu jadi badan swadana. Perubahan sikap pemerintah ini harus diikuti dengan perubahan kebijaksanaan lain, yang selama ini dianggap sudah baku. Ada beberapa hal yang perlu diubah, di antaranya adalah tentang klasifikasi rumah sakit dan tentang penyediaan tenaga medis dan paramedis. Selama ini pemerintah memiliki klasifikasi rumah sakit yang disebut sebagai tipe A, B, C, dan D, yang pada dasarnya lebih dilandasi oleh kemampuan dan keterbatasan pemerintah untuk menyediakan dana serta sarana yang dimilikinya. Tidak dengan sebenarnya dilandasi oleh kebutuhan nyata (the real needs) yang ada di masyarakat yang akan dilayani. Kini dengan mengharuskan rumah sakit menjadi swadana klasifikasi yang demikian alasannya itu tidak dapat dipertahankan. Artinya, rumah sakit daerah yang semula hanya boleh bertipe C boleh saja mengubah dirinya ke kelas yang lebih tinggi, kalau memang need dan resources di daerah itu dapat menopangnya. Dan klasifikasi yang akan datang juga harus memperhitungkan kemampuan manajemen serta mutu pelayanan medis yang diberikan. Sehingga penilaian terhadapnya dapat menjadi pemacu untuk meningkatkan mutu pelayanan dan efisiensi. Setiap rumah sakit boleh saja meningkatkan dirinya ke tingkat yang lebih tinggi, asal mereka mampu. Masalah lain adalah penyediaan tenaga medis dan paramedis. Sebagai badan swadana, rumah sakit memerlukan manajemen yang piawai dan tangguh. Pimpinan rumah sakit harus diberi kepercayaan penuh, dan juga kewibawaan yang cukup untuk membuktikan kepiawaian manajerialnya. Hal itu akan tercapai jika ia juga diberi wewenang untuk merekrut atau memecat pegawainya. Dokter yang merasa bertugas karena perintah Depkes tentu tidak begitu saja dapat dipecat kepala rumah sakit jika ternyata tidak mengikuti aturan main di rumah sakit tersebut. Secara teoretis bisa saja hal itu diusulkan ke atas, tetapi dalam praktek keputusan pemerintah belum tentu sejalan, atau memakan waktu cukup lama. Ini sama sekali tidak menopang kewibawaan kepala rumah sakit yang kini harus mempertanggungjawabkan mutu dan efisiensi manajemennya. Karena itu, pengumuman Menteri Penerangan untuk melepaskan dokter dari keharusan menjadi pegawai negeri baru-baru ini sebenarnya juga merupakan konsekuensi logis dari perkembangan yang terjadi selama ini, termasuk keinginan pemerintah melakukan desentralisasi yang lebih luas. Sekaligus juga meringankan beban pemerintah pusat, sehingga dana yang tersedia mungkin dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dokter yang masih bekerja di pemerintah. Lalu apa yang akan terjadi sesudah itu? Pertama, kekhawatiran bahwa banyak dokter yang pandai yang akan hijrah ke swasta perlu diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan, penerapan merit system yang obyektif dan memacu orang untuk berprestasi, dan perlakuan yang atraktif lainnya. Kedua, sebagai pengimbang peningkatan kesejahteraan, perlu pembatasan yang lebih ketat terhadap kesempatan mencari pekerjaan tambahan di luar pemerintah. Hal itu juga perlu untuk menjamin agar mereka mampu memberikan mutu pelayanan yang lebih baik. Ketiga, sistem penggajian di rumah sakit pemerintah tidak harus seragam, tergantung kemampuan rumah sakit yang kini sudah swadana. Daerah boleh menawarkan daya tarik tersendiri, jika ingin memperoleh dokter yang baik dalam jumlah yang cukup untuk bekerja di rumah sakit daerahnya. Keempat, persaingan antar-rumah sakit, baik antara milik pemerintah yang sudah swadana dan swasta, maupun di antara mereka sendiri, perlu dipacu untuk mengarah kepada peningkatan mutu pelayanan. Untuk itu, para pengelola rumah sakit harus diingatkan agar tidak mengajak dokter ikut jadi pencari konsumen. Misalnya, keharusan memasukkan sekian pasien dalam sebulan. Dokter harus dibebaskan dari tugas marketing, tetapi mutu pelayanan yang diberikannya dapat saja dijadikan bahan untuk marketing oleh pimpinan rumah sakit. Kelima, perkembangan dan pendidikan spesialisasi harus dibuka lebih luas. Bila perlu boleh saja rumah sakit swasta yang memenuhi nilai akreditasi tertentu dijadikan sebagai tempat pendidikan. Dalam akreditasi ini termasuk adanya dokter yang berkualitas pendidik dan adanya sarana penopang pendidikan lainnya. Di sini diperlukan jiwa yang besar dari perhimpunan dokter untuk melepaskan diri dari kungkungan yang tidak didasari alasan yang obyektif. Keenam, kriteria penempatan seorang dokter spesialis, kecuali dalam hal penentuan kualifikasinya, tidak boleh dicampuri oleh organisasi profesi dan sepenuhnya ditetapkan oleh tiap manajemen rumah sakit sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Terakhir, diperlukan kemampuan dan kesiapan organisasi profesi dokter untuk ikut mengawasi mutu pelayanan anggotanya. Tanpa keikutsertaan mereka, sangat sulit untuk menetapkan tolok ukur mutu pelayanan medis yang diberikan oleh setiap dokter dan rumah sakit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus