Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mereka, Di Sela Badai

Pengalaman suka duka nakoda dan meskipun tak pernah lepas dari marabahaya mereka tetap setia di atas perahu. ada nakoda buta huruf.

26 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DELAPANBELAS tahun yang lalu, setelah tamat SD ia mengikuti pamannya ke Surabaya. Di sana ia dipekerjakan pada perusahaan ekspedisi. Tiga tahun kemudian, ia berkenalan dengan Haji Mustape, pemilik tiga buah perahu pinisi yang berasal dari Watambone. Saat itu kebetulan sebuah kapalnya membutuhkan nakoda. Atas izin pamannya, Baidawi, pemuda tamatan SD itu, kemudian mengubah arah hidup jadi pelaut. "Ada juga rasa bosan dan takut," kata Baidawi mengenang hari-hari pertamanya. Bila sudah tcrkepung di tcngah laut, dengan pemandangan semata-mata laut sejauh mata mcmandang, atau sekali-sekali burung camar melayang--hatinya pun jadi ciut. Atau bila layar tiba-tiba sobek digasak angin. "Menyaksikan itu keinginan untuk berhenti jadi kelasi sangat besar, tapi manakala pinisi sudah bersandar ke pelabuhan, keinginan itu tidak terpikir lagi," katanya. Ngobyek Dengan menyandang pangkat nakoda, ia kini memiliki dua orang anak. Dan ia sudah mantap sebagai pelaut. Penghasilannya Rp 60 ribu untuk sekali berlayar. (Surabaya-Banjarmasin, sekali dalam 20 hari). Sebenarnya jarak Surabaya-Banjarmasin hanya 48 jam perjalanan. Tapi karena menunggu muatan, jadi berlarut-larut. Perahu pinisi bernama Taqwa Illahi yang dikelola Baidawi, tujuh tahun yang lalu berharga Rp 6 juta. Kini sudah bernilai Rp 12 juta. Sekali trip keuntungannya sekitar Rp 900 ribu. Pendapatan ini dibagi duapuluh persen hak nakoda, lima persen kelasi dan selebihnya hak pemiliknya. Selain dapat komisi, Baidawi dan anak buahnya ada penghasilan lain. "Kami bisa membawa barang (meskipun tidak banyak) untuk dijual," kata Baidawi sambil menunjuk beberapa anak buahnya yang ngobyek membawa pici. Riwayat Baidawi menjabat nakoda memang agak lucu. Ia tidak memiliki sertifikat dan tidak pernah diuji. Pada 1973 Haji Mustape mengutusnya ke Watambone untuk mencari pembuat perahu pinisi. Pekerjaan membuat perahu itu makan waktu satu tahun --selama itu Baidawi bertindak sebagai pengawas. Tatkala perahu yang panjangnya 42 meter dengan daya angkut 100 ton itu rampung, nakodanya tak ada. Langsung Baidawi yang menjahatnya. Kini setelah tujuh tahun jadi nakoda Taqwa Illahi, Baidai berpetuah: yang paling penting bagi seorang nakoda kapal pinisi adalah keahlian membaca turunnya badai kencang, di samping membaca peta dan kompas. "Jika awan hitam nyaris menjilat permukaan laut dlri jarak 2 atau 3 mil itu tandanya akan terjadi angin ribut," katanya memberikan contoh. Setiap nakoda yang melihat hal itu harus segera bertindak. Layar harus "dibunuh" setengahnya. Artinya layar tidak boleh dikembangkan penuh, karena bisa robek atau perahu terbalik. Sekali peristiwa Baidawi terlambat memberikan perintah menurunkan layar. Akibatnya tiang (pucuk) patah dan layar robek. Tujuan Banjarmasin tidak tercapai. Taqwa Illahi terdampar di Balikpapan. Terpaksa muatan garam yang dibawa dijual di tempat itu. Namun setelah diusut, telah terjadi kesalahan komunikasi. Baidawi mempergunakan istilah "bunuh" untuk maksud menurunkan layar. "Kami bingung mendengar istilah itu, karena tidak mengerti," kata Muis, kelasi yang berasal dari Sumba. Anak buah Baidawi berjumlah 16 orang. Ada yang berasal dari Jawa rimur, Sumbawa dan Watambone. Masing-masing memiliki istilah berbeda tentang perlengkapan kapal pinisi. Untung karena pergaulan antara mereka sudah cukup lama kesulitan komunikasi itu kini sudah dapat diatasi. Abdul Rahman, nakoda kapal layar Normal, juga tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Putra Bone ini terus-terang mengaku buta huruf. "Tapi sebenarnya otak kita semua sama," ujarnya, "memang kabarnya untuk jadi nakoda perahu layar bermotor harus memakai ijazah, padahal belum tentu nakoda perahu layar biasa, seperti saya ini, kalah sama mereka yang di perahu bermotor itu," katanya menambahkan. Ayah dari 3 orang anak ini sudah sejak 1955 bergaul dengan perahu, tatkala usianya masih 18 tahun. Pada 1962 ia pernah menjadi nakoda di perahu pinisi Kurnia Illahi yang berdaya angkut 120 ton. Ia mengaku tak pernah dapat kesulitan dalam pelayaran. Paling banter terlambat karena tak ada angin--tapi ini hanya soal kesabaran menunggu. Tahun lalu memang tiang layar perahunya patah, tapi bukan karena kesalahan. Waktu itu tiba-tiba saja bertiup angin kencang ke arah perahunya. Sebenarnya kejadian ini biasa. Yang disesalkan Rahman, Jawatan Pelayaran tak segera membantunya dengan mengirim kapal tunda. Terpaksa 5 hari perahunya nongkrong. Pembagian rezeki Abdul Rahman dengan pemilik perahu adalah satu banding satu -- setelah dikurangi ongkos makan dan biaya pelabuhan. Tentu saja semua tergantung pada jumlah muatan. - Bagi Rahman syarat menjadi nakoda tidak cukup hanya kalau ada kepercayaan dari pemilik perahu. Syarat lebih utama adalah kepemimpinan. "Karena biar kita telah mendapat kepercayaan, kalau tidak ada yang mau ikut, bagaimana bisa jadi?" tanyanya. Rahman yang buta huruf akhir-akhir ini mendapat kesulitan, karena petugas pelabuhan melarangnya membubuhkan tanda-tangan dengan cap jempol saja. Petugas pelabuhan mengatakan cap jempol bisa dipalsu. Akhirnya Rahman kini terpaksa mulai belajar khusus untuk membuat tanda-tangan. "Kita senang berlayar karena kita merdeka, tak ada yang perintah. Kerja di kantor ada jam kerja dan harus patuh pada atasan," kata Rahman. Tapi ia mengakui kesenangan itu harus dibayar dengan sering berpisah dengan keluarga. "Kadang sampai 3 bulan, tapi karena sudah terbiasa, kami bisa tahan," ujarnya. Ia mengaku tidak suka main perempuan atau minuman keras seperb pelaut-pelaut lain. "Merokok pun saya tidak senang. Sudah saya gariskan bahwa yang boleh ikut dengan saya hanyalah yang taat beribadah, tidak minum dan main perempuan," ujarnya dengan sungguh-sungguh. Daeng Manakku asal Bugis Bone, nakoda kapal Aneka Layar juga mengatakan sudah biasa berpisah dengan keluarga. Ia sudah 30 tahun makan garam pelayaran. Belum pernah dapat bahaya. Menurut Daeng, hampir semua jenis perahu layar sama saja. Cuma cara pembagian hasilnya yang beda. Kalau pinisi, tanpa memperhitungkan ongkos-ongkos, uang sewa langsung dibagi dua antara awak kapal dengan pemilik perahu. Di kapal layar jenis lambo, perongkosan dipoong. "Tradisi aturan memang mengharuskan begitu, jadi kami merasa terbantu," ujar Daeng (50 tahun). Daeng adalah ayah dari empat anak dan kakek dari tiga orang cucu. Berpisah dengan keluarga rata-rata sampai tiga bulan, tapi tak pernah merasa kesepiam Ia juga bukan pemain perempuan atau pemabuk. "Anak buahnya juga saya larang minun-minuman haram, karena bisa membuat kita celaka," tuturnya. Ia dan anak buahna rajin salat 5 waktu. Bila ia mendapat firasat ada sesuatu yang akan terjadi, ia segera melakukan salat hajat. "Modal kita berlayar dan keberanian dan kejujuran," katanya lebih lanjut. Dihimpit Utang Hidup nakoda perahu layar umumnya cukup baik. Namun tidak demikian halnya dengan Djali, kelahiran Pagatan, Banjarmasin -- yang menjabat jurumudi. Ia sudah 33 tahun setia pada kapal layar. Hidupnya sdlalu terhimpit utang dan selalu merasa penghasilannya tak pernah mencukupi. Djali, anak sulung dari tujuh bersaudara, berkenalan dengan perahu secara kebetulan. Lelaki yang tak pernah sekolah ini awalnya berniat jadi petani. Ketika tentara NICA memasuki Banjarmasin pada 1946, para pemuda lari dengan sampan ke Jawa, Maluku atau Sulawesi. Djali terlempar di Ujungpandang. Usianya waktu itu masih 14 tahun. Ia tidur di pasir pelabuhan dan mengandalkan belas kasihan orang. Sampai seorang juragan perahu menawarkan kerja di perahu. "Tanpa pikir panjang, apalagi setelah digambarkan betapa enaknya kerja di perahu, bisa lihat mana-mana, tawaran itu saya terima," ujar Djali menenangkan. Mula-mula ia ditempatkan di bagian juru masak. Kemudian jadi pembantu bagian depan. Akhirnya jadi jurumudi, sampai sekarang. Senang? "Tentu saja saya senang sebab itulah sumber hidup saya," katanya. Tapi segera ia menambahkan, "senangnya orang perahu hanva 1% saja, 90% lainnya penuh dengan penderitaan." Djali mengungkapkan Cerita ini sebagai contoh dari Ujungpandang, perahunya biasanya membawa kopra ke Surabaya. Kembalinya diisi barang-baran. kelontong. Lama perjalanan 15 hari. Karena berbagai hal, barang sepi, angin buruk dan sebagainya, seringkali perjalanan bisa berminggu-minggu. Praktis penghasilan jadi ciut dimakan waktu. Belum lagi kalau bertiup angin barat, antara Desember sampai Maret. Pada bulan itu kegiatan perahu praktis terhenti. Waktu itu pemilik perahu memberikan pinjaman. "Biasanya pinjaman itu diperhitungkan secara ijon. Sudah tidak memiliki tabungan sama sekali, harus bayar utang dengan bunganya," keluh Djali, "pokoknya saya dihimpit." Atas dasar itu, Djali, 50 tahun, memutuskan untuk tetap membujang. "Kasihan anak-istri kalau saya kawin. Bagaimana memberi makan, belum lagi ditinggal berbulan-bulan tanpa belanja cukup -- lebih baik begini saja," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus