DELAPANBELAS tahun yang lalu, setelah tamat SD ia mengikuti
pamannya ke Surabaya. Di sana ia dipekerjakan pada perusahaan
ekspedisi. Tiga tahun kemudian, ia berkenalan dengan Haji
Mustape, pemilik tiga buah perahu pinisi yang berasal dari
Watambone. Saat itu kebetulan sebuah kapalnya membutuhkan
nakoda. Atas izin pamannya, Baidawi, pemuda tamatan SD itu,
kemudian mengubah arah hidup jadi pelaut.
"Ada juga rasa bosan dan takut," kata Baidawi mengenang
hari-hari pertamanya. Bila sudah tcrkepung di tcngah laut,
dengan pemandangan semata-mata laut sejauh mata mcmandang, atau
sekali-sekali burung camar melayang--hatinya pun jadi ciut. Atau
bila layar tiba-tiba sobek digasak angin. "Menyaksikan itu
keinginan untuk berhenti jadi kelasi sangat besar, tapi manakala
pinisi sudah bersandar ke pelabuhan, keinginan itu tidak
terpikir lagi," katanya.
Ngobyek
Dengan menyandang pangkat nakoda, ia kini memiliki dua orang
anak. Dan ia sudah mantap sebagai pelaut. Penghasilannya Rp 60
ribu untuk sekali berlayar. (Surabaya-Banjarmasin, sekali dalam
20 hari). Sebenarnya jarak Surabaya-Banjarmasin hanya 48 jam
perjalanan. Tapi karena menunggu muatan, jadi berlarut-larut.
Perahu pinisi bernama Taqwa Illahi yang dikelola Baidawi, tujuh
tahun yang lalu berharga Rp 6 juta. Kini sudah bernilai Rp 12
juta. Sekali trip keuntungannya sekitar Rp 900 ribu. Pendapatan
ini dibagi duapuluh persen hak nakoda, lima persen kelasi dan
selebihnya hak pemiliknya. Selain dapat komisi, Baidawi dan
anak buahnya ada penghasilan lain. "Kami bisa membawa barang
(meskipun tidak banyak) untuk dijual," kata Baidawi sambil
menunjuk beberapa anak buahnya yang ngobyek membawa pici.
Riwayat Baidawi menjabat nakoda memang agak lucu. Ia tidak
memiliki sertifikat dan tidak pernah diuji. Pada 1973 Haji
Mustape mengutusnya ke Watambone untuk mencari pembuat perahu
pinisi. Pekerjaan membuat perahu itu makan waktu satu tahun
--selama itu Baidawi bertindak sebagai pengawas. Tatkala perahu
yang panjangnya 42 meter dengan daya angkut 100 ton itu rampung,
nakodanya tak ada. Langsung Baidawi yang menjahatnya.
Kini setelah tujuh tahun jadi nakoda Taqwa Illahi, Baidai
berpetuah: yang paling penting bagi seorang nakoda kapal pinisi
adalah keahlian membaca turunnya badai kencang, di samping
membaca peta dan kompas. "Jika awan hitam nyaris menjilat
permukaan laut dlri jarak 2 atau 3 mil itu tandanya akan terjadi
angin ribut," katanya memberikan contoh. Setiap nakoda yang
melihat hal itu harus segera bertindak. Layar harus "dibunuh"
setengahnya. Artinya layar tidak boleh dikembangkan penuh,
karena bisa robek atau perahu terbalik.
Sekali peristiwa Baidawi terlambat memberikan perintah
menurunkan layar. Akibatnya tiang (pucuk) patah dan layar robek.
Tujuan Banjarmasin tidak tercapai. Taqwa Illahi terdampar di
Balikpapan. Terpaksa muatan garam yang dibawa dijual di tempat
itu. Namun setelah diusut, telah terjadi kesalahan komunikasi.
Baidawi mempergunakan istilah "bunuh" untuk maksud menurunkan
layar. "Kami bingung mendengar istilah itu, karena tidak
mengerti," kata Muis, kelasi yang berasal dari Sumba.
Anak buah Baidawi berjumlah 16 orang. Ada yang berasal dari Jawa
rimur, Sumbawa dan Watambone. Masing-masing memiliki istilah
berbeda tentang perlengkapan kapal pinisi. Untung karena
pergaulan antara mereka sudah cukup lama kesulitan komunikasi
itu kini sudah dapat diatasi.
Abdul Rahman, nakoda kapal layar Normal, juga tidak pernah
mengenyam pendidikan formal. Putra Bone ini terus-terang mengaku
buta huruf. "Tapi sebenarnya otak kita semua sama," ujarnya,
"memang kabarnya untuk jadi nakoda perahu layar bermotor harus
memakai ijazah, padahal belum tentu nakoda perahu layar biasa,
seperti saya ini, kalah sama mereka yang di perahu bermotor
itu," katanya menambahkan.
Ayah dari 3 orang anak ini sudah sejak 1955 bergaul dengan
perahu, tatkala usianya masih 18 tahun. Pada 1962 ia pernah
menjadi nakoda di perahu pinisi Kurnia Illahi yang berdaya
angkut 120 ton. Ia mengaku tak pernah dapat kesulitan dalam
pelayaran. Paling banter terlambat karena tak ada angin--tapi
ini hanya soal kesabaran menunggu.
Tahun lalu memang tiang layar perahunya patah, tapi bukan karena
kesalahan. Waktu itu tiba-tiba saja bertiup angin kencang ke
arah perahunya. Sebenarnya kejadian ini biasa. Yang disesalkan
Rahman, Jawatan Pelayaran tak segera membantunya dengan mengirim
kapal tunda. Terpaksa 5 hari perahunya nongkrong.
Pembagian rezeki Abdul Rahman dengan pemilik perahu adalah satu
banding satu -- setelah dikurangi ongkos makan dan biaya
pelabuhan. Tentu saja semua tergantung pada jumlah muatan.
- Bagi Rahman syarat menjadi nakoda tidak cukup hanya kalau ada
kepercayaan dari pemilik perahu. Syarat lebih utama adalah
kepemimpinan. "Karena biar kita telah mendapat kepercayaan,
kalau tidak ada yang mau ikut, bagaimana bisa jadi?" tanyanya.
Rahman yang buta huruf akhir-akhir ini mendapat kesulitan,
karena petugas pelabuhan melarangnya membubuhkan tanda-tangan
dengan cap jempol saja. Petugas pelabuhan mengatakan cap jempol
bisa dipalsu. Akhirnya Rahman kini terpaksa mulai belajar khusus
untuk membuat tanda-tangan.
"Kita senang berlayar karena kita merdeka, tak ada yang
perintah. Kerja di kantor ada jam kerja dan harus patuh pada
atasan," kata Rahman. Tapi ia mengakui kesenangan itu harus
dibayar dengan sering berpisah dengan keluarga. "Kadang sampai 3
bulan, tapi karena sudah terbiasa, kami bisa tahan," ujarnya. Ia
mengaku tidak suka main perempuan atau minuman keras seperb
pelaut-pelaut lain. "Merokok pun saya tidak senang. Sudah saya
gariskan bahwa yang boleh ikut dengan saya hanyalah yang taat
beribadah, tidak minum dan main perempuan," ujarnya dengan
sungguh-sungguh.
Daeng Manakku asal Bugis Bone, nakoda kapal Aneka Layar juga
mengatakan sudah biasa berpisah dengan keluarga. Ia sudah 30
tahun makan garam pelayaran. Belum pernah dapat bahaya.
Menurut Daeng, hampir semua jenis perahu layar sama saja. Cuma
cara pembagian hasilnya yang beda. Kalau pinisi, tanpa
memperhitungkan ongkos-ongkos, uang sewa langsung dibagi dua
antara awak kapal dengan pemilik perahu. Di kapal layar jenis
lambo, perongkosan dipoong. "Tradisi aturan memang mengharuskan
begitu, jadi kami merasa terbantu," ujar Daeng (50 tahun).
Daeng adalah ayah dari empat anak dan kakek dari tiga orang
cucu. Berpisah dengan keluarga rata-rata sampai tiga bulan, tapi
tak pernah merasa kesepiam Ia juga bukan pemain perempuan atau
pemabuk. "Anak buahnya juga saya larang minun-minuman haram,
karena bisa membuat kita celaka," tuturnya. Ia dan anak buahna
rajin salat 5 waktu. Bila ia mendapat firasat ada sesuatu yang
akan terjadi, ia segera melakukan salat hajat. "Modal kita
berlayar dan keberanian dan kejujuran," katanya lebih lanjut.
Dihimpit Utang
Hidup nakoda perahu layar umumnya cukup baik. Namun tidak
demikian halnya dengan Djali, kelahiran Pagatan, Banjarmasin --
yang menjabat jurumudi. Ia sudah 33 tahun setia pada kapal
layar. Hidupnya sdlalu terhimpit utang dan selalu merasa
penghasilannya tak pernah mencukupi.
Djali, anak sulung dari tujuh bersaudara, berkenalan dengan
perahu secara kebetulan. Lelaki yang tak pernah sekolah ini
awalnya berniat jadi petani. Ketika tentara NICA memasuki
Banjarmasin pada 1946, para pemuda lari dengan sampan ke Jawa,
Maluku atau Sulawesi. Djali terlempar di Ujungpandang. Usianya
waktu itu masih 14 tahun. Ia tidur di pasir pelabuhan dan
mengandalkan belas kasihan orang. Sampai seorang juragan perahu
menawarkan kerja di perahu.
"Tanpa pikir panjang, apalagi setelah digambarkan betapa enaknya
kerja di perahu, bisa lihat mana-mana, tawaran itu saya terima,"
ujar Djali menenangkan. Mula-mula ia ditempatkan di bagian juru
masak. Kemudian jadi pembantu bagian depan. Akhirnya jadi
jurumudi, sampai sekarang. Senang? "Tentu saja saya senang sebab
itulah sumber hidup saya," katanya. Tapi segera ia menambahkan,
"senangnya orang perahu hanva 1% saja, 90% lainnya penuh dengan
penderitaan."
Djali mengungkapkan Cerita ini sebagai contoh dari
Ujungpandang, perahunya biasanya membawa kopra ke Surabaya.
Kembalinya diisi barang-baran. kelontong. Lama perjalanan 15
hari. Karena berbagai hal, barang sepi, angin buruk dan
sebagainya, seringkali perjalanan bisa berminggu-minggu. Praktis
penghasilan jadi ciut dimakan waktu. Belum lagi kalau bertiup
angin barat, antara Desember sampai Maret. Pada bulan itu
kegiatan perahu praktis terhenti. Waktu itu pemilik perahu
memberikan pinjaman. "Biasanya pinjaman itu diperhitungkan
secara ijon. Sudah tidak memiliki tabungan sama sekali, harus
bayar utang dengan bunganya," keluh Djali, "pokoknya saya
dihimpit."
Atas dasar itu, Djali, 50 tahun, memutuskan untuk tetap
membujang. "Kasihan anak-istri kalau saya kawin. Bagaimana
memberi makan, belum lagi ditinggal berbulan-bulan tanpa belanja
cukup -- lebih baik begini saja," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini